Voyeurisme
adalah kondisi dimana seseorang memiliki prefensi tinggi untuk mendapatkan
kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang tanpa busana atau sedang
melakukan hubungan seksual. Pada beberapa laki-laki voyeurism adalah
satu-satunya aktivitas seksual yang mereka lakukan; pada laki-laki lain, lebih
diminati namun tidak mutlak diperlukan untuk menimbulkan gairah seksual (Kaplan
& kreuger, 1997). Orgasme seorang voyeur dicapai dengan melakukan
masturbasi, baik sambil tetap mengintip aatau setelahnya, sambil mengingat apa
yang dilihatnya.kadang seorang voyeur berfantasi melakukan hubungan seksual
dengan orang yang diintipnya, namun hal itu menjadi fantasi, dalam voyeurism
jarang terjadi kontak antara orang yang diintip dan yang mengintip.
Penyebab voyeurism
antara lain sebagai berikut :
a. Ketidak-adekuatan relasi dengan lawan
jenis dan rasa ingin tahu yang sangat mendominasi dirinya tentang aktivitas
seksual
b. Pernah mengalami trauma psikologis dari
perlakuan jenis kelamin lain yang menambah kadar rasa kurang percaya diri
Voyeur sejati, hampir selalu
laki-laki, tidak merasa gairah melihat perempuan yang sengaja membuka
pakaiannya untuk kesenangan si voyeur. Elemen resiko nampaknya penting karena
voyeur merasa bergairah dengan kemungkinan reaksi si perempuan yang diintipnya
dika ia mengetahuinya. Beberapa voyeur mendapatkan kenikmatan tersendiri dengan
secara diam-diam mengamati pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual.
Voyeurism itu pada umumnya berawal
dari masa remaja. Ada pemikiran bahwa voyeur merasa takut untuk melakukan
hubungan seksual secarfa langsung dengan orang lain, mungkin karena tidak
terampil dalam hubungan social. Tindakan mengintip yang mereka lakukan
berfungsi sebagai pemuasan pengganti dan kemungkinan memberikan rasa kekuasaan
atas orang yang diintipnya. Voyeur seringkali mengidap parafilia lain, namun
tampaknya tidak menjadi gangguan.
Setelah semua peraturan membatasi
penjualan material pornografis bagi orang dihapuskan di Denmark pada tahun
1960-an, salh satu dari sedikit efek yang dapat diamati dari liberalisasi
tersebut adlaah sangat berkurangnya tindakan mengintip. Mungkin semakin
banyaknya gambar dan tulisan yang vulgar, umumnya digunakan untuk masturbasi,
cukup memuaskan kebutuhan beberapa lelaki voyeur, walaupun tidak melakukan
tindakan mengintip. Mungkin kemudahan mengakses pornografi melalui internet
akan memberikan efek yang sama secara global.
Criteria voyeurism
dalam DSM-IV-TR
1. Berulang intens dan terjadi selama
periode 6 bulan, fantasi, dorongan atau perilaku yang menimbulkan dorongan
seksual yang berkaitan dengan tindakan mengintip orang lain yang sedang tanpa
busana atau sedang melakukan hubungan
seksual tanpa diketahui orang yang bersangkutan
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan
dorongan tersebut menyebabkan orang tersebut mengalami distress atau mengalami
masalah interpersonal
SUDUT PANDANG BIOLOGIS
Sebagian besar orang
yang mengidap paraphilia adalah laki-laki, terdapat spekulasi bahwa endogren,
hormone utama pada laki-laki, berperan dalam gangguan ini. Karena janin manusia
pada awalnya terbentuk sebagai perempuan dan kelakian yang ditimbulkan oleh
pengaruh hormonal terkemudian, mungkin pula dapat terjadi suatu kesalahan dalam
perkembangann janin. Meskipun demikian, temuan mengenai perbedaan hormonal
antara orang normal dan orang yang menngidap paraphilia tidak meyakinkan.
Berkaitan dengan perbedaan otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat
memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus sadism dan ekshobisionisme
(mason, Murphy 1997). Jika ternyata factor biologi berperan penting,
kemungkinan besar hal ini hanya merupakan salah satu factor dari rangkaian
penyebab yang kompleks yang menyangkut penglaman sebagai salah satu factor
utama jika bukan satu-satunya factor utama (meyer 1995)
SUDUT PANDANG
PSIKOSOSIAL
Perspektif Psikodinamik
Paraphilia dipandang oleh para
teoritikus sebagai sebagai tindakan defensive, melindungi ego agar tidak
mengahdapi rasa takut dan memori yang direfres dan mencerminkan fiksasi di
tahap pregenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang nmenghidap
parafilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan
heteroseksual yang wajar, babbhkan terhadap hubungan heteroseksual yang tidak
melibatkan seks. Perkembangan social dan sesksualnya (umumnya laki-laki) tidak
matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalani hubungan
social dan heterokseksual orang dewasa umumnya (Lanyon, 1986)
Voyuerisme memilih
untuk memata-matai perempuan yang menyadarinya daripada melakukan kontak
langsung dengan perempuan, jika perempuan yang diiintip oleh voyeur menyadari
tindakan voyeur , ia bisa saja menyimpulkan bahwa perepuan tersebut tertarik
padanya ; karena rasa tidak amannya sebagai laki-laki dan sebagai kekasi, hal
itu sangat menakutkan baginya sehingga kurang menimbullkan gairah seksual. Maka
mungkin seorang laki-laki terlibat dalam voyeurism bukan karena resiko
tertangkap basah yang membuatnya tergelitik, namun lebih karena tindakan
mengintip tanpa diketahui orang lain, karena hal itu melindungi voyeur dari
kemungkinan terjalinnya hubungan dengan seorang perempuan dan mungkin
merupakan cara berhubungan yang kurang
menakutkan baginya.
Perspektif
Behavioristik
Interpretasi behavioral
yang paling sederhana terhadap penyimpangan seksual adalah bahwa penyimpangan
tersebut adalah merupakan hasil dari proses responden conditioning terhadap
pengalaman seksual pada masa kecil, secara khusus masturbasi, yang kemudian
menjadi stimulus yang berbeda ketika muncul. Paraphilia menurut
perspektif behavioristik merupakan hasil pengondisian klasik.
Perspektif
Cognitive-Behavioral
Beberapa teoris memiliki paradigma
behavioral berpendapat bahwa parafilia terjadi karena pengondisian klasik yang
terjadi secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok
stimuli yang oleh masyarakat sebagai stumuli yang tepat. Meskipun jarang
disebutkan dalam literature terapi perilaku, teori ini dikemukan pertama dalam
laporan Kinsey yang terkenal mengenai perilaku seksual laki-laki dan perempuan
amerika (Kinsey, pomeroy, & martin,1948).
Sebagian besar teori behavioral kognitif
mengenai parafilia yang ada saat ini bersifat multidimensional dan berpendapat
bahwa parafilia terjadi bila sejumlah factor terdapat dalam diri individu.
Riwayat masa kanak-kanakindividu
yang mengidap parafilia mengungkapkan
bahwa sering kali mereka sendiri mengalami pelecehan fisik dan seksual
dan dibesarkan dalam keluarga dimana hubungan orangtua dan anak mengalami
gangguan (mason, 1997; Murphy,1997). Pengalaman masa kecil tersebut dapat
bekontribusi besar terhadap rendahnya tingkat keterampilan social dan harga
diri, rasa kesepian, dan terbatasnya hubungan intim yang sering terjadi pada
penderita parafilia (Kaplan & Krueger 1997). Dengan demikian parafilia dengan
mengintip dapat berfungsi sebagai pengganti hubungan dan aktivitas sex yang
wajar. Lebih jauh lagi keyakinan luas bahwa pelecehan seksual di masa kanak-kanak
memicu seseorang memiliki perilaku parafilik setelah dewasa, perlu dikoreksi
bahwa penelitian yang menunjukan bahwa kurang dari epertiga penjahat seks
berusia dewasa yang mengalami pelecah seksual sebelum mereka berusia 18 tahun
(maletzky, 1993).
Hubungan orang tua –anak yang menyimpang juga dapat memicu permusuhan
atau sikap negative pada umumnya dan kurangnya empati terhadap perempuan, yang
dapat menignkatkan kemungkinan untuk menyakiti perempuan. Alcohol dan efek
negative seringkali memicu tindakan voyeurism.
Penyimpangan kognitif juga berperan
dalam parafilia, contoh seorang voyeur dapat meyakini bahwa seorang perempuan
yang membiarkan tirai kamarnya terbuka ketika ia sedang berganti pakaian memang
ingin dirinya dilihat oleh orang lain (Kaplan & Krueger, 1997). Berbagai
hipotesis yang memfokuskan pada kognisi terkesan psikoanalisis. Contohnya, bebreapa
ahli klinis yang menganut prespektif kognitif perilaku dan bebeapa pendapat
psikodinamika menganggap trnasvetisme sebagai pelarian seorang laki-laki dari
tanggung jawab yang dianggapnya dibebankan padanya semata-mata karena ia
seorang laki-laki. Maka kemudian, pakaian perempuan diyakini memiliki makna
khusus bagi laki-laki transvesit di luar gairah seksual yang dirasakannya dengan
memakainya. Mungkin peran gender yang tidak terlalu kaku akan mengubah makna
pakaian perempuan bagi laki-laki semacam itu.
Perspektif
Interpersonal
Kekurangmampuan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan pegaulan bebas juga bisa menjadi penyebab
paraphilia.
SUDUT PANDANG
SOSIOKULTURAL
Penyebab parafilia
berdasarkan sosiokultural sangat beragam mulai dari faktor diskriminasi,
lingkungan yang keras, dan pola asuh. Lingkungan keluarga dan budaya di mana
seorang anak dibesarkan ikut memengaruhi kecenderungannya mengembangkan
perilaku seks menyimpang. Anak yang orangtuanya sering menggunakan hukuman
fisik dan terjadi kontak seksual yang agresif, lebih mungkin menjadi agresif
dan impulsif secara seksual terhadap orang lain setelah mereka berkembang
dewasa. Suatu sistem keluarga pun memberikan kontribusi dalam memunculkannya
gangguan parafilia.
PENANGANAN
PSIKOANALISIS, BEHAVIORAL, KOGNITIF DAN BIOLOGIS
Terapi psikoanalisis
Gangguan itu timbul
karena adanya gangguan karakter, yang juga disebut gangguan kepribadian,
sehingga sangat sulit untuk ditangani dengan keberhasilan yang cukup memadai.
Perspektif ini juga mungkin dianut oleh pengadilan dan masyarakat umum.
Meskipun psikoanalisis berdampak pada pandangan mengenai penyebab, hanya
sedikit berkontribusi pada terapi yang efektif bagi gangguan ini.
Terapi behavioral
Para Terapis kurang tertarik dengan gangguan
kepribadian yang berakar dalam di kalangan orang-orang yang mengidap parafilia
dan lebih memfokuskan pada pola seksualitas tertentu yang tidak wajar.
Konsekuensinya adalah mereka mencoba mengembangkan berbagai prosedur terapeutik
yang hanya mengubah aspek seksual individu. Beberapa keberhasilan telah
tercapai, terutama bila berbagai macam tekhnik digunakan dalam terapi
berspektrum luas dan mulus (becker, 1990, maletzyky, 2002; marshal dkk, 1991)
Pada masa-masa awal terapi perilaku,
parafilia dipandang secara sempit sebagai ketertarikan pada obyek dan aktivitas
yang tidak pada tempatnya. Menggunakan psikologi eksperimental untuk memperoleh
berbagai cara untuk mengurangi ketertarikan tersebut, para peneliti memilih
terapi aversi. Dengan demikian para fetisis boot akan diberi kejut listrik (di
kaki dan tangan) atau emetic (obat yang menimbulkan rasa mual) bila menatap
sebuah boot, seorang transvestite bila memakai pakaian lawan jenis, seorang
pedofila bila menatap foto yang sedang telanjang, dan seterusnya. Suatu variasi
yang didasarkan pada pencitraan adalah sensitisasi tertutup, dimana orang yang
bersangkutan membayangakn situasi yang menimbulkan gairah umum tidak tepat dan
juga membayangkan bahwa ia merasa mual atau malu karena memiliki perasaan atau
bertindak demikian (cautela, 1966)/. Meskipun terapi aversi tidak dapat
sepenuhnya menghilangkan ketertarikan tersebut, dalam beberapa kasus terapi ini
membuat pasien cukup dapat mengendalikan perilakunya (mc conagy, 1990,1994).
Metode lain disebut pemuasan; pasien melakukan masturbasi pada waktu yang lama,
umumnya setelah ejakulasi, seraya meneriakan fantasinya mengenai aktivitas yang
menyimpang. Diyakini bahwa terapi aversi
dan pemuasan terutama bila dikombinasi dengan tipe intervensi psikologis lain
seperti pelatihan keterampilan social, dapat memberikan beberapa manfaat bagi
pedofilia (brownell, hayes & barlow, 1997)
Reorientasi orgasmic digunakan untuk
membantu pasien belajar untuk lebih terangsang oleh stimuli seksual yang wajar.
Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimuli merangsang yang normal,
seperti foto perempuan ketika mereka sedang memberikan respon seksual terhadap
stimuli lain yang tidak dikehendaki.
Selain prosedur bebasis gairah,
beberapa tekhnik lain digunakans ecafra luas, pelatihan keterampilan social
sering digunakan karena banyak individu yang mengidap parafilia kurang memiliki
keterampilan social. Tekhnik lain penyelesaian behavioral alternative,
merupakan tekhnik dimana pasien membayangkan aktivitas yang menyimpang namun
mengubah bagian akhirnya.
Penanganan kognitif
Prosedur kognitif sering kali
digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran pada individu yang mengidap
parafilia (tabell) berisi contoh-contoh distorsi kognitif yang akan menjadikan
target modifikasi. Contohnya seorang ekshibisionis dapat mengklaim bahwa
perempuan yang menjadi sasarannya terlalu muda untuk merasa terluka karena apa
yang dilakukannya. Terapis akan meluruskan distorsi terebut dengan mengatakan
bahwa semakinmuda usia korban semakin negative efeknya bagi si korban (
maletzyky, 1997), pelatihan empati pada orang lain merupakan tekhnik kognitif
lainnya.
Secara umum, penedkatan kognitif dan behavioral sudah sangat canggih dan
lebih luas lingkupnya sejak tahun 1960-an ketika parafilia sepenuhnya dianggap
sebagai ketertarikan seksual yang dikondisikan secara klasik terhadap stimuli
lingkungan yang tidak tepat. Dalam
berbagai kasus terapi yang diberikan menggunakan pendekatan Master dan Johnson
sebagai model, dengan asumsi bahwa beberapa parafilia terjadi atau tetap
dilakukan karena hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan orang dewasa yang
menjadi pasangan si pengidap. Secara keseluruhan baik program-program yang
dilakukan di dalam ataupun di liuar instuisi yang menggunakan model
kognitif-perilaku untuk para penjahat seksual mengurangi rsidivisme lebih dari
yang diharapkan bila tidak diberikan terapi sama sekali (maletzky, 2002).
Penanganan biologis
Berbagai variasi intervensi biologis
tekah dicobakan kepada para penjahat seksual. Kastarsi atau pemotongan testis
sangat banyak dilakukan di eropa barat selama dua generasi lalu yang tampak
cukup efektif mengurangi perilaku parafilik.
Ada beberapa upaya untuk mnegendalikan perilaku parafilik hukum dan
secara social diterima baru-baru ini mencangkup penggunaan obat-obatan. Salah
satunya dengan mendroksiprogesteron asetat (MPA) yang menurunkan kadar
testosterone pada laki-laki. Dengan mengurangi frkeunsi ereksi dan ejakulasi,
pengguanaan obat ini diasumsikan menghambat gairah seksual (baik wajar ataupun
tidak) dan mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki. Siproteron asetat, yang
juga mnegurangi kadar testosterone juga digunakan untuk menghasilkan efek yang
sama. (hall, 1995)
Hasil-hasilny sejauh ini bervariasi
, sebuah studi di Berlin dan Meinecke (1981) menemukan bahwa setelah beberapa
mengasumsi MPA mulai dari 5-20 tahun dari 20 penjahat seksual tidak lagi
melakukan tindakan parafilik. Meskipun demikian setelah pengkonsumsian obuta
tersebut dihentikan , sebagian besar kembali melakukannya. Temuan lebih
muktahir lebih positif mengurangi rasidivisme (prenkly, 1997). Meskipun demikian
jika penghambat nafsu seksual tersebut harus dikonsumsi untuk waktu yang tidak
terbatas, banyak isu etis yang muncul, terutama karena obat-obatan tersbut
dapat menimbulkan efek samping serius bila digunakan dalam waktu yang lama,
seperti kemandulan dan diabetes (gunn, 1993). Masalah lain adalah tingginya
tingkat putus obat dikalangan peserta program tersebut. Fluoksetin belum lama
ini dicobakan dengan hasil yang tidak pasti karena efektivitasnya yang rendah
untuk mengatasi obsesi kompulsi, pemikirannya adalah parafilia terjadi karena
tindakan dan dorongan yang tidak dapat dikendalikan seperti GOK (kafka, 1995).
Hukum megan
Bervariasinya hasil bebagai upaya
untuk merehabilitasi para penjahat seks, yang sering kali berakibat pada
dibebaskannya para pencabul anak dan pemerkosaan yang kembali melakukan
kejahatan tersebut., telah mendorong tekanan public untuk mencegah penjahat itu
kembali ke wilayah dimana mereka sebelumnya ditangkap. Trend yang lebih maju
tercermin dalma beberapa hokum yang diberlakukan baru-baru ini mengizinkan
pihak kepolisian mempublikasikan keberadaan apra penjahat seks yang terdaftar
di kepolisian jika mereka dianggap membahayakan.hukum ini juga mengizinkan
masyarakat untuk menggunakan computer di kepolisian untuk mengetahui apakah
pihak individu semacam itu tinggal di lingkungan mereka.
Disebut oleh beberapa orang dengan
hukum megan, banyak hukum sejenisnya diseluruh Amerika Serikat yang muncul dari
kemarahan masyarakat perilaku penjahat seks. Konsekuensi huukum megan yang
tidak dikehendaki adalah orang-orang yang pernah ditangkap bertahun-tahun lalu
karena hubungan seks homoseksual tanpa paksaan telah dihubungi oleh pihak
kepolisian untuk memaksa mereka mendaftar sebagai penjahat seksual sehingga
keberadaan mereka di tempatnya dapat diketahui meskipun huukum yang berlaku
pada saat mereka ditangkap sudah dihapuskan, dan meskpun isu itu masih ada
sampai saat ini adalah melindungi masyarakat dari para predator seksual, bukan
dari orang-orang yang melakukan hubungan seksual tanpa paksaan dengan sesame
orang dewasa. Tidak mengherankan hokum ini ditentang oleh berbagai kelompok
hak-hak sipil.
TERAPI PARAFILIA
Karena sebagian besar parafilia
melanggar hukum, banyak orang yang didiagnosis mengidap gangguan tersebut dan
dipenjara sehingga penangan mereka merupakan perintah pengadilan. Seperti
halnya pada penyalah guna zat, para penjahat seks sering kali kurang
termotivasi untuk mengubah perilakunya yang melanggar hukum. Factor-faktor yang
merendahkan motivasi mereka adalah mengingkari masalah, mengecilkan keseriusan
masalah yang mereka miliki, keyakinan mereka bahwa korbannya bukanlah saksi
yang meyakinkan, dan rasa percaya diri
bahwa mereka dapat mengontrol perilaku mereka tanpa bantuan professional. Ada beberapa metode untuk meningkatkan
motivasi mereka dalam menjalankan terapi, (miller & rollnick,1991) diantaranya :
Terapis dapat berempati
terhadap keengganan si pelaku untuk mengakui bahwa dia adalah seorang penjahat
sehingga mengurangi defensifitas dan kekerasan.
Terapis dapat
menunjukan pada si pelaku berbagai penanganan yang dapat membantunya
mengendalikan perilakunya secara lebih baik dan menekan konsekuensi negative
yang timbul karena menolak menjalani penanganan
Setelah menjabarkan
penangan yang mungkin diperoleh, terapis dapat menerapkan intervensi
paradoksikal dengan menunjukan keraguan bahwa si pelaku termotivasi untuk
menjalani atau melanjutkan penanganann sehingga menantang si pelaku untuk
membuktikan bahwa keraguan si terapis yang semula ditentangnya tidak berdasar
Terapis dapat
menjelaskan bahwa akan dilakukan pengukuran psikofisiologis terhadap gairah
seksual si pasien, yang dapat mengungkap kecenderungan seksual pasien tanpa dia
harus membuat pengakuan tentang hal tersebut.
PREVENSI
Banyak ahli yang
menyetujui bahwa memberikan bimbingan mengenai perilaku yang dapat diterima
budaya akan mencegah perkembangan parafilia seperti voyeurisme. Asal-usul
beberapa contoh dari voyeurisme mungkin kebetulan pengamatan dengan kepuasan
seksual yang berikutnya. Tidak ada cara untuk memprediksi ketika seperti acara
Asosiasi dan akan terjadi. Anggota masyarakat pada umumnya dapat mengurangi
insiden voyeurisme menggambar tirai, menjatuhkan tirai atau menutup jendela
tirai. Mengurangi kesempatan untuk voyeurisme dapat mengurangi praktek.
Kasus
Seorang mahasiswa muda
menikah mempunyai apartemen selama bulan-bulan musim panas yang sangat panas.
Untuk memungkinkan dia untuk menghadiri sekolah, istrinya bekerja, dia pulang
di malam hari lelah dan kesal dan tidak dalam mood untuk hubungan seksual..
Dalam rangka "untuk mendapatkan beberapa kepuasan seksual", pemuda
itu akan melihat melalui teropong per kamar
dan kadang-kadang melihat pasangan muda ada terlibat dalam kegiatan
erotis. Ini mendorongnya sangat, dan dia memutuskan untuk memperpanjang
mengintip ke sebuah rumah mahasiswi. Selama usaha kedua, , ia ditangkap oleh
polisi. Pelaku ini cukup dewasa untuk anak seusianya, agak puritan dalam
sikapnya terhadap masturbasi, dan cenderung untuk memanjakan diri dalam fantasi
seksual kaya tapi belum matang.
Sumber
American Psychiatric
Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Fourth
edition, text revised. Washington DC: American Psychiatric Association, 2000.
Carson,
C. Robert;Butcher, James N. 1992.Abnormal
Psychology and Modern Life.9th edition.Harper-Collin Publisher Inc.New
York.
Davison, Gerald. C
& Neale, John.M. 2001. Abnormal
Psychology 8th edition. New York: John Wiley & Son
Gelder, Michael,
Richard Mayou, and Philip Cowen. Shorter Oxford Textbook of Psychiatry. 4th ed.
New York: Oxford University Press, 2001.
Kohut, John J., Roland
Sweet. Real Sex: Titillating but True Tales of Bizarre Fetishes, Strange
Compulsions, and Just Plain Weird Stuff. New York: Plume, 2000.
Wilson, Josephine F.
Biological Foundations of Human Behavior. New York: Harcourt, 2002.
Yusuf Buhori Maulana
10050009120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar