Rabu, 11 Januari 2012

Fobia Sosial


Definisi
            Fobia sosila adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Fobia ini dapat sangat merusak, sedemikian parah sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ini jauh lebih tinggi disbanding pada mereka yang menderita gangguan anxietas lain (Schneier dkk., 1992).
Fobia sosial (atau gangguan kecemasan sosial), dalam DSMIV-TR dijelaskan mengenai hal itu, yang ditandai dengan menonaktifkan ketakutan satu atau lebih situasi sosial tertentu (seperti berbicara didepan publik, buang air kecil di kamar mandi umum, atau makan atau menulis di depan umum, lihat table DSM - IV - TR). Dalam situasi ini, seseorang mengalami ketakutan bahwa ia mungkin terkena 
pengawasan dan evaluasi negatif dari orang lain. Individu yang menderita fobia social biasanya mencoba menghindari situasi dimana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berprilaku secara memalukan. Ketakutan yang ditunjukan dengan keringat yang berlebihan atau memerahnya waja. Berbicara atau melakukan sesuatu didepan public, makan ditempat umum, menggunakan toilet umum atau hamir semua aktifitas lain yang dilakukan ditempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrim, bahkan serangan panic besar-besaran.
Orang-orang yang menderita fobia social sering kali bekerja dalam pekerjaan atau profesi yang jauh dibawah kemampuan atau kecerdasan mereka karena sensitivitas social ekstrim yang mereka alami jauh melebihi apa yang kita pikirkan tentang rasa malu sangat merugikan secar emosional. Lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah dari pada setiap hari berhadapan dengan ornang lain dalam pekerjaan yang lebih baik. Diagnosis fobia sosial sangat umum dan terjadi bahkan pada artis terkenal seperti Barbra Streisand dan Carly Simon. Survei-Nasional Komorbiditas Replikasi diperkirakan bahwa sekitar 12% penduduk  akan memenuhi syarat untuk diagnosis fobia sosial di beberapa 
titik dalam hidup mereka, (Kessler, Berglund, 2005b;. Tillfors, 2004); gangguan ini lebih banyak pada wanita dibandingkan pria (sekitar 60 persen adalah perempuan). Tidak seperti fobia spesifik, yang sering terjadi pada masa kanak-kanak, fobia sosial biasanya mulai terjadi, selama masa remaja atau dewasa awal (Tillfors, 2004; Wells & • Clark, 1997). 
 
G ejala-gejala 
v  Palpitasi jantung
v  Banyak mengeluarkan keringat
v  Gemetaran
v  Panas-dingin
v  Pusing
v  Gangguan perut
v  Kerongkonganterasa tersekat
v  Diare
v  Otot menjadi tegang
v  Gelisah

Etiologi Fobia
Teori Psikososial
            Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara sistematis perkembangan perilaku fobik. Menurut freud, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan kesuatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Dengan menghindarnya  seseorang dapat menghindar dari konflik-konflik yang ditekan. Fobia adalah cara ego untuk menghindari konfrontasi dengan masalah yang sebenarnya, yang itu konflik masa kecil yang ditekan.
            Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh Arieti (1979), sesuatu yang ditekan merupakan masalah interpersonal tertentu dimasa kecil dan bukan suatu impuls id. Arieti berteori bahwa pada masa kanak-kanak, orang-orang yang menderita fobia pada awalnya menjalani periode tanpa dosa dimana mereka mempercayai orang lain disekitar mereka untuk melindungi mereka dari bahaya. Kemudian mereka menjadi takut bahwa orang dewasa, terutama orang tua, tidak dapat diandalkan. Mereka tidak dapat hidup dengan ketiadaan rasa percaya tersebut, atau rasa takut kepada orang lain. Untuk dapat kembali mempercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa takut padaorang lain tersebut menjadi rasa takut pada objek atau situasi yang tidak menyenangkan. Fobia muncul kepermukaan ketika, pada masa dewasa, seseorang mengalami beberapa bentuk stres. Sebagaimana  sebagian besar teori psikoanalisis, bukti-bukti yang mendukung pandangan ini sebagian besar terbatas pada kesimpulan yang ditarik dari laporan-laporan khusus klinis.

Teori Behavioral
            Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Beberapa tipe pembelajaran mungkin berperan.
Avoidance Conditioning. Penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi semacam itu merupakan respon avoidance yang dipelajari. Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pemebelajaran yang saling berkaitan
1.      Melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan (UCS).
2.      seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning respon dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi kekuatan yang menguatkan.
Kemungkinan solusi lain untuk memecahkan teka-teki fobia yang terjadi tanpa keterpaparan dengan UCS yang menakutkan adalah menggunakan modeling.
Modeling. Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain. Dengan demikian, beberapa fobia dapat terjadi melalui modeling.bukan melalui pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi yang ditakuti. Pembelajaran terhadap rasa takut dengan mengamati orang lain secara umum disebut sebagai vicarious learning.
Vicarious learning juga dapat terjadi melalui instruksi verbal, yaitu reaksi fobik dapat dipelajari melalui deskripsi yang diberikan orang lain tentang apa yang mungkin terjadi selain melalui observasi terhadap ketakutan orang lain. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari orang tua dapat berulangkali memperingati anaknya agar tidak melakukan beberapa aktifitas yang membahayakan.
Secara ringkas, data yang telah kita kaji menunjukan bahwa beberapa fobia mungkin dipelajari melalui avoidance conditioning. Namun, avoidance conditioning tidak dapat dianggap sebagai teori yang sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebagai contoh, seperti disebutkan sebelumnya bahwa orang yang menderita fobia menuturkan bahwa mereka tidak pernah terpapar langsung dengan kejadian traumatis atau dengan model yang menakutkan (Merckelbach dkk., 1989). Terlebih lagi model avoidance conditioning memiliki kesulitan menangani komobiditas diantara berbagai jenis fobia.

Teori Kognitif
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap.
Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini, rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut, stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat menghilangkan rasa takut tesebut (Amir. Foa, & Coles,1998)
     
Biologis
            Faktor-faktor biologis yang memengaruhi. Beberapa teori yang telah kita bahas terutama melihat pada lingkungan untuk menemukan penyebab dan yang membuat fobia menetap. Namun, mengapa beberapa orang memiliki ketakutan yang tidak realistik, sedangkan yang lain tidak, padahal mereka mendapat kesempatan pembelajran yang sama? Mungkin mereka yang secara negatif sangat terpengaruh oleh stres memiliki malfungsi biologis (suatu diathesis) yang dengan cara satu atau lainnya memicu teradinya fobia stelah kejadian yang penuh stres. Penelitian dalam dua area berikut tampaknya menjadikan : Sistem saraf otonom dan faktor genetik.
v  Sistem syaraf otonom. Seperti disebutkan sebelumnya, orang-orang yang mengalami fobia sosial sering kali merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara berlebihan didepan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem syaraf otonom, aktifitas sistem syaraf otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan suatu diathesis. Namun demikaian, sebgian besar bukti tidak menunjukan bahwa orang-orang yang menderita fobia sangat berbeda dalam pengendalian berbagai bentuk aktifitas otonomik, walaupun saat berada dalam situasi seperti berbicara didepan umumyang diharapkan akan terjadi perbedaan. Mungkin ketakutan terhadap memerahnya wajah atau berkeringat sama pentingnya dengan wajah yang benar-benar memerah atau berkeringat.

Kriteria DSM IV
Kriteria untuk Fobia Sosial
a.       Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipacu oleh objek atau situasi
b.      Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens
c.       Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak realistik
d.      Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens.




Perspektif
Faktor biologis
v   Predisposisi genetik
v  analisispedigree/silsilah keluarga
v  Iregularitas fungsi neurotransmitter 
v   Abnormalitas dalam jalur otak

Faktor sosial-lingkungan
v   Pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam/traumatis
v  Mengamati respon takut pada orang lain
v  Kurangnya dukungan social

Prevensi
            Fobia social dapat dicegah dengan cara memberikan pola asuh yang dapt menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian pada anak sehingga anak mampu beradaptasi dan membina hubungan social yang baik dengan orang lain.

Terapi Fobia
Pendekatan Psikoanalisis
            Seperti halnya psikoanalisis yang memiliki banyak variasi, demikian juga dengan terapi psikoanalisis. Walupun demikian, secara umum semua penangnanan psikoanalisis terhadap fobia berupaya mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan ekstrim dan karakteristik penghindaran dalam gangguan ini. Karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang ada dibaliknya, fobia biasnya tidak secara langsung ditangani. Memang, upaya langsung untuk menghindari orang yang bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
            Dalam berbagai kombinasi analisis menggunakan berbagai teknik yang dikembangkan dalam tradisi psikoanalsis dalam membantu mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas analisis mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap rujukan mengenai fobia. Analisis juga berupaya untuk menemukan berbagai petunjuk terhadap penyebab fobia yag ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas.

Pendekatan Behavioral
            Desensitisasi sistematik merupakan terapi behavioral utama yang pertama kali digunakan secara luas untuk menangani fobia. (Wolpe, 1958). Individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondisi relaksasi mendalam. Bukti-bukti klinis dan ekperimental mengindikasi bahwa teknik ini efektif untuk menghapuskan atau minimal mengurangi fobia.
Flooding adalah teknik terapeutik dimana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intensitas penuh. Rasa tidak nyaman ekstrim menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini sehingga belum lama ini cenderung menahan trapis untuk menggunakan teknik ini, kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat tidak membuahkan hasil.

Pendekatan biologis
            Obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif, tranquilizer, atau anxiolytic (akhiran lytic berasal dari bahasa yunani yang berarti ” melonggarkan atau melelahkan”). Barbiturate adalah kategori obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk menangani gangguan anxietis, namun karena kategori obat-obatan tersebut menyebabkan ketergantungan yang tinggi dan beresiko mematikan bila overdosis. Pada tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti dengan dua kelompok obat-obatan lain, propanediol (a,l., Miltown) dan benzodiazepline (a,l., Valium dan Xanax). Jenis yang kedua dewasa ini digunakan secar luas dan sebagaiman akan kita lihat nanti memberikan manfaat bagi beberapa gangguan axieties. Namun demikian, jenis tersebut tidak banyak digunakan bagi fobia spesifik. Terlebih tinggi, walupun resiko mematikan dalam kondisi overdosis tidak sebesar barbiturate, benzodiazepine, menyebabkan ketergantungan fisisk dan sindrom putus zat diri yang parah.

Contoh Kasus
Seorang pasien (wanita) Ny.B.M. (usia 32th) dikonsul ke poliklinik Psikiatri dengan keluhan jantung berdebar-debar, keringat dingin, perut mulas, dan pusing. Keluhan ini telah berlangsung sejak 3 tahun yang lalu. Sehari sebelumnya pasien pingsan tak sadarkan diri. Dari auto dan alloanamnesis (dari suami pasien), didapatkan hal-hal sebagai berikut : keluhan utama/alasan berobat/alasan perawatan, pasien pingsan tak sadarkan diri pada saat akan berpidato di depan undangan, saat pelantikan pasien sebagai Kepala Bagian. Pasien dibawa ke institusi gawat darurat. Setelah tenang, disarankan untuk konsultasi ke poliklinik Psikiatri. Dari anamnnesy diperoleh kesan pasien tidak akan mengikuti kegiatan bila harus berhadapan pada situasi publik (sosial) lainnya. Selalu dalam pikirannya sudah tersedia jawaban bahwa “saya tidak bisa dan akan malu-maluin“. Pada pertemuan khusus, misalnya resepsi perkawinan yang mengharuskan pasien bersama suaminya pergi ke tempat tersebut, selalu tersedia jawaban, lebih baik saya “ tinggal di rumah, kasihan anakanak tidak mempunyai teman.“ guna menolak ajakan.
Deskripsi umum menunjukkan, pasien tampak gelisah, mengeluh dadanya sakit, kesemutan yang menjalar ke lengan kiri, deg-degan, pusing, keringat dingin dan mual. Sikap terhadap pemeriksa: koperatif, pembicaraan lancar, tingkah laku motorik dalam batas normal. Tidak diketemukan tanda-tanda psikopatologis lainnya, dalam proses pikir, alam perasaan, tingkah laku motorik, persepsi, sensorium dan kognisi, orientasi, daya ingat, dan konsentrasi. Daya menilai realitas: baik. Penghayatan terhadap penyakit : tingkat V (intelektual). Pasien mengeluh dadanya sakit, disertai nyeri yang menjalar pada
daerah lengan kiri yang berasal dari daerah dada, dan untuk menyikirkan kelainan gangguan kardiovaskular pasien dikonsulkan ke dokter ahli jantung. Dilakukan pemeriksaan elektrokardiograf dan tidak didapatkan kelainan elektrokardiogram
(EKG). Dan pemeriksaan echocardiography, menunjukkan hasil sebagai berikut, dimensi ruang: ruang jantung normal. Left ventricle (LV): tebal normal. Fungsi sistolik : baik, normokinetik, semua segmen dan katub-katub jantung: normal. Diagnostic impression dari pada jantung: Fungsional normal dan tidak tampak gangguan kinetik. Karena ada keluhan mulas, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam, namun tidak
didapatkan kelainan yang signifikan. Kesan pemeriksaan psikiatris: fobia sosial

Sumber
v  Psikologi Abnormal (Gerald C. Davison; John M. Neale; AN M. Kring) Edisi 9
v  Abnormal Psychology core concepts james n. butcher susan mineka jill m. hooley, 2008 pearson education USA

Putri Yuliani

GANGGUAN SKIZOFRENIA: WAHAM




PENGERTIAN
Waham (Delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, semacam itu merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia.
Waham menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000) menyatakan bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis (1998) membagi waham dalam 2 kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis, tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah satunya adalah waham kebesaran.
Waham juga memiliki beberapa bentuk. Beberapa diantaranya digambarkan oleh psikiater berkebangsaaan Jerman Kurt Schneider (1959). Gambaran delusi dibawah ini dikutip oleh Mellor (1970).
1.                  Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya dimasukkan kedalam pikirannya oleh suatu sumber eksternal.
Seorang ibu rumah tangga berusia 25 tahun berkata, “Saya melihat keluar jendela dan saya berpikir taman dihalaman tampak indah dan rumputnya tampak bagus, namun pikiran Eamonn Andrews masuk kedalam pikiran saya. Tidak ada pikiran lain disana, hanya pikirannya. Ia memperlakukan pikiran saya seperti layar dan menayangkan berbagai pikirannya dilayar tersebut seperti anda menayangkan suatu gambar.”( Hlm. 17)
2.                   Pasien yakin bahwa pikiran mereka disiarkan dan ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui apa yang mereka pikirkan.
Seorang mahasiswa berusia 21 tahun (mengetahui bahwa) “ketika saya berpikir, pikiran saya keluar dari kepala saya melalui sejenis pita transmisi mental. Semua orang disekeliling saya hanya perlu memasukkan pita tersebut kedalam pikiran mereka dan mereka dapat mengetahui semua pikiran saya”. ( Hlm. 17)
3.                  Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri, secara tiba-tiba dan tanpa terduga, oleh suatu kekuatan eksternal.
Seorang perempuan berusia 22 tahun (menggambarkan pengalaman seperti berikut). “Saya sedang memikirkan ibu saya, dan tiba-tiba pikiran saya disedot keluar dari kepala saya dengan alat penyedot yang dapat menembus tengkorak kepala, dan tidak ada yang tersisa dikepala saya, kepala saya menjadi kosong”. ( Hlm. 16-17)
4.                  Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka dikendalikan oleh suatu kekuatan eksternal.
Seorang juru ketik steno berusia 29 tahun menggambarkan berbagai tindakannya (yang paling sederhana) sebagai berikut: “ketika saya mengulurkan tangan untuk mengambil sisir, tangan dan lengan saya lah yang bergerak, dan jari-jari saya mengambil pena, namun saya tidak mengendalikannya. Saya duduk mengamati mereka bergerak, dan mereka cukup mandiri, apa yang mereka lakukan tidak ada hubungannya dengan saya. Saya hanya sebuah boneka yang dimanipulasi oleh tali kosmik. Ketika tali-tali tersebut ditarik maka tubuh saya bergerak dan saya tidak dapat mencegahnya”. ( Hlm. 17)

Meskipun waham terjadi pada lebih dari separuh orang yang menderita skizofrenia, namun juga terjadi dikalangan pasien dengan berbagai diagnosis lain, terutama, mania, depresi delusional, dan gangguan waham. Meskipun demikian, waham yang dialami pasien skizofrenia seringkali lebih aneh dibanding delusi yang dialami para pasien berbagai ketegori diagnostik lain tersebut; yaitu, waham pada psien skizofrenia sangat tidak mungkin, seperti yang terlihat dalam gambaran waham diatas (Junginger, Barker, & Coe, 1992).

ETIOLOGI
Psikologis
            Intensitas kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah dan berdosa, penghukuman diri, rasa tidak mampu, fantasi yang tak terkendali, serta dambaan-dambaan atau harapan yang tidak kunjung sampai, merupakan sumber dari waham. Waham dapat berkembang jika terjadi nafsu kemurkaan yang hebat, hinaan dan sakit hati yang mendalam (Kartono, 1981).
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan tentang suatu kejadian mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan mengakibatkan perubahan yang lain.
Dampak dari perubahan itu salah satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu, sesuai dengan waktu, kepercayaan yang irasional menghasilkan ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus”.

Sosiokultural
            Selama bertahun-tahun kita telah mengetahui bahwa angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat diwilayah pusat kota yang dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial terendah (a.l., Harvey dkk., 1996; Hollingshead & Redlich, 1958; Srole dkk., 1962).
            Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas sosialrendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenik.  Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan rendah, dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial rendah sebagai kondisi yang penuh stres yang dapat membuat seseorang menderita skizofrenia.

Biologis
            Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon/ oleh perubahan- perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu membuat sediaan. Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini didukung oleh Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis, 1998).
     Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa skizofrenia merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal dalam otak, dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal.
            Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali berupa waham sederhana (Kaplan dan Sadock, 1997).

PENANGANAN
Penanganan Biologis
Terapi Obat (Farmakoterapi). Perkembangan terpenting dalam terapi untuk skozofrenia adalah penemuan obat-obatan pada tahun 1950-an yang secara kolektif disebut obat-obatan antipsikotik, yang juga disebut neuroleptik karena menimbulkan efek samping yang sama dengan simtom-simtom penyakit neurologis.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham. Pada kondisi gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup dalam waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan pengobatan yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil dapat ditandai adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada klien.

Penanganan Psikologis
            Psikoterapi. Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya. Terapi individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan harus mampu menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata : “Anda pasti merasa sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui setiap mis persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terpeutik dapat dilakukan.
Terapi Keluarga. Pemberian terapi perlu menemui atau melibatkan keluarga klien, sebagai partner dalam proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat dalam membantu terapis dan membantu perawatan klien. Beberapa hal yang diberikan terapis kepada keluarga klien:
1.      Edukasi tentang skizofrenia, terutama yang kerentanan biologis yang mempredisposisi seseorang terhadap penyakit tersebut, berbagai masalah kognitif yang melekat dengan skozofrenia, simtom-simtomnya, dan tanda-tanda akan terjadinya kekambuhan.
2.      Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan antipsikotik.
3.      Menghindari saling menyalahkan, terutama mendorong keluarga untuk tidak menyalahkan diri sendiri maupun pasien atas penyakit tersebut dan atas kesulitan yang dialami seluruh keluarga dalam menghadapi penyakit tersebut.
4.      Memperbaiki komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga.
5.      Medorong keluarga dan pasien untuk memperluas kontak sosial mereka.
6.      Menanamkan sebentuk harapan bahwa segala sesuatu dapat menjadi lebih baik, termasuk harapan bahwa pasien bisa untuk tidak kembali dirawat kembali di rumah sakit.

Terapi Individual. Hogarty (1995) menyebutkan terapi personal adalah suatu pendekatan kognitif behavioral berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah yang dialami para pasien skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi individualisti ini dilakukan perorangan maupun dalam kelompok kecil. Satu elemen utama dalam pendekatan ini, adalah bahwa penurunan jumlah reaksi emosi para anggota keluarga menurunkan tingkat kekambuhan setelah keluar dari rumah sakit, adalah mengajari pasien bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai. Para pasien juga diajari untuk memerhatikan tanda-tanda kekambuhan meskipun kecil, seperti penarikan diri dari kehidupan sosial atau intimidasi yang tidak pantas kepada orang lain, dan mereka mempelajari berbagai keterampilan untuk mengurangi masalah-masalah tersebut.

Sumber:
Davison, G.C., Neale, John M., & Kring, ANN M. Psikologi Abnormal Edisi Ke-9.
Townsend, M.C, (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikitari (terjemahan), Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakar


 Oleh: Miftah (10050009129)





Vaginismus


1.     Kriteria Vaginismus dalam DSM-IV-TR
·         Kejang berulang pada bagian luar ketiga pada vagina hingga ke tingkat yang tidak memungkinkan terjadinya kontak kontak kelamin dalam hubungan seksual konvensional
·         Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal
·         Tidak disebabkan oleh gangguan Aksis I lain atau efek fisiologis langsung dari suatu penyakit medis umum
Hal itu juga dapat terjadi sebagai respons terhadap penetrasi dengan jari serta dalam pemeriksaan ginekologis. Meskipun tidak mampu melakukan kontak kelamin, perempuan yang mengalami vaginismus merasakan gairah seksual normal dan mengalami orgasme melalui stimulasi manual atau oral tanpa penetrasi.
2.    Sebuah teori mengenai penyebab vaginismus menduga bahwa si perempuan ingin, mungkin tanpa sadar, mengingkari dirinya, pasangannya, atau kenikmatan dalam keintiman seksual. Bagaimanapun tampak meyakinkannya pemikiran ini, tidak ada bukti yang mendukungnya. Meskipun demikian, takut hamil, kecemasan, masalah hubungan, dan sikap negatif terhadap seks pada umumnya dapat berperan dalam vaginismus (a.l,. Reissing, Binik, & Khalife, 1999; Tugrul & Kabacki, 1997). Sikap negatif sering kali dapat ditelusuri ke pencabulan di masa kanak-kanak atau perkosaan (LoPiccolo & Stock, 1987). Masters dan Johnson menemukan bahwa pada sejumlah pasangan yang mereka tangani, ketidakmampuan pihak laki-laki untuk mempertahankan ereksi memicu terjadinya vaginismus pada pasangannya. Dengan demikian, pada beberapa perempuan, masalah seksual yang dialami pasangan dapat sangat memicu kecemasan sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan ini.
Penyebab Historis. Dalam model Masters dan Johnson, penyebab disfungsi seksual dihipotesis memiliki satu antesenden historis atau lebih.
·         Faktor Psikis :
·         Kekolotan dalam beragama. Pendidikan agama yang konservatif memandang dengan rasa curiga pada seksualitas yang dilakukan untuk mendapat kesenangan.
·         Trauma psikoseksual. Beberapa disfungsi dapat ditelusuri ke perkosaan atau peristiwa penistaan lain. Pengalaman seksual yang traumatik, misalnya wanita yang mengalami perkosaan baik pada masa anak-anak, remaja maupun dewasa. Kalau pengalaman yang mengerikan itu terjadi setelah wanita menikah, dapat juga terjadi vaginismus sekunder.
·         Kecenderungan homoseksual. Dapat dipahami bila kenikmatan seksual menjadi kurang jika seseorang yang memiliki kecenderungan homoseksual mencoba melakukan hubungan heteroseksual.
·         Konseling yang tidak adekuat. Kalimat ini merupakan eufimisme untuk berbagai komentar yang disampaikan oleh para profesional yang tidak benar dan destruktif. Contohnya seorang pendeta yang mengatakan bahwa disfungsi ereksi merupakan hukuman Tuhan atas dosa-dosanya.
·         Konsumsi alkohol yang berlebihan. seperti dikatakan Shakespeare dalam Macbeth, “Ia mendorong hasrat, namun melemahkan performa” (aksi II, adegan 3).
·         Penyebab Biologis. Masters dan Johnson pada tahun 1970 telah menyadarkan kita tentang faktor-faktor somatik yang berkontribusi terhadap disfungsi seksual. Dewasa ini sudah lebih banyak yang diketahui mengenai faktor-faktor semacam itu; kita telah mempertimbangkan hal ini dalam pembahasan mengenai disfungsi individual. Secara umum, faktor-faktor biologis mencakup penyakit sistem vaskular (pembuluh darah) seperti atherosklerosis; penyakit yang memengaruhi sistem saraf seperti diabetes, multi sklerosis, dan cedera saraf tulang belakang; rendahnya kadar testosteron atau estrogen; seperti disebutkan di atas, konsumsi alkohol yang berlebihan (meskipun efek negatifnya dapat dimediasi oleh terganggunya hubungan interpersonal yang sering kali terjadi karena penyalahgunaan alkohol); penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi dan terutama anti depresan jenis SSRI seperti Prozac dan Zoloft; dan merokok berlebihan (Bach, Wincze, & Barlow, 2001).
·         Beberapa faktor fisik ialah:
- Gangguan selaput dara, termasuk sisanya yang tertarik kalau terjadi penetrasi penis.
- Infeksi yang menimbulkan luka di sekitar lubang vagina atau labia.
- Bekas robekan karena melahirkan yang tidak sembuh dengan baik.
·         Faktor-faktor sosiokultural. Ekspektasi dan kekhawatiran pada perempuan berbeda dengan laki-laki dan merupakan suatu fungsi kelas sosial. Contohnya, laki-laki diberkahi, bahkan dituntut oleh masyarakat untuk mengembangkan ekspresivitas seksual dan untuk mengambil inisiatif. Terlepas dari perubahan yang diakibatkan oleh gerakan feminis selama lebih dari 30 tahun, namun tetap menjadi pertanyaan apakah hal ini juga terjadi pada perempuan.
Prevalensi / Terapi Disfungsi Seksual
Kepeloporan karya Masters dan Johnsons (1970) dalam penanganan disfungsi seksual disampaikan dalam Fokus Penemuan 14.4 selama lebih dari 30 tahun terakhir para terapis dan peneliti telah mengurai laporan awal tersebut dan menyusun berbagai prosedur baru bagi para ahli klinis yang ingin memperbaiki kehidupan para pasien yang mengalami disfungsi seksual. Kami akan menjelaskan beberapa strategi dan prosedur yang memperluas karya Masters dan Johnsons. Seorang terapis dapat memilih satu teknik saja untuk satu kasus tertentu, namun karakteristik disfungsi seksual yang kompleks dan multi segi biasanya memerlukan beberapa teknik.
·         Mengurangi kecemasan. Jauh sebelum publikasi program terapi Masters da Johnsons, para terapis perilaku memahami bahwa para klien disfungsi seksual membutuhkan pemaparan bertahap dan sistematis pada spek-aspek situasi seksual yang yang memicu kecemasan. Desentisisasi sistematis dan desentisisasi in vivo (desentisisasi dengan situasi kehidupan nyata) dari Wolpe telah digunakan dengan cukup berhasil (Anderson, 1983; Hogan 1978; Wolpe 1958), terutama jika dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan. Contohnya, seorang perempuan yang mengalami vaginismus pertama-tama dapat berlatih relaksasi, kemudian berlatih memasukan jarinya atau dilator ke dalam vaginanya, dimulai dengan sedikit memasukan jarinya dan secara bertahap semakin dalam (Leiblum, 1997). Desentisisasi in vivo ternyata akan menjadi teknik utama dalam program Master dan Johnson, meskipun berbagai komponen lain mungkin berkontribusi terhadap keseluruhan efektivitasnya.

·         Masturbasi terarah. Kami telah meyebutkan sebelumnya bahwa perempuan yang mengalami gangguan orgasme sering kali kurang memiliki pengetahuan tentang anatomis seksual mereka sendiri. masturbasi terarah yang diciptakan oleh LoPiccolo dan Lobitz (1972) merupakan suatu terapi multi langkah yang melengkapi program Masters dan Johnson.
Langkah pertama adalah si perempuan mengamati dengan teliti tubuhnya tanpa busana, termasuk alat kelaminnya, dan mengidentifikasi berbagai bagian dengan bantuan diagram. Berikutnya, ia diinstruksikan untuk menyentuh kelaminnya dan menemukan bagian yang menghasilkan kenikmatan. Setelah langkah tersebut selesai, ia kemudian meningkatkan intensitas masturbasinya dengan fantasi erotis. Jika orgasme belum dicapai pada saat itu, ia diminta membeli vibrator dan diajari bagaimana menggunakannnya dalam masturbasi. Terakhir, pasangannya terlibat dalam terapi ini, pertama-tama mengamati pasangannya melakukan masturbasi, kemudian melakukan pada pasangannya apa yang sebelumnya dilakukan sendiri oleh pasangannya, dan terakhir melakukan kontak kelamin dalam posisi yang memungkinkannya untuk menstimulasi kelamin perempuan tersebut secara manual atau dengan menggunakan vibrator.
Masturbasi terarah tampaknya secara signifikan meningkatkan efektivitas penanganan gangguan orgasme (O’Donohue, Dopke & Swingen, 1997) dan juga membantu dalam penanganan gangguan nafsu seksual (Renshaw, 2001).

·         Prosedur untuk Mengubah Sikap dan Pikiran. Dalam teknik yang disebut prosedur kesadaran sensori, klien didorong untuk merasakan sensasi menyenangkan yang menyertai gairah seksual sejak dari permulaan. Latihan memfokuskan pada sensasi tersebut digambarkan dalam Fokus Penemuan 14.4, contohnya :
Sebagai cara untuk mengantarkan individu ke perasaan yang benar-benar sensual dan seksual. Terapi perilaku rasional emotif mencoba mengubah pikiran “harus” menjadi pikiran yang tidak terlalu menuntut diri sendiri, pikiran “Saya Harus” yang sering kali menimbulkan masalah bagi orang-orang yang mengalami disfungsi seksual. Terapis harus mencoba mengurangi tekanan yang dirasakan oleh laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi dengan menggugat keyakinannya bahwa kontak kelamin merupakan satu-satunya bentuk aktivitas seksual yang sejati. Kaplan (1997) merekomendasikan beberapa prosedur untuk mencoba meningkatkan daya tarik seks. Ia meminta kliennya berfantasi erotik dan memberi mereka tugas untuk menjalin hubungan dan berkencan, seperti berlibur di akhir minggu.

·         Pelatihan Keterampilan dan Komunikasi. Untuk meningkatkan keterampilan seksual dan komunikasi, para terapis memberikan bahan-bahan tertulis dan menunjukkan kepada klien rekaman video dan film yang secara eksplisitmendemonstrasikan teknik-teknik seksual (McMullen & Rosen, 1979). Hal yang sangat penting untuk berbagai disfungsi seksual adalah mendorong pasangan untuk saling mengkomunikasikan apa yang mereka sukai dan tidak sukai (Hawton, Catalan, & Fragg, 1992; Rosen, Leiblum, & Spector, 1994). Bila digabungkan, pelatihan keterampilan dan komunikasi juga memaparkan pasien pada hal-hal yang memicu timbulnya kecemasan –seperti melihat pasangannya tanpa busana- yang memungkinkan timbulnya efek yang mendesensitisasi. Mengatakan kepada pasangan apa yang disukainya dalam berhubungan seks sering kali menjadi lebih sulit karena adanya ketegangan yang lebih dari sekedar terkait dengan hubungan seksual, yang akan membawa kita ke strategi berikutnya.
·         Terapi pasangan. Disfungsi seksual seringkali menyatu denga perkawinan yang bermasalah, dan pasangan yang bermasalah biasanya membutuhkan pelatihan khusus dalam keterampilan komunikasi nonseksual (Rosen, 2000). Seperti disebutkan sebelumnya, berbagai artikel mutakhir tentang terapi seks menekankan kebutuhan terhadap sebuah perspektif sistem, yaitu terapis perlu memahami bahwa masalah seksual menyatu dengan berbagai faktor hubungan interpersonal yang kompleks (Wylie, 1997). Kadang suatu terapi yang memfokuskan pada isu-isu nonseksual, seperti masalah dengan mertua atau pengasuhan anak, penting dan pada tempatnya –apakah sebagai tambahan untuk atau bahkan tipe terapi seks Masters dan Johnson.

·         Teknik dan Perspektif Psikodinamika. Seorang laki-laki mungkin tidak langsung mengakui bahwa ia tidak dapat mengalami ereksi. Dalam kasus ini terapis harus menemukan petunjuk dalam penuturannya. Seorang perempuan dapat merasa enggan memulai hubungan seks karena, meskipun ia tidak mengatakan secara langsung kepada terapis, ia menganggap asertivitas semacam itu tidak pantas dan tidak sesuai dengan peran perempuan menurut pandangan tradisionalnya. Dalam kasus semacam itu pandangan psikodinamika umum yang menyatakan bahwa klien sering kali tidak mampu menyampaikan dengan jelas masalah yang benar-benar mengganggu mereka kepada terapis dapat membantu pengukuran dan perencanaan yang tepat untuk terapi perilaku (Kaplan, 1974). Tidak diragukan berbagai elemen terapi psikodinamika dapat ditemukan di banyak praktik terapi seks, sekalipun biasanya berbagai elemen tersebut tidak dikemukakan secara eksplisit oleh para terapis ketika membahas teknik-teknik yang mereka gunakan dalam berbagai jurnal atau dengan para kolega. Pembahasan kita terdahulu mengenai eklektisisme dalam terapi dapat mengingatkan kita mengenai kompleksitas bidang terapeutik.




3.    Contoh Kasus
Pengalam seseorang yang memiliki gangguan vaginismus ..
Rasanya vagina sangat mustahil untuk dimasuki benda apapun.. Sakit, nyeri, dan perihnya hebat banget, bahkan sampai nangis dan teriak sekenceng apapun tetep aja sakit. Waktu itu (maaf), saat mencoba intercourse, sungguh, rasanya vagina seperti robek atau tersayat, padahal foreplay dan kondisi vagina sudah terlubrikasi dengan baik. Meskipun otak dan hati sudah siap untuk berhubungan (tidak ada rasa takut, bahkan sudah ikhlas), sepertinya si vagina punya keinginan sendiri. Stress banget, kenapa otak dan badan nggak mau kerja sama.
Yang paling berat, ini sangat berpengaruh ke hubunganku dengan suami yang saat itu masih pengantin baru.
Saat browsing, aku baru tahu kalau kondisiku dinamakan vaginismus, yang bahkan banyak terjadi pada wanita, cuma ada yang sadar ada yang tidak.
Menurut website referensi tsb (lupa sumbernya) hubungan seks seharusnya bisa dinikmati oleh kedua belah pihak. Bahwa ML dan malam pertama (hilangnya keperawanan) pasti terasa sakit buat wanita adalah salah besar.
Aku kaget..  selama ini kok nggak pernah ada yang cerita/ share tentang ini.. seolah olah sakit saat malam pertama dianggap wajar, padahal  wanita juga berhak dipuaskan.
Untungnya ada step by step untuk self healing, dengan teknik dillating. Aku mencoba mengikuti cara itu.. ternyata emang ada perkembangannya..  Berangsur angsur vaginaku mulai mau menerima "benda" lain . Dalam proses ini sebenernya kalau belum siap. kita tidak boleh melakukan ML, apalagi kalau "size" nya masih jauh dari tahap terakhir dillating.., tapi suamiku mengajak untuk mencoba (baca: minta jatah) siapa tahu kalau makin sering dipake, semakin biasa..
Yahhh.. akhirnya dicoba deh.. Alamakk.. sakitttt banget.. dan untuk menahan sakit itu, aku mengernyitkan alis sampai2 alisku ikutan sakit (cenut2 gitu).. Air mata sudah ga kehitung berapa ember terbuang...
En baru beberapa kali mencoba itu ternyata.... malah membuat aku HAMIL! haduh Serasa hancurlah duniaku... (Iniilah awal penyebab stressku selama kehamilan yang aku share di  thread Jobless on Pregnancy..)
Perlahan tapi pasti, aku beberapa kali tetep "latihan" sama suami, meskipun hati, badan, dan harapanku remuk redam selama kehamilan..
Sekarang dah hampir memasuki 7 bulan kandunganku.. Alhamdulilah sih, sekarang sudah berkurang jauh sakitnya.. meskipun pada posisi tertentu, masih meringis2 menahan sakit...  Moga2 habis lahiran bisa lebih baik lagi deh "latihannya" hehe...
smile
Teknik dillating itu ibaratnya kaya melatih kemampuan & kemauan vagina (sampai saat ini masih percaya kalo vagina punya keinginan sendiri) untuk menerima benda asing. Sebenernya ada dillator set yang dirancang untuk penyembuhannya (mirip kaya dildo tapi sizenya bervariasi, dari yg kecil kaya cotton bud, ampe gede menyerupai ukuran penis rata-rata).
http://www.vaginismus-awareness-network.org/soulsourceset.jpg
Tapi berhubung males beli, dan ada alternatif lain.. maka saya menggunakan jari2 aja (beneran, dibolehin kok!). Dimulai dari jari yang paling kecil ampe yang paling gede tentunya.
Latihan dillating mirip kaya yoga, perlu ketenangan, sendiri, rileks, dan konsentrasi. Kalau vagina sudah licin, atau bisa dibantu dgn lubrikan, mulai latihan "memasukkan" dillator/jari ke vagina dan membiarkannya di situ sekitar 5-10 menitan supaya otot vagina mulai terbiasa. 
Latihan berikutnya (nggak harus tiap hari, lebih baik mengikuti mood, tanpa paksaan), bisa dengan size yg sama sampai tidak terasa sakit samasekali (mulai nyaman) lalu pindah ke size berikutnya.. Yah harapannya sih, lama-lama vagina kita bisa siap untuk menerima penis beneran. Begitu kira-kira..
*Kendala kalo dillating pake jari: anggap antara ukuran jari terbesar (jempol) ku dengan ukuran penis beneran kayaknya masih agak jauh.. Si penulis website sih bilang katanya bisa pake sayuran  macam wortel atau timun, asal jangan pisang.. kenapa? rawan "patah" di dalam hehehe

http://www.vaginismus-awareness-network.org/zucchinidilator.jpg
Sumber :
Davidson, Gerald C., Neale, John M., Kring, Ann M. (2004). Abnormal Psychology – Ninth Edition.  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
http://www.vaginismus-awareness-network.org/


Wellya Nurtikasari