A.
Definisi
dan Teori
Masokis atau masochism merupakan
salah satu bentuk parafilia yang memiliki karakteristik adanya dorongan seksual
yang kuat, berulang, terjadi dalam periode minimal 6 bulan, fantasi, serta
tindakan yang dilakukan oleh oranglain untuk menerima rasa sakit atau rasa
direndahkan.
Perilaku masokis sering dikaitkan
dengan perilaku sadism karena mayoritas sadistis menjalin hubungan dengan
masokis untuk memperoleh kepuasan seksual secara timbal balik. Dari hal tersebut
muncullah istilah sadomasokis, nama tersebut berasal dari dua pengarang subjek
yakni Marquis de Sade dan Leopold von Sacher-Masoch. Sadistis dapat memperoleh
kenikmatan orgasmic sempurna dengan menimbulkan rasa sakit pada pasangannya
sedangkan masokis dapat terpuaskan ketika membiarkan dirinya disakiti atau
direndahkan namun adanya pernyataan dari praktisi sadistis dan masokis yang
menyatakan bahwa mreka sering bergantian posisi untuk merasakan kenikmatan dari
keduanya sekaligus. Hal ini terjadi dalam hubungan heterosexual maupun
homosexual.
Aktivitas seksual yang dilakukan
sadistis dan masokis bermakna fiksional dan sangat terencana yaitu aktivitas
tersebut disusun dalam sebuah cerita dengan berbagai aturan dan prosedur yang
disepakati bersama. Disakiti, dipermalukan, dan didominasi adalah bagian dari
kesepakatan yang diperankan. Masokisme seksual melibatkan situasi mengikat atau
menyakiti diri sendiri pada saat masturbasi atau berfantasi seksual. Selain
itu, pasangan juga diminta untuk mengikat (membatasi gerak), menutup mata
(membatasi visual), memukul dan bahkan mencambuk. Pada beberapa kasus ditemukan
praktisi masokis juga menginginkan untuk dikencing, diberaki atau menjadi objek
penganiayaan verbal dengan tujuan mendapat kepuasan seksual.
Aktivitas masokisme seksual yang
paling berbahaya adalah hipoksifilia, dimana partisipan terangsang secara
seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya, misalnya dengan menggunakan
jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada. Pengurangan oksigen
ini juga disertai dengan fantasi sesak nafas atau dengan dibuat sesak nafas
oleh pasangan dan baru menghentikan aktivitas ini sebelum kehilangan kesadaran
namun terkadang kematian karena kehabisan nafas juga terjadi akibat salah
perhitungan.
Menurut psikologi klasik Freud memperkenalkan istilah masokisme primer dan
sekunder. Walaupun gagasan ini memiliki sejumlah penafsiran, dalam masokisme
primer, masokis melakukan penolakan sepenuhnya atau sebagian kepada model atau
objek kawin (atau sadis), mungkin melibatkan model menganggap musuhnya sebagai
pasangan yang terpilih. Penolakan sepenuhnya ini terkait dengan pengendali
kematian dalam psikoanalisa Freud (Todestrieb). Dalam masokisme sekunder,
sebaliknya, masokis mengalami penolakan yang ringan dan hukuman oleh model.
Masokisme sekunder, dengan kata lain, adalah versi yang relatif kasual dan
lebih lembut.
Sartre menyajikan teori
sadisme dan masokismenya. Karena kenikmatan atau kekuatan dalam mencari figur
korban banyak ditemukan dalam sadisme dan masokisme, Sartre mampu menghubungkan
fenomena ini dengan filosofi terkenalnya “Look of the Other (Melihat orang
lain)”. Sartre berpendapat kalau masokisme adalah usaha oleh ‘For-itself’ kesadaran untuk mereduksi dirinya ke ketiadaan, menjadi objek yang
tenggelam dalam “relung subjektivitas orang lain.” Dengan ini Sartre bermaksud
mengatakan kalau adanya keinginan ‘For-itself’ untuk mempertahankan sudut pandang dimana ia
subjek sekaligus objek, strategi yang mungkin adalah mengumpulkan dan
memperkuat tiap perasaan dan postur dimana diri tampak sebagai objek untuk
ditolak, diuji dan dipermalukan; dan dengan cara ini For-itself berjuang menuju
sudut pandang dimana hanya ada satu subjektivitas dalam hubungan, yang
merupakan milik yang dilecehkan dan peleceh sekaligus. Sartre berpendapat kalau
sadisme adalah usaha menghapus subjektivitas korbannya. Itu berarti kalau sadis
terdorong oleh gangguan emosional korban karena mereka mencari subjektivitas
yang memandang korban sebagai subjek sekaligus objek.
Sedangkan menurut psikologi
modern Seorang sadis, di sisi lain,
dapat merasakan kekuatan dan otoritas yang datang dari bermain dominan atau
mendapatkan kenikmatan lewat penderitaan masokis. Masih belum dipahami
apa yang menghubungkan pengalaman emosional ini dengan gratifikasi seksual atau
bagaimana hubungan tersebut awalnya terbentuk. Bila kita mempertimbangkan kalau
Ego juga merupakan pusat struktur repetitif mandiri yang kelaparan di kepenuhan
dan keterhubungan yang ia nikmati di awal kehidupan, kita juga dapat memahami penghancuran
batasan tersebut (dalam proses mempermalukan) dapat membawa re-imersi sementara
kedalam matriks kehidupan bagi masokis. Sadis akan mengambil kenikmatan yang
lebih sedikit dari ilusi menjadi Tuhan.
Disetujui oleh para psikolog kalau pengalaman di masa
perkembangan seksual dapat memiliki pengaruh besar pada karakter seksualitas di
kemudian hari. Walau demikian, keinginan sadomasokistik terlihat terbentuk
dalam berbagai usia. Beberapa individu melaporkan mulai menginginkannya sebelum
pubertas, sementara yang lain tidak hingga dewasa. Menurut sebuah studi,
mayoritas sadomasokis laki-laki (53%) mengembangkan minatnya sebelum usia 15,
sementara mayoritas perempuan (78%) mengembangkan minatnya lebih tua lagi.
Prevalensi sadomasokisme secara umum dalam populasi umum
tidak diketahui. Walaupun sadis perempuan lebih sulit dikenali dari laki-laki,
beberapa survey menunjukkan sejumlah fantasi sadis pada laki-laki dan
perempuan. Hasil studi tersebut menunjukkan kalau jenis kelamin tidak
menentukan pilihan sadisme.
B.
Pencegahan
Pencegahannya adalah seperti
mengajari anak-anak untuk mengenali perilaku orang dewasa yang tidak pantas,
menolak bujukan, segera menjauh dari situasi tersebut dan melaporkan insiden
tersebut kepada orang dewasa yang tepat. Anak-anak diajari untuk mengatakan
‘tidak’ secara tegas dan asertif apabila ada orang dewasa yang berbicara kepada
mereka atau menyentuh mereka dengan cara yang membuat mereka merasa tidak
nyaman. Para penyuluh dapat menggunakan buku-buku komik., film, dan gambaran
tentang situasi berisiko dalam upaya mengajarkan tentang karakteristik
penganiayaan seksual dan bagaimana cara anak-anak melindungi diri mereka
sendiri.
Intevensi untuk orang dewasa, titik
beratnya adalah pada pemaparan terhadap ingatan atas trauma tersebut melalui
diskusi atmosfer terapeutik yang aman dan suportif. Mempelajari bahwa
seksualitas manusia yang sehat tidak dapat menjadi bagian yang memperkuat
kepribadian individu seiring berkembangnya kematangan pribadinya. Hambatan
dalam kontak fisik dapat ditangani dalam lingkungan terapi kelompok dengan cata
memegang tangan dan mengusap punggung secara terstruktur dan nonseksual.
Seperti halnya pada perkosaan, penting untuk membuang rasa bersalah atas apa
yang terjadi, mengubah atribusi tanggung jawab individu dari konsep diri
“tingkah laku saya buruk” ke “tingkah laku (pelaku) buruk”. Intervensi
bervariasi tegantung pada usia korban — remaja berusia 14 tahun tidak
memerlukan boneka untuk mengingat apa yang terjadi, dan anak berusia 3 tahun
jelas tidak dapat mengikuti untuk terapi kelompok.
C.
Ciri-ciri
Masokis sendiri dapat disebabkan
karena adanya trauma di masa lalu, kemungkinan juga individu masokis mengalami
trauma di masa kecil, misalnya seperti figur ibu yang inferior dan ayah yang
superior. Selain itu, individu masokis juga mengalami kekerasan yang yang
mendalam sehingga di alihkan menjadi kenyamanan. Tidak berfungsinya aspek
sosial di dalam diri juga dapat menjadikan cirri dari pribadi masokis.
D.
Etiologi
a)
Pandangan Psikodinamik
Menurut pandangan psikodinamik, parafilia pada
dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan direpres, dan
mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang
dengan parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual
yang konvensional, bahkan yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan
seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak adekuat untuk hubungan sosial
dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa (Lanyon, 1986).
b)
Pandangan Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari
classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan
seksual dengan kelompok stimulus yang dianggang tidak pantas oleh masyarakat.
Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat multidimensional, dan
menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia mengalami penyiksaan
fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang
hubungan antara orang tua dengan anak terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997).
Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan
sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim
yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall,
Serran, & Cortoni, 2000). Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa
kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu
ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan
seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun.
Distorsi kognitif juga memiliki peran
dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai
pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan
mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban,
atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif
operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang
tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau
orang lain.
E.
Terapi
Karena sebagian besar
parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan
diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan
seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya.
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan
motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991):
1.
Berempati terhadap keengganan untuk
mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.
2.
Memberitahukan jenis-jenis perawatan
yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek
negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment.
3.
Memberikan intervensi paradoksikal,
dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk
menjalani perawatan.
4.
Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan
psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian
kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui
oleh pasien (Garland & Dougher, 1991).
Terdapat beberapa
jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral,
kognitif, serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat
dari pelaku kejahatan seksual.
a)
Terapi psikoanalitik
Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia
berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan
hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum mmberi kontribusi yang besar bagi
penanganan parafilia secara efektif.
b) Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk
mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada
awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek
seksual yang tidak pantas, prosedur yang dilakukan adalah dengan terapi
aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat
seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain,
disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama,
sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan
dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap
paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes,
& barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks,
Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990).
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
c)
Penanganan Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah
pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula
pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang
lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse,
yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan
terlarang.
d) Penanganan Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua
generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis.
Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan.
Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan
cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada
laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat
masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas
serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru
ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang
efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari
pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.
e)
Usaha Hukum
Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat,
telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law,
hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan
pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan
masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk
mengulangi kejahatannya.
F.
Kasus
Film : A Dangerous Method
Saat
itu Sabina Spielrein (Keira Knightley) baru berusia 18 tahun. Meski usianya
masih sangat muda namun gadis cantik ini sudah menanggung beban hidup yang
sangat berat. Ia terpaksa harus dirawat di sebuah klinik. Di sinilah Sabrina
bertemu Carl Jung (Michael Fassbende) dan Sigmund Freud (Viggo Mortense).
Carl
Jung adalah seorang psikolog muda asal Swiss yang sedang mendalami teori yang
dikemukakan Sigmund Freud. Carl berminat menangani kasus Sabrina yang saat itu
dianggap cukup rumit. Sabrina sendiri punya masa lalu yang suram dan kondisi
psikologisnya sangat tidak stabil. Para pendukung Jung menganggap Freud sebagai pribadi yang
mengalami penyimpangan orientasi seks. Sebaliknya, pendukung Freud merendahkan
Jung karena dianggap terlalu banyak omong kosong dengan ilmu-ilmu takhayulnya.
Mungkin mereka berdua lebih banyak benarnya daripada salah. Persaingan besar
dan abadi ini didramatisir dalam film arahan David Cronenberg, “A Dangerous Method”.
Carl Jung menikah dan
membina kehidupan rumah tangga yang mapan. Sebagai seorang praktisi terkemuka
di bidang studi baru yang kontroversial, ia ingin menerapkan metode psikoanalisis
yang dianjurkan oleh Sigmund Freud. Dan, Sabina Spielrein menawarkan sebuah
kesempatan yang sempurna bagi Jung.
Meskipun memiliki
kecerdasan yang tajam, namun Sabina merasa sangat terganggu mendapati kenyataan
bahwa dirinya tidak berguna dalam masyarakat. Namun, ketika Jung dapat membuat
Sabina mengeluarkan isi hatinya, akar dari siksaan batinnya kian menjadi jelas.
Kemudian Sabina mempelajari ilmu kedokteran, dengan maksud untuk menjadi
psikiater sendiri. Semuanya mungkin telah berakhir bahagia pada saat ini, kalau
bukan karena libido itu sendiri yang merusak semuanya.
Setelah menjalani masa
hukuman pencobaan, Jung yang didera rasa bersalah, secara drastis beristirahat
total dari mantan-mantan pasiennya. Ini membuat Sabina Spielrein gelisah mencari
mentor psikiater yang baru, yang akhirnya bertemu dengan dr. Sigmund Freud.
Mendengar penuturan Spielrein, Freud menjadi agak kecewa terhadap rekannya yang
lebih muda tersebut (Jung), sementara Spielrein kian hari kian sejalan
pemikirannya dengan Freud dalam mengolah tulisan akademisnya. Sehingga tidak
mengherankan, hal ini memperburuk pembagian filosofis antara Freud dan Jung.
Walaupun tidak setenar
rekan-rekan prianya, namun Sabina Spielrein dapat dibilang mampu menghadirkan
kehidupan yang lebih sinematik. Dia adalah seorang Yahudi Rusia yang secara
tragis harus kembali ke tanah air-nya di era Soviet. Banyak sanak keluarga
Spielrein yang tewas selama Pemerintahan teror Stalin, sementara ia pun
akhirnya dibunuh oleh kaum Nazi. Dia bukan hanya seorang perempuan yang cantik;
beasiswa yang didapatkannya diperkirakan dipengaruhi baik oleh Jung maupun
Freud.
G.
Sumber
1.
A. Ratus Spencer, Greene Beverly, S.
Nevid Jeffrey. “Abnormal Psychology In A Changing World” Fourth Edition. 391
2.
C. Davidson Gerald, M. Kring Ann, M.
Neale John. “Abnormal Psychology-Ninth Edition”. 14:623-633
3.
Fedoroff, Paul J. “Sadism,
Sadomasochism, Sex, and Violence”. Canadian Journal of
Psychiatry, 2008, 53 (10):
637-646.
4.
Sartre, J-P. Being and Nothingness.
6. Www.epochtimes.co.id/entertainment.php?id=514
Tidak ada komentar:
Posting Komentar