Pengertian
Menurut DSM IV, body dysmorph disorder adalah gangguan
mental yang terlalu memperhatikan penampilan. Jika ada sedikit cacat yang
muncul, meski orang lain tidak tahu, maka timbul perasaan kekhawatiran yang
berlebihan. Untuk mendiagnosa bahwa ini adalah suatu gejala mental atau
tidak maka tolak ukurnya adalah apabila perilaku sudah menimbulkan stres secara signifikan
atau terganggunya fungsi individu secara sosial.
Sebagian
besar kekhawatiran pada orang-orang ini lebih bersifat imajinasi. Pada
kesempatan lain, mungkin terdapat abnormalitas pada bentuk tubuh mereka, tetapi
kekhawatiran mereka terhadap hal tersebut terlalu dibesar-besarkan.
Di antara individu yang
mengalami body dysmorph disorder,
pria lebih disibukkan dengan pembentukkan tubuh, alat kelamin, dan penipisan
pada rambut mereka (Phillips & Diaz, 1997). Pada edisi terakhir DSM
(American Psychiatric Association, 2000) ditambahkan pembentukkan otot dan
badan pada daftar hal-hal yang menjadi perhatian. Sedangkan wanita sangat
disibukkan perhatiannya dengan kulit, rambut, payudara dan perut mereka.
Untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai bagian-bagian tubuh yang menjadi
kekhawatiran orang-orang yang mengalami body
dysmorph disorder dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Ciri
dan Karakteristik Diagnostik
Ciri-ciri diagnostik :
·
Penderita terpaku pada kerusakan fisik
yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka.
·
Penderita dapat menghabiskan waktu
berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang
ekstrim untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan atau membuang
semua cermin di rumahnya agar tidak diingatkan akan ‘cacat’ yang mencolok dari
penampilan mereka.
·
Penderita bisa sampai melakukan operasi
plastik yang tidak dibutuhkan secara berulang kali.
·
Penderita percaya bahwa orang lain
memandang diri mereka jelek dan memiliki penampilan fisik yang tidak menarik.
·
Penderita bisa memunculkan perilaku
kompulsif dalam rangka mengoreksi kerusakan yang dipersepsikannya.
Karakteristik diagnostik :
·
Preokupasi dengan bayangan cacat dalam
penampilan. Bahkan, jika ditemukan ada sedikit anomali tubuh, kekhawatiran
orang tersebut menjadi berlebihan.
·
Preokupasi
menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
·
Preokupasi tidak
dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan
dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia).
Epidemiologi
Tingkat body dysmorph
disorder pada populasi umum adalah sekitar 1-2%. Salah satu studi psychiatric inpatients menemukan prevalensi body
dysmorph disorder 13%. Semua pasien yang memenuhi kriteria untuk body dysmorph disorder dalam penelitian
mengidentifikasi gangguan ini sebagai masalah utama. Selanjutnya, penelitian
menunjukkan bahwa 9-12% pasien mencari perawatan dermatologi dan 6-15% dari
pasien yang meminta operasi kosmetik memiliki kecenderungan menderita body dysmorph disorder.


Etiologi
Informasi mengenai etiologi
body dysmorph disorder belum dapat diketahui dengan jelas karena
tidak adanya informasi yang berarti mengenai faktor-faktor atau kerentanan
biologis maupun psikologis yang mempredisposisikannya. Informasi yang didapat
tentang etiologi body dysmorph disorder
berasal dari pola komorbiditas body
dysmorph disorder dengan gangguan lain serta eksplorasi lintas budaya
terhadap gangguan tersebut.
·
Faktor biologis
Dari informasi
yang ada belum dapat diketahui apakah gangguan ini ada dalam keluarga sehingga
tidak dapat ditelisik suatu kontribusi genetik tertentu. Patofisiologi gangguan
mungkin melibatkan serotonin dan dapat berhubungan dengan gangguan mental lain.
·
Faktor psikososial
Dalam
psikodinamika, body dysmorph disorder mencerminkan
pengalihan konflik seksual atau emosional ke dalam bagian tubuh yang tidak
berhubungan. Difokuskan pada mekanisme pertahanan yang disebut displacement yaitu bahwa konflik tak
sadar yang mendasarinya terlalu mencemaskan untuk diakui dalam kesadaran
sehingga orang yang bersangkutan memindahkannya (to displace) ke bagian tubuh tertentu.
Faktor perilaku à
Perilaku kompulsi yang diasosiasikan dengan body
dysmorph disorder dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang
diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kerusakan fisik yang
dipersepsikan.
Faktor emosi dan
kognitif à
salah interpretasi dalam penampilan fisik hingga terlalu disibukkan, bahkan
hampir pada titik mengalami delusi dengan gagasan jika tubuh mereka jelek atau
cacat.
Orang dengan
gangguan ini mengalami konflik atau trauma selama hidup mereka dan keadaan-keadaan
tersebut menciptakan reaksi emosi yang kuat sehingga tidak dapat
mengintegrasikannya ke dalam memori, kepribadian, dan konsep diri.
Kejadian-kejadian yang menekan dapat memicu respons maladaptif mengenai gagasan
tentang diri.
·
Faktor sosiokultural
Dari eksplorasi
lintas budaya terhadap gangguan-gangguan serupa, orang yang didiagnosis body dysmorph disorder dalam budaya kita
mungkin sekadar dianggap memiliki fobia sosial berat di jepang (terkait dengan culture bound - taijin kyofusho dimana individu percaya bahwa
mereka, misalnya, memiliki bau nafas atau bau badan yang tidak enak sehingga menghindari interaksi sosial). Jadi,
faktanya kecemasan terkait secara fundamental dengan body dysmorph disorder.
Orang dengan body dysmorph disorder dilaporkan
memiliki penghasilan dan tingkat mendapatkan pasangan yang rendah serta tingkat
pengangguran yang tinggi jika dibandingkan dengan individu yang tidak memenuhi
kriteria body dysmorph disorder.
Individu dengan body dysmorph disorder
juga memiliki tingkat kecenderungan pikiran dan usaha yang tinggi untuk
melakukan bunuh diri.
Prevensi
1. Prevensi
primer
Upaya yang dapat
dilakukan dalam mencegah kemungkinan munculnya body dysmorph disorder dan mengembangkan kesehatan mental yang
positif, misalnya dengan memberikan penyuluhan mengenai self esteem, yaitu:
- Hargailah diri Anda. Yakinlah
bahwa Anda adalah karakter yang unik dan memiliki keistimewaan tersendiri.
- Kembangkanlah potensi-potensi
dalam diri anda. Penampilan fisik bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi
penilaian kualitas diri. Intelektual dan kepedulian sosial adalah aset
yang jauh lebih berharga daripada penampilan.
- Cari lingkungan pertemanan yang
saling mendukung. Bangun self esteem yang kuat dalam diri anda,
sebarkan cinta dan kasih sayang pada sesama. Jangan biarkan kata-kata
buruk melukai diri Anda.
- Happiness is my right and nothing is going to ruin that
2. Prevensi Sekunder
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak, lama dan
berkembangnya masalah agar tidak bertambah parah, misalnya seperti :
·
Early case detection agar dapat memberi kesadaran sedini
mungkin bahwa dia memiliki kecenderungan body
dysmorph didorder, bahwa ada yang salah dengan pemikirannya, dan jika tetap
seperti itu akan berdampak buruk bagi dirinya.
·
Beri
dukungan moral, perhatian, dan kasih sayang bahwa dirinya adalah pribadi yang
unik dan istimewa.
·
Memberi
dorongan agar ia mau mendapat pertolongan dari terapi profesional.
·
Melakukan crisis Intervention, telephone hotline,
clinic based, mobile outreach, in-home intervention.
3. Prevensi tersier
Upaya untuk
mengurangi konsekuensi jangka panjang gangguan dan mencegah disabilitas atau
ketidakmampuan mental yang dapat menjadi kecacatan permanen dapat dilakukan
melalui berbagai cara seperti:
·
Penanganan biomedis à
penggunaan antidepresan dalam menangani body dysmorph disorder, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) - dengan
meningkatkan serotonin dalam otak bisa menghilangkan obsesi-kompulsif pada
bagian tubuh.
·
Psychodynamic
therapy à terapi psikodinamika atau yang
berorientasi terhadap pemahaman dapat ditujukan untuk mengidentifikasi dan
mengenali konflik-konflik tidak sadar yang mendasarinya serta pada tujuan insight sebagai kekhawatiran yang
direpres mengarah pada simptom.
·
Behavioral
therapy à terapi ini berfokus dalam menghadapkan
pasien pada situasi yang ditakuti pasien tentang kekhawatiran akan tubuh
mereka, menghilangkan kekhawatiran mereka tentang bagian tubuh mereka, dan
mencegah respon yang kompulsif terhadap bagian tubuh tertentu.
·
Cognitive-behavior
therapy à
terapi berfokus memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi stres dan memperbaiki keyakinan yang
berlebihan atau terdistorsi mengenai penampilan seseorang. Terapi ini juga
meningkatkan perasaan efikasi diri pada individu, asertivitas, dan kesadaran
akan disfungsi pola pikir.
Contoh Kasus
Tokoh: Michael Jackson
Michael Joseph Jackson lahir pada tanggal 29
Agustus 1958 di Gary, Indiana, sebuah daerah industri di pinggiran Chicago. Ia
adalah keturunan seorang Afrika-Amerika dari Joseph Walter "Joe"
Jackson dan Katherine Esther Scruse.
Ia adalah anak ke-7 dari 9 bersaudara. Saudaranya antara lain Rebbie, Jackie, Tito, Jermaine, La Toya, Marlon, Randy, dan Janet.
Joseph Jackson pernah bermain di sebuah band R&B bernama The Falcons,
bersama saudaranya Luther sehingga kepada Michael Jacksonlah ayahnya bertekad
ingin menurunkan bakatnya.
Jackson pernah menyatakan bahwa sejak kecil ia
mengalami kekerasan dari ayahnya, baik secara fisik maupun mental, seperti
latihan yang tak henti-henti, cambuk, dan memanggilnya dengan panggilan kasar.
Namun demikian, ia juga mengakui bahwa kedisiplinan yang diterapkan ayahnya
membawa pengaruh besar bagi kesuksesannya. Marlon Jackson menceritakan, pernah
dalam suatu perselisihan, Michael diangkat terbalik kemudian dipukuli di
punggung dan pantatnya. Pernah pula di suatu malam, ketika Michael sedang
tidur, Joseph memanjat dari kamarnya ke pintu kamar Jackson. Dengan mengenakan
topeng menakutkan, ia masuk ke kamar, berteriak keras menakut-nakuti Michael.
Joseph mengatakan bahwa ia melakukan itu untuk
mengajarkan anak-anaknya agar tidak membiarkan jendela kamar terbuka ketika
tidur dan apabila Michael sedang di kamar mandi dalam keadaan pintu yang tidak
ditutup, maka Michael dipukul oleh ayahnya dan ditakut-takuti. Selama
bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut, Michael sering mengalami mimpi ia
diculik dari kamarnya. Pada tahun 2003, Joseph mengakui pernah mencambuk
Michael ketika ia masih kecil.
Michael Jackson adalah contoh nyata orang
yang masa kecilnya tidak bahagia. Semua masalah yang dihadapi di usia dewasanya
bermula dari ketidakbahagiaannya di masa kecil. Tak hanya saat berlatih sang
ayah menampar dan mencambuknya, namun juga saat akan naik panggung. Barangkali
sang ayah menganggap bahwa apa yang ia lakukan semata-mata untuk kesuksesan
anak-anaknya. Namun yang terjadi adalah luka batin yang tak tersembuhkan.
Kekerasan
verbal baik hinaan maupun kata-kata yang mengancam tak kalah menimbulkan
luka mental. Sebutan big nose (hidung besar) membuatnya di kemudian hari
sering mengubah penampilan melalui operasi plastik hingga berkali-kali.
Sejak usia
lima tahun, waktu Michael Jackson habis untuk berlatih dan tampil di berbagai
pertunjukkan. Hal ini membuatnya benar-benar kehilangan keindahan masa
kecilnya. “Saya suka dengan pertunjukkan, tapi ada saatnya saya hanya ingin
bermain.” Demikian pengakuan Jacko sapaan akrab Michael Jackson dalam
wawancaranya dengan Oprah Winfrey. “Saya tidak pernah punya masa kecil yang
normal.”
Karena itu,
saat dewasa, ia mencoba menciptakan apapun yang tak pernah didapatnya di masa
kecil. Ia membangun istana di Ranch Neverland pada bulan Maret tahun 1988,
suatu tempat impian yang umumnya ada dalam benak anak-anak. 'Negeri' impian
Michael Jackson itu menyediakan kebun binatang, roller coaster, komedi putar,
bianglala, kereta api, dll. Michael juga menyatakan bahwa dirinya ingin seperti
tokoh Peter Pan.
Dalam kasus Michael Jackson ini, dapat dilihat bahwa sejak
kecil King of Pop ini cenderung
mendapatkan siksaan baik fisik maupun verbal dari sang ayah. Kekerasan verbal berupa hinaan maupun kata-kata
yang mengancam menimbulkan luka mental. Kondisi ini yang kemudian
membuatnya terobsesi dengan cosmetic surgery sebagai ekspresi dari
defence mechanism atas kecemasan dan ketidakpuasan akan relasi sosialnya semasa
kecil.
Daftar
Pustaka
Durand, V Mark., David H Barlow. 2006. Essentials of Abnormal Psychology Sixth Edition. Wadsworth Pub Co
4.
Halgin, Richard P., Susan Krauss Whitbourne. 2010. Abnormal Psychology: Clinical Perspectives
on Psychological Disorders. Mc Graw Hill.
Nevid, Jeffrey S., Spencer A Rathus and Beverly Greene. 2003. Abnormal Psychology in Changing World Fifth Edition. Prentice Hall 5.
Rahayu Puji Astuti
10050009164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar