Skizofrenia merupakan gangguan jiwa dengan
gejala mencakup gangguan pada pikiran, perasaan dan perilaku. Pada DSM IV dan
DSM IV-TR, skizofrenia mencakup 2 kelompok gejala, yaitu gejala positif dan
gejala negatif disertai dengan kemunduran fungsi sosial, pekerjaan, dan
hubungan interpersonal yang berlangsung selama paling sedikit 6 bulan.
Gejala-gejala skizofrenia pada
umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1.
Gejala-gejala
Positif. Termasuk halusinasi, delusi, gangguan
pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan
manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2.
Gejala-gejala
Negatif. Gejala-gejala
yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau
fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/
mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk
beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya
kemampuan bicara (alogia).
ETIOLOGI
Manusia bereaksi secara
keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga, secara
somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka ketiga unsur
ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah
gejala-gejala yang patologik dari unsur psike. Hal ini tidak berarti bahwa
unsur yang lain tidak terganggu. Sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah
manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi
perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur dan sex, keadaan
badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan
kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang
yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antar amanusia, dan
sebagainya.
Biarpun gejala umum atau gejala yang
menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di
badan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupun dipsike
(psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa
penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau
kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun jiwa.
Umpamanya seorang dengan depresi, karena kurang makan dan tidur daya tahan
badaniah seorang berkurang sehingga mengalami keradangan tenggorokan atau
seorang dengan mania mendapat kecelakaan.
Sebaliknya seorang dengan penyakit badaniah
umpamanya keradangan yang melemahkan, maka daya tahan psikologiknya pun menurun
sehingga ia mungkin mengalami depresi. Sudah lama diketahui juga, bahwa
penyakit pada otak sering mengakibatkan gangguan jiwa. Contoh lain ialah
seorang anak yang mengalami gangguan otak (karena kelahiran, keradangan dan
sebagainya) kemudian menadi hiperkinetik dan sukar diasuh. Ia mempengaruhi
lingkungannya, terutama orang tua dan anggota lain serumah. Mereka ini bereaksi
terhadapnya dan mereka saling mempengaruhi.
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi
oleh faktor-faktor pada ketiga unsur itu yang
terus menerus saling mempengaruhi, yaitu :
1. Faktor-faktor somatik (somatogenik)
ü Neroanatomi
ü Nerofisiologi
ü Nerokimia
ü Tingkat
kematangan dan perkembangan organik
ü Faktor-faktor
pre dan peri - natal
2. Faktor-faktor psikologik ( psikogenik) :
ü Interaksi
ibu –anak : normal (rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal berdasarkan
kekurangan, distorsi dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya dan
kebimbangan)
ü Peranan
ayah
ü Persaingan
antara saudara kandung
ü Inteligensi
ü Hubungan
dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
ü Kehilangan
yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah
ü Konsep
dini : pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu
ü Keterampilan,
bakat dan kreativitas
ü Pola
adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
ü Tingkat
perkembangan emosi
3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)
ü Kestabilan
keluarga
ü Pola
mengasuh anak
ü Tingkat
ekonomi
ü Perumahan
: perkotaan lawan pedesaan
ü Masalah
kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan
dan kesejahteraan yang tidak memadai
ü Pengaruh
rasial dan keagamaan
ü Nilai-nilai
A. Faktor Biologis
a. Genetika :
Menurut Cloninger, 1989 gangguan
jiwa; terutama gangguan persepsi sensori dan gangguan psikotik lainnya erat
sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di dalamnya saudara kembar,
atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang
tidak memiliki faktor herediter.
Adanya faktor keturunan yang
menentukan timbulnya skizofrenia. Buktinya adalah penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia, terutama anak-anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, saudara kandung 7-15%, bagi anak dengan
salah salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%, bila kedua orang
tua menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua telur 2-15%, bagi kembar satu
telur 61-86%. Potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan melalui gen yang
resesif, potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya
tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau
tidak.
b.
Neurobiological
Klien yang mengalami gangguan jiwa
memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama pada susunan dan struktur syaraf
pusat, biasanya klien mengalami pembesaran ventrikel ke III sebelah kirinya.
Ciri lainnya terutama adalah pada klien yang mengalami Schizofrenia memiliki
lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang yang normal (Andreasen,
1991).
Menurut Candel, Pada klien yang mengalami
gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada
daerah Amigdala sedangkan pada klien Schizofrenia yang memiliki lesi pada area
Wernick’s dan area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi
dalam proses berbicara (Word salad).
Adanya Hiperaktivitas Dopamin pada
klien dengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala-gejala Schizofrenia.
Menurut hasil penelitian, neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada
klien gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, Memory reiforcement,
Siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan
metabolisme. Neurotransmitter lain berfungsi sebagai penghambat aktivasi
dopamin pada proses pergerakan yaitu GABA.(Gamma Amino Butiric Acid). Menurut
Singgih gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh perkembangan jaringan
otak yang tidak cocok (Aplasia). Kadang-kadang seseorang dilahirkan
dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali, atau disebut
sebagai otak yang rudimenter (Rudimentary Brain). Contoh gangguan
tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya
tempurung otak.
Adanya trauma pada waktu kelahiran, tumor,
Infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan kelenjar endokrin
seperti thyroid, keracunan CO (carbon Monoxide)serta perubahanperubahan karena
degenerasi yang mempengaruhi sistem persyarafan pusat.
c.
Biokimiawi tubuh
Beberapa zat kimia otak telah terlibat dalam skizofrenia, adalah sebagai berikut :
-
Kelebihan dari dopamin neurotransmitter.
-
Sebuah ketidakseimbangan antara neurotransmitter
dopamin dan lainnya, khususnya serotonin.
-
Masalah dalam sistem reseptor dopamin
strategi beberapa penelitian mendukung peran dopamin
dalam skizofrenia. Sebagai contoh,
obat yang meningkatkan kadar dopamin di otak dapat
menghasilkan psikosis. Obat yang
mengurangi fungsi dopamin memiliki efek antipsikotik juga. Ini terlihat dalam obat antipsikotik yang
mengurangi jumlah reseptor
postsynaptic yang berinteraksi
dengan dopamin.
d.
Neurobehavioral
Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu
ternyata memegang peranan pada timbulnya gejala-gejala gangguan jiwa, misalnya:
-
Kerusakan pada lobus frontalis: menyebabkan
kesulitan dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan,
berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.
-
Kerusakan pada Basal Gangglia dapat
menyebabkan distonia dan tremor
-
Gangguan pada lobus temporal limbic akan
meningkatkan kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (Short time).
Penyebab skizofrenia karena kelainan susunan
saraf pusat, yaitu pada diencephalon atau kortex otak. Tetapi kelainan
patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan post
mortem atau artefak pada waktu membuat sediaan. Teori-teori itu dimasukan ke
dalam kelompok teori somatogenik, teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam
kelainan badaniah.
Skizofrenia
paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon/ oleh
perubahan-perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu membuat sediaan.
Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan dengan timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu
klimaterium. Begitu juga dengan gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan pada
orang yang mengalami skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung
ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini
didukung oleh Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/
penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis,
1998).
Menurut
Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa skizofrenia
merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal dalam
otak, dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal.
Gangguan
neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering
berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang
tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang
kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali
berupa waham sederhana (kaplan dan Sadock, 1997).
B. Psikologis
Menurut
Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan dasarnya dengan
mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan yang tidak
adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri,
kemudian memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus
menjelaskan kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan tentang suatu
kejadian mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa perubahan dalam
berpikir, perasaan atau perilaku akan mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak
dari perubahan itu salah satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran
seseorang karena secara nyata mendengar, melihat, merasa, atau mengecap
fenomena itu, sesuai dengan waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan
ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.
C. Sebab sosio kultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau
tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan
merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas
menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam
kebudayaan tersebut. Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
-
Cara-cara
membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang
kaku dan otoriter , hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat.
Anak-anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak
suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.
-
Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan
etika antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan
sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral
yang diajarkan dirumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat
sehari-hari.
-
Kepincangan antar
keinginan dengan kenyataan yang ada Iklan-iklan diradio, televisi.
Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan
tentang kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat
rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan
yang merugikan masyarakat.
-
Ketegangan akibat
faktor ekonomi dan kemajuan teknologi. Dalam masyarakat modern kebutuhan
makin meningkat dan persaingan makin meningkat dan makin ketat untuk
meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja
lebih keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar
dari kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula urbanisasi
meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah,
perumahan yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat
terbatas dan sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan
kepribadian yang abnormal.
-
Perpindahan
perpindahan kesatuan keluarga
Khusus untuk anak yang sedang berkembang
kepribadiannya, perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan). Hal
ini cukup mengganggu.
-
Masalah golongan
minoritas
Tekanan-tekanan perasaan yang
dialami golongan ini dari lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan
yang selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan
tindakantindakan akan yang merugikan orang banyak.
Tinjauan Skizofrenia menurut para ahli :
Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah.
Meyer mengakui bahwa suatu kontitusi yang inferior dapat mempengaruhi timbulnya
skizofrenia.
Teori Sigmund Freud
Bila kita memakai formula Freud, maka pada skizofrenia
terdapat:
- Kelemahan Ego, dapat timbul karena psikogenik ataupun
somatik.
- Superego dikesampingkan
sehingga tidak bertenaga lagi dan id yang berkuasa serta terjadi suatu regesi ke fase narsisme.
- Kehilangan kapasitas untuk pemindahan sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
Eugen Bleuler
Bleuler mengajukan supaya lebih baik dipakai istilah
"skizzofrenia", karena nama ini tepat sekali menonjolkan gejala utama
penyakit, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni
antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan (schizos = pecah-belah atau
bercabang, phren = Jiwa).
Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2
kelompok:
a.Gejala-gejala primer:
ü
Gangguan proses
pikiran.
ü
Gangguan emosi.
ü
Gangguan kemauan.
ü
Otisme.
b.Gejala-gejala sekunder:
ü
Waham.
ü
Halusinasi.
ü
Gejala katatonik atau
ganguan psikomotorik yang lain.
GEJALA-GEJALA
Ada 2 kelompok menurut Bleuler yaitu:
primer dan sekunder.
Gejala-gejala Primer :
ü
Asosiasi terganggu (gangguan proses pikiran). Pada
skizofrenia, inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran.
ü
Afek terganggu. Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa:
- Parathimi: apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, tapi pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
- Parathimi: apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, tapi pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
- Paramimi: penderita merasa
senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.
ü
Ambivalensi (Menghendaki 2 hal yang berlawanan pada waktu yang sama).
ü
Autisme (Cenderung menarik diri dari
dunia luar dan akan berdialog dengan dunianya sendiri).
Gejala-gejala Sekunder:
ü
Waham: Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali
dan sangat bizarre, tetapi penderita tidak sadar hal itu dan bagi penderita
wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapa pun.
ü
Halusinasi: Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan
kesadaran dan hal itu merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada
keadaan lain.
ü
Ilusi: Munculnya
persepsi baru akibat adanya mental image serta objek luar.
ü Depersonalisasi: Suatu keadaan dimana dirinya merasakan berubah.
ü Negativisme: Sikap yang berlawanan dengan yang diperintahkan
kepadanya, dan dia menolak tanpa alasan.
ü Automatisasi: Pekerjaan yang dilakukan dengan sendirinya, tidak
terpengaruh dari luar.
ü Echolalia: Secara spontan menirukan bunyi atau suara atau ucapan
yang didengar dari orang lain.
ü Mannerisme: Mengulang-ulang perbuatan tertentu eksesif, biasanya
dilakukan secara ritual seperti melakukan seremonial.
ü Streotipi: Tindakan yang berulang-ulang.
ü Fleksibilitas cerea: Sikap atau bentuk atau posisi yang
dipertahankan dalam posisi yang kosong.
ü Benommenheit: Intelektual atau perkembangan yang lambat.
ü Katapleksi: Hilangnya tonus otot dan kelemahan secara sementara
serta dicetuskan oleh berbagai keadaan emosional.
Seorang Penderita dapat
digolongkan menjadi:
1. Skizofrenia simplex. Sering timbul pertama kali
pada masa pubertas. Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya
jarang sekali ada.
2. Jenis
hebefrenik. Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul
pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok ialah: gangguan
proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi.
3. Jenis
katatonik. Timbul pertama kali antara umur 15-30 tahun, biasanya akut
serta didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik
atau stupor katatonik.
a. Stupor Katatonik: Penderita tidak menunjukkan perhatian
sama sekali pada lingkungannya.
Gejala-gejalanya:
ü Mutisme, kadang-kadang dengan
mata tertutup
ü
Muka tanpa mimik.
ü Negativisme: bila diganti
posisinya, penderita menentang.
ü
Terdapat grimas dan
katalepsi.
b. Gaduh gelisah katatonik: Terdapat hiperaktivitas
motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari luar.
4. Jenis
paranoid. Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang
lain dalam perjalanan penyakitnya.
Jenis ini mulai sesudah umur 30 tahun.
Penderita mudah tersinggung, mudah menyendiri, agak congkak dan kurang percaya
pada orang lain.
5, Episoda
skizofrenia akut.
Timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan
mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan
seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan
punya suatu arti yang khusus baginya.
6. Skizofrenia residual. Gejala-gejala sekunder tidak jelas. Keadaan ini timbul sesudah beberapa
kali serangan skizofrenia.
7. Jenis skizo-afektif. Di samping gejala-gejalanya
yang menonjol, secara bersamaan terdapat gejala-gejala depresi atau
gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek
tetapi mungkin juga akan sering timbul.
KRITERIA SKIZOFRENIA MENURUT DSM-IV:
A.Gejala Karakteristik
Dua (atau lebih) berikut,
masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan
(atau kurang jika diobati dengan berhasil):
1. Waham.
2. Halusinasi.
3. Bicara terdisorganisasi (misalnya:
sering menyimpang atau inkoheren).
4. Perilaku terdisorganisasi.
5. Gejala negative, yaitu: pendataran afektif, alogia,
avolution.
Catatan: hanya satu
gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau halusinasi, yang
terdiri dari: suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran
pasien, dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
Gangguan delusional didefinisikan
sebagai suatu gangguan psikiatrik dimana gejala utamanya adalah waham. Gangguan
delusional sebelumnya disebut “paranoia” atau “gangguan paranoid”. Tetapi,
istilah tersebut secara tidak tepat menyatakan bahwa waham selalu bersifat
persekutorik, dan tidak demikian halnya. Waham pada gangguan delusional juga
dapat bersifat kebesaran, erotik, cemburu, somatik, dan campuran.
Gangguan
delusional harus dibedakan dari gangguan alam perasaan dan skizofrenia.
Walaupun pasien dengan gangguan delusional mungkin memiliki suatu alam perasaan
yang konsisten dengan isi wahamnya, mereka tidak memiliki bukti meresapnya
gejala afektif yang terlihat pada gangguan alam perasaan. Demikian juga, pasien
dengan gangguan delusional adalah berbeda dengan pasien skizofrenik dalam hal
tidak kacaunya isi waham mereka (sebagai contohnya, “dibuntuti oleh FBI”,
dimana tidak dapat dipercaya tetapi mungkin terjadi, lawan “dikendalikan oleh
orang suci”, yang tidak mungkin). Pasien dengan gangguan delusional juga tidak
memiliki gejala lain yang ditemukan pada skizofrenia, seperti halusinasi yang
menonjol, pendataran afektif, dan gejala tambahan gangguan pikiran.
SEJARAH
Konsep skizofrenia pertama kali diformulasikan oleh dua
psikiater Eropa, Emil
Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai
dementia praecox:, istilah awal untuk skizofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan
dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara
internal, penyakit manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup
beberapa konsep diagnostik—demensia paranoid, katatonia, dan hebefrenia—yang
dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade ter‑
dahalu. Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, Kraepelin
yakin .mereka memiliki kesamaan inti dan istilah dementia praecox mencerminkan
apa yang diyakininya merupakan inti tersebut—yailu terjadi pada usia awal (praecox)
dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (demensia).
Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai
dementia praecox:, istilah awal untuk skizofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan
dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara
internal, penyakit manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup
beberapa konsep diagnostik—demensia paranoid, katatonia, dan hebefrenia—yang
dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade ter‑
dahalu. Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, Kraepelin
yakin .mereka memiliki kesamaan inti dan istilah dementia praecox mencerminkan
apa yang diyakininya merupakan inti tersebut—yailu terjadi pada usia awal (praecox)
dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (demensia).
Pandangan figur penting berikutnya, Eugen Bleuler,
mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan inti
gangguan dan mengubah titik berat Kraepelin pada usia terjadinya gangguan dan
pada perjalanan penyakit dalam definisinya. Pendapat
Bleuler berbeda dengan Kraepelin terkait dua poin utama: ia yakin
bahwa gangguan tersebut tidak selalu
terjadi pada usia dini, dan ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi demensia tanpa dapat
dihindari. Dengan demikian, sebutan dementia praecox tidak sesuai lagi,
dan pada tahun 1908 Bleuler mengajukan istilahnya sendiri, skizofrenia,
yang berasal dari bahasa Yunani schizein, yang artinya "membelah," dan phren,
yang artinya "akal pikiran", untuk mencakupkan apa yang menurutnya merupakan karakteristik utama kondisi
tersebut.
Dengan
tidak dianggapnya lagi usia onset dan perjalanan yang memburuk sebagai ciri-ciri penentu gangguan ini, Bleuler menghadapi
masalah konseptual. Karena simtom-simtom skizofrenia dapat sangat bervariasi antarpasien, ia harus memberikan
semacam justifikasi untuk mengelompokkan mereka dalam satu kategori diagnostik lunggal. Dengan demikian, Bleuler perlu
menentukan satu denominator umum,
atau ciri utama, yang akan menghubungkan berbagai macam gangguan. Konsep metaforis yang digunakan
untuk menggambarkan hal ini adalah
"rusaknya jalinan asosiatif'.
Bagi Bleuler, jalinan asosiatif tidak hanya menggabungkan
kata-kata, namun juga pikiran. Dengan demikian, pikiran dan komunikasi yang bertujuan
dan efisien hanya dimungkinkan jika berbagai struktur hipotetis tersebut merupakan satu kesatuan. Teori bahwa jalinan - asosiatif pada para penderita skizofrenia
mengalami kerusakan dapat digunakan
untuk menjelaskan berbagai masalah lain. Bleuler menganggap kesulitan untuk memusatkan perhatian,
contohnya, disebabkan oleh hilangnya
tujuan dalam berpikir, dan pada gilirannya menyebabkan respons-respons
pasif terhadap berbagai objek dan orang-orang
di lingkungan sekelilingnya. Dengan cara yang sama, ia - menganggap blocking, yaitu tampak hilangnya
seluruh aliran pikiran, sebagai
gangguan total dalam jalinan asosiatif seseorang.
Meskipun
Kraepelin mengakui bahwa sejumlah kecil pasien yang pada awalnya menunjukkan simtom-simtom dementia praecox tidak mengalami deteriorasi, ia lebih memilih untuk
membatasi kategori diagnostik ini
bagi para pasien yang memiliki prognosis buruk. Karya Bleuler, secara kontras, mengarah ke konsep
skizofrenia yang luas. Ia mendiagnosis beberapa pasien dengan prognosis
yang baik sebagai skizofrenik, dan juga
mendiagnosis banyak pasien, yang akan didiagnosis
berbeda oleh para ahli klinis lain, berdasarkan konsepnya tentang
skizofrenia.
Konsep yang Diperluas di Amerika Serikat
Bleuler
mcmberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam perkembangannya di Amerika Serikat. Selama paruh pertama abad ke-20 diagnosis tersebut semakin meluas. Di
New York State Psychiatric Insitute, contohnya, sekitar 20 persen pasien didiagnosis sebagai skizofrenik pada
tahun 1930-an. Angka tersebut meningkat di sepanjang tahun 1940-an dan
pada tahun 1952 memuncak hingga mencapai angka 80 persen. Secara
kontras, konsep skizofrenia yang umum
di Eropa tetap lebih sempit. Persentase pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di Rumah Sakit Maudsley di London,
contohnya, relatif konstan, yaitu 20
persen, dalam kurun waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming, & Garland, 1974).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di
Amerika Serikat dapat diketahui dengan mudah. Beberapa figur
penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas
konsep skizofrenia Bleuler yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun
1933, Kasanin menggambarkan sembilan pasien yang didiagnosis menderita dementia praecox. Pada mereka gangguan
tersebut timbul secara mendadak dan
penyembuhannya relatif cepat. Mengamati bahwa gangguan yang mereka alami dapat dikatakan sebagai kombinasi skizofrenik dan
simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan
istilah psikosis skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis
tersebut kemudian menjadi bagian konsep skizofrenia
di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952) dan DSM-II (1968).
Konsep
skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik diagnosis.
1.
Para ia ahli klinis AS cenderung mendiagnosis skizofrenia bila terjadi
waham dan halusinasi. Karena simtom-simtom ini,
terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood, banyak pasien yang menerima
diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II sebenarnya
mengalami gangguan mood-(Cooper dkk., 1972).
2.
Para pasien yang
dewasa ini akan didiagnosis mengalami gangguan kepribadian (terutama
skizotipal, skizoid, ambang, dan gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarkan kriteria
DSM-II.
3.
Para pasien yang
mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita
skizofrenia.
Diagnosis DSM-IV-TR
Berawal dari DSM-III (American Psychiatric
Association, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American
Psychiatric Association, 1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Association, 2000), konsep
skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari definisi
terdahulu yang luas melalui lima hal berikut.
1. Kriteria diagnostik disajikan dalam detail yang eksplisit
dan substansial.
2. Para pasien yang mengalami simtom-simtom gangguan mood secara spesifik dipisahkan. Skizofrenia, tipe
skizoafektif, sekarang dicantumkan sebagai gangguan skizoafektif
di bagian yang berbeda sebagai salah satu
gangguan psikotik. Gangguan skizoafektif mencakup gabungan simtom-simtom
skizofrenia dan gangguan mood.
3. DSM-1V-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi sekurangkurangnya
enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan tersebut
harus mencakup suatu episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya sate bulan, ditandai dengan adanya minimal dua dari hal-hal berikut: waham,
halusinasi, disorganisasi pernbicaran,
disorganisasi perilaku yang sangat nyata atau perilaku katatonik, dan simtom-simtom negatif. (Hanya
diperlukan satu dari simtom-simtom di atas jika wahamnya aneh atau jika
halusinasi mencakup suara-suara yang
mengomentari atau mendebat). Sisa waktu yang diperlukan bagi diagnosis dapat terjadi sebelum atau sesudah fase aktif.
Berbagai masalah yang terjadi pada
fase ini mencakup penarikan diri dari hubungan sosial, hendaya/dalam keberfungsian peran, afek yang tumpul atau tidak
sesuai, kurangnya inisiatif, cara bicara
yang membingungkan dan tidak dapat dimengerti, gangguan dalam kebersihan dan kerapihan diri, keyakinan yang aneh
atau pikiran magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar.
Kriteria-kriteria tersebut mengeliminasi pasien
yang mengalami episode psikotik singkat, yang sering kali berhubungan dengan
stres, dan sembuh dengan cepat. Episode skizofrenik akut dalam sekarang
didiagnosis sebagai gangguan skizofreniform atau gangguan psikotik singkat, yang juga dicantumkan di suatu bagian
barn dalam DSM-IV-TR. Simtom-simtom
gangguan skizofreniform sama dengan skizofrenia, namun hanya berlangsung selama satu hingga enam bulan. Gangguan
psikotik singkat berlangsung selama satu hari hingga satu bulan dan
sering kali disebabkan oleh stes ekstrem,
seperti duka yang sangat dalam.
4. Beberapa gangguan yang pada DSM-II dianggap sebagai
bentuk ringan skizofrenia sekarang didiagnosis
sebagai gangguan kepribadian, contohnya, gangguan kepribadian
skizotipal.
5. DSM-IV-TR membedakan antara skizofrenia paranoid, akan
dibahas secara singkat nanti, dan gangguan waham. Orang
yang menderita gangguan waham terganggu oleh waham kejaran yang
terus-menerus atau oleh waham cemburu, yaitu
tuduhan yang tidak berdasar bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia. Waham lain mencakup waham merasa dibuntuti,
waham erotomania (yakin bahwa
ia dicintai seseorang, biasanya orang yang sama sekali tidak dikenal dengan status sosial yang lebih tinggi), dan waham
somatik (yakin bahwa ada organ tubuh
yang tidak berfungsi). Tidak seperti orang yang menderita skizofrenia paranoid, orang yang menderita gangguan waham
tidak mengalami disorganisasi bicara atau halusinasi, dan waham yang dialaminya
tidak terlalu aneh. Gangguan waham
jarang ditemukan dan umumnya terjadi pada usia lebih tua dibanding skizofrenia. Dalam sebagian besar studi keluarga
gangguan ini tampaknya memiliki
kaitan dengan skizofrenia, mungkin secara genetik (Kendler & Diehl,1993).
Apakah
kriteria diagnoslik dalam DSM-IV-TR dapat diterapkan di semua budaya? Data yang berkaitan dengan pertanyaan ini
diperoleh dalam studi World Health Organization di negara-negara
industri dan negara berkembang (Jlablonsky dkk., 1994). Kriteria-kriteria simtomatik tersebut dapat diterapkan untuk
semua budaya. Meskipun demikian, para
pasien di negara-negara berkembang memiliki kejadian yang lebih akut dan perjalanan penyakit yang
lebih baik dibanding para pasien di masyakarat
industri. Penyebab temuan yang menarik ini tidak diketahui (Sasser 6t Wanderling, 1994).
Kategori Skizofrenia
dalam DSM-IV-TR
Telah disebutkan sebelumnya bahwa heterogenitas simtom-simtom
skizofrenik mendorong timbulnya usulan mengenai berbagai
subtipe gangguan ini. Tiga ape gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM T R—disorgarnsasi, katatonik dan paranoid—pertama kali dikemukakan
oleh Kraepelin bertahun- tahun.
SKIZOFRENIA
PARANOID
Perjalanan penyakit pada skizofrenia tipe paranoid agak
konstan. Jarang terjadi hendaya dalam kemampuan fungsi sehari-hari apabila isi
waham tidak disentuh. Biasanya fungsi intelektual dan pekerjaan dapat
dipertahankan walaupun gangguan tersebut bersifat kronik. Fungsi sosial dan
kehidupan perkawinannya pada umumnya cukup terganggu.
Pada skizofrenia paranoid gambaran utama yang menonjol
adalah:
- Waham kejar atau waham
kebesaran, misalnya kelahiran luar biasa (excited birth), urusan penyelamat bangsa, dunia dan agama,
seperti misalnya kenabian atau mesias, perubahan tubuh atau halusinasi
yang mengandung isi kerajaan/kebesaran.
- Sebagai tambahan, waham
cemburu dapat pula ditemukan.
Gambaran penyertanya meliputi:
- Kecemasan tak berfokus.
- Kemarahan.
- Suka bertengkar/berdebat.
- Melakukan kekerasan.
- Kadang ditemukan kebingungan
tentang identitas jenis atau ketakutan bahwa dirinya diduga oleh orang
lain sebagai orang-orang homoseksual.
Onset tipe ini cenderung timbul dalam usia yang lebih
lanjut dibandingkan dengan tipe lainnya, dan ciri-cirinya lebih stabil dalam
jangka panjang. Apabila seseorang penderita skizofrenia tipe paranoid mempunyai
keluarga yang menderita skizofrenia biasanya anggota keluarganya menderita
skizofrenia tipe paranoid.
KRITERIA
DIAGNOSTIK SKIZOFRENIA PARANOID:
a. Waham kejar.
b. Waham besar.
c. Waham cemburu.
d. Halusinasi yang berisi kejaran atau kebesaran.
Diagnosis skizofrenia paranoid diberikan kepada
sejumlah besar pasien yang akhir-akhir ini dirawat di rumah sakit jiwa.
Kunci diagnosis ini adalah adanya waham.
Waham kejaran adalah yang paling umum, namun pasien dapat mengalami
waham kebesaran, di mana
mereka memiliki rasa yang berlebihan
mengenai pentingnya, kekuasaan, pengetahuan, atau identitas diri mereka. Beberapa pasien terjangkit waham cemburu,
suatu keyakinan yang tidak herdasar
bahwa pasangan seksual mereka tidak setia. Waham lain yang disebutkan terdahulu,
seperti merasa dikejar atau dimata-matai, juga dapat terlihat jelas.
Halusinasi pendengaran yang jelas dan nyata dapat
rnenyertai waham. Para pasien yang menderita
skizofrenia paranoid sering kali mengalami ideas of reference; mereka
memasukkan berbagai peristiwa yang tidak
penting ke dalam kerangka waham dan mengalihkan
kepentingan pribadi mereka ke dalam aktivitas tidak berarti yang dilakukan orang lain. Contohnya, mereka mengira bahwa
potongan percakapan yang tidak sengaja mereka dengar adalah percakapan tentang
diri mereka, bahwa sering munculnya orang yang sama di suatu jalan yang
biasa mereka lalui berarti mereka sedang diawasi, dan bahwa apa yang mereka
lihat di televisi atau baca di majalah dengan
satu atau lain cara merujuk pada mereka. Para individu yang mengalami skizofrenia paranoid selalu cemas„.argumentatif,
marah, dan kadang kasar. Secara emosional mereka responsive, meskipun mereka
kaku, formal, dan intens kepada oranglain. Mereka juga lebih sadar dan verbal
disbanding para pasien skizofrenia tipe lain. Bahasa yang mereka gunakan
meskipun penuh rujukan pada delusi, tidak mengalamai disorganisasi. Bila ada
pasien skizofrenia yang mengalami masalah hukum, biasanya mereka dari kelompok
yang menderita subtipe paranoid.
PREVERENSI
PENANGANAN BIOLOGIS
Terapi Kejut dan Psychosurgery.
Pertemuan umum
para pasien di rumah rumah sakii jiwa di awal abad
ke-20, ditambah minimnya staf profesional, menciptakan sualu iklim yang memungkinkan, atau mungkin bahkan
didorong secara halus, eksperimentasi berbagai intervensi biologis yang
radikal. Di awal tahun 1930-an praktik menimbulkan
koma dengan memberikan insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan. oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa 3/4 clari para
pasien skizofrenia yang ditanganinya
menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal itu, dan
terapi koma-insulin yang berisiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang
ticlak dapat disadarkan dan kematian—secara
bertahap ditinggalkan.
Perawatan di rumah sakit
Pada umumnya
pasien dengan gangguan delusional dapat diobati dengan rawat jalan, tetapi ada
alasan tertentu dimana diperlukan perawatan di rumah sakit , yaitu : Pertama
diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap menunjukkan kondisi
medis nonpsikiatris yang menyebabkan gangguan delusional. Kedua jika pasien
tidak mampu mengendalikan impulsnya, sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan
kekerasan. Ketiga jika perilaku pasien tentang waham telah mempengaruhi fungsi
kehidupannya, sehingga kemampuannya untuk dapat berfungsi dalam keluarga dan
masyarakat berkurang. Dengan demikian memerlukan intervensi profesional untuk
menstabilkan hubungan sosial atau pekerjaan.
Jika dokter yakin bahwa pasien akan baik jika diobati di rumah sakit,
harus diusahakan untuk membujuk pasien supaya menerima perawatan di rumah
sakit; jika hal tersebut gagal, komitmen hukum mungkin diindikasikan.
Seringkali, jika dokter meyakinkan pasien bahwa perawatan di rumah sakit adalah
diperlukan, pasien secara sukarela masuk ke rumah sakit untuk rnenghindari
komitmen hukum.
Farmakoterapi
Dalam keadaan
gawat darurat, pasien yang teragitasi parah harus diberikan suatu obat
antipsikotik secara intramuskular. Walaupun percobaan klinik yang dilakukan
secara adekuat dengan sejumlah pasien belum ada, sebagian besar klinisi
berpendapat bahwa obat antipsikotik adalah obat terpilih untuk gangguan delusional. Pasien
gangguan delusional kemungkinan menolak medikasi karena mereka dapat secara
mudah menyatukan pemberian obat ke dalam sistem wahamnya. Dokter tidak boleh
memaksakan medikasi segera setelah perawatan di rumah sakit, malahan harus
menggunakan beberapa hari untuk dapat membina hubungan yang baik dengan pasien.
Dokter harus menjelaskan efek samping potensial kepada pasien, sehingga pasien
kemudian tidak menganggap bahwa dokter berbohong.
Riwayat pasien tentang respon
medikasi adalah pedoman terbaik dalam memilih suatu obat. Biasanya obat
diberikan dalam dosis rendah dan ditingkatkan secara perlahan-lahan. Jika
respon gagal dalam masa percobaan selama 6 minggu, dapat dicoba antipsikotik
dari golongan lain. Adakalanya pasien dengan gangguan psikotik menolak
pemberian medikasi ini, karena mereka memasukkan hal ini ke dalam sistem
wahamnya, misalnya pasien curiga ada racun di dalam obat yang diberikan. Dalam
hal ini perlu kebijaksanaan dokter untuk menjelaskan kepada pasien secara
perlahan-lahan, bahwa sama sekali tidak ada niat untuk berbuat jahat pada
dirinya.
Beberapa dokter menyatakan bahwa
pimozide (oral) atau serotonin-dopamin antagonis mungkin efektif dalam
mengatasi gangguan delusional terutama pada pasien dengan waham somatik.
Penyebab kegagalan tersering adalah ketidakpatuhan.
Jika pasien tidak merespon
terhadap pengobatan antipsikotik, obat harus dihentikan. Dapat digunakan anti
depresan atau anti konvulsan. Percobaan dengan obat-obat tersebut
dipertimbangkan jika pasien memiliki ciri suatu gangguan afektif.
Hasil
dari pengobatan dengan serotonin-dopamin antagonis (contoh : clozapin
[Clozaril], olanzapine [Zyprexa], dan risperidone) berhubungan dengan
pengobatan sebelumnya. Pada
beberapa kasus berespon baik terhadap SSRIs (selective serotonin reuptake
inhibitors), terutama pada kasus-kasus gangguan morfologi tubuh.
PENANGANAN PSIKOLOGIS
Psikoterapi
Elemen terpenting dari suatu
psikoterapi adalah menjalin hubungan yang baik antar pasien dengan ahli
terapinya. Terapi individual tampaknya lebih efektif daripada terapi kelompok.
Terapi suportif berorientasi tilikan, kognitif dan perilaku seringkali efektif.
Ahli terapi tidak boleh setuju atau menantang waham pasien, walaupun ahli
terapi harus menanyakan waham untuk menegakkan diagnosis. Dokter dapat
menstimulasi motivasi untuk mendapatkan bantuan dengan menekankan kemauannya
untuk membantu pasien mengatasi kecemasan dan iritabilitasnya, tanpa menyatakan
bahwa waham yang diobati. Ahli terapi tidak boleh secara aktif mendukung
gagasan bahwa waham adalah kenyataan.
Kejujuran ahli terapi sangat penting. Ahli
terapi harus tepat waktu dan terjadwal, tujuannya adalah agar tercipta suatu
hubungan yang kuat dengan pasien dan pasien dapat percaya sepenuhnya pada ahli
terapinya. Kepuasan yang berlebihan malahan dapat meningkatkan permusuhan dan
kecurigaan pasien karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi.
Ahli terapi dapat menghindari kepuasan yang berlebihan dengan tidak
memperpanjang periode perjanjian yang telah ditentukan, dengan tidak memberikan
perjanjian ekstra kecuali mutlak diperlukan, dan tidak toleran terhadap
bayaran.
Ahli terapi
tidak boleh membuat tanda-tanda yang meremehkan waham atau gagasan pasien,
tetapi dapat secara simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasyikan mereka
dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu
kehidupannya yang konstruktif. Jika pasien mulai ragu-ragu dengan wahamnya,
ahli terapi dapat meningkatkan tes realitas dengan meminta pasien memperjelas
masalah mereka.
Terapi keluarga
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat
memutuskan untuk melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan. Tanpa menjadi
terlihat berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha mendapatkan keluarga
sebagai sekutu di dalam proses pengobatan. Sebagai akibatnya, baik pasien dan
anggota keluarganya perlu mengerti bahwa konfidensialitas dokter-pasien akan
dijaga oleh ahli terapi dan dengan demikian membantu pasien.
Hasil terapi
yang baik tergantung pada kemampuan dokter psikiatrik untuk berespon terhadap
ketidakpercayaan pasien terhadap orang lain dan konflik interpersonal,
frustasi, dan kegagalan yang dihasilkannya. Tanda terapi yang berhasil mungkin
adalah suatu kepuasan penyesuaian sosial, bukannya menghilangkan waham pasien.
Pelatihan Keterampilan
Sosial
Pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk mengajari para penderita skizofrenia bagaimana dapat
berhasil dalam berbagai situasi inlerpersonal yang sangat
beragam—antara lain membahas pengobatan mereka dengan psikiater, memesan makanan di restoran, mengisi formulir lamaran
kerja dan belajar melakukan wawancara
kerja (kadang disebut rehabilitasi pekerjaan), mengatakan tidak terhadap
tawaran membeli obat di pinggir jalan, belajar tentang seks yang aman, membaca jadwal perjalanan
bis—berbagai perilaku yang bagi sebagian besar di antara kita
dilakukan begitu saja dan hampir tidak pernah kita pikirkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi para penderita skizofrenia, keterampilan kehidupan tersebut bukan hal yang dapat dilakukan
begitu saja; para individu semacam itu harus berusaha keras untuk menguasainya
atau kembali menguasainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut
memungkinkan orang yang bersangkutan mengambil bagian lebih besar dalam hal-hal positif yang terdapat di luar
tembok-tembok institusi mental sehingga meningkatkan kualitas hidup
mereka (Heinssen, Liberman, & Kopelowicz,
2000; Liberman, Eckman, Kopelowicz, & Stolar, 2000).
Dalam demonstrasi pelatihan keterampilan sosial
terdahulu, Bellaek, Hersen, dan lamer (1976) merekayasa berbagai
situasi sosial bagi tiga pasien skizofrenik kronis dan kemudian mengamati
apakah mereka berperilaku secara pantas. Contohnya, seorang pasien diminta untuk mengumpamakan bahwa ia baru saja sampai di
rumah dari suatu liburan akhir minggu dan melihat bahwa rumpul di
halaman rumahnya telah, dipotong. Ketika ia
turun dari mobil, tetangga sebelah rumahnya mendekatinya dan berkata
bahwa ia telah memotong rumput di haiaman rumah pasien karena ia juga telah memotong rumput di halaman rumahnya
sendiri. Pasien kemudian harus
merespons situasi tersebut. Sesuai perkiraan, pada awalnya pasien tidak terlalu
hal dalam memberikan respons yang
pantas secara sosial, yang dalam kasus ini dapat berupa semacam ucapan terima kasih. Pelatihan berlanjut. Terapis
mendorong pasien unluk memberikan
respons, memberi komentar yang membantu upaya mereka. Jika perlu, terapis juga memberikan contoh perilaku yang pantas
sehingga pasien dapat mengamati
kemudian mencoba menirukannya.
Kombinasi
permainan peran, modeling, dan penguatan positif menghasilkan perbaikan signifikan pada ketiga pasien tersebut.
Bahkan terjadi generalisasi dalam berbagai
situasi sosial yang tidak dilatih dalam pelatihan tersebut. Studi ini dan berbagai studi lain yang dilakukan dengan kelompok
pasien yang lebih besar mengindikasikan
bahwa para pasien yang mengalami gangguan parah dapat diajari perilaku sosial baru yang membantu mereka
berfungsi lebih baik—tingkat kekambuhan yang lebih sedikit,
keberfungsian sosial yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih tinggi (Kopelowicz dkk., 2002). Beberapa studi tersebut patut
dicatat (a.l,Liberman dkk., 1998;
Marder dkk., 1996) karena menunjukkan berbagai manfaat dalam periode selama dua tahun setelah terapi.
Pelatihan keterampilan sosial dewasa ini
biasanya merupakan salah satu komponen berbagai penanganan skizofrenia yang lebih dari sekadar memberikan obat-obatan saja,
termasuk terapi keluarga untuk mengurangi
ekspresr emosi. Kita beralih ke pembahasan mengenai hal itu.
Terapi Kognitif-Behavioral.
Kita beralih ke beberapa pendekatan kognitif-behavioral
dalam penanganan skizofrenia. Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak ada gunanya
mencoba mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi, pada para pasien skizofrenik. Meskipun demikian, suatu literatur klinis
dan eksperimental yang sedang berkembang dewasa ini
menunjukkan bahwa berbagai keyakinan maladaptif pada beberapa pasien kenyataannya dapat diubah dengan
berbagai intervensi kognitif-behavioral
(Gaiety, Fowler, & Kuipers, 2000).
Terapi personal (Personal Therapy).
Walaupun
berbagai studi mengenai penurunan EE dalam keluarga cukup membesarkan hati,
sebagian besar pasien masih tetap kembali
dirawat di rumah sakit, dan kemajuan klinis dari mereka yang mampu tetap tinggal di masyarakat masih jauh dari
harapan (Hogarty dkk., 1997a). Apalagi yang
dapat dilakukan untuk mengeluarkan pasien skizofrenik dari rumah sakit untuk meningkatkan kesempatan mereka hidup lebih
lama di luar lingkungan rumah sakit, terlepas dari apakah mereka tinggal
dengan keluarga mereka atau tidak? Pertanyaan
ini mendorong dilakukannya berbagai upaya bcrikut ini oleh salah satu kelompok
yang telah mempublikasikan berbagai temuan positif, meskipun terbatas, mengenai penurunan EE (Hogarty dkk., 1995, 1997a,
1997b).
Apa yang disebut Hogarty dkk. sebagai "terapi
personal" adalah suatu pendekatan kognitif
behavioral berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah yang dialami pia pasien skizofrenia yang telah keluar dari rumah
sakit. Terapi individualistik ini dilakukan
secara satu per satu maupun dalam kelompok kecil (lokakarya). Satu elemen utama
dalam pendekatan ini, berdasarkan temuan dalam penelitian EE bahwa penurunan jumlah reaksi emosi para anggota keluarga
menurunkan tingkat kekambuhan setelah keluar
dari rumah adalah mengajari pasien bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai.
jika diabaikan, afek yang tidak sesuai dapat semakin
berkembang dan menyebabkan berbagai distorsi kognitif dan perilaku social yang tidak sesuai.
Para pasien juga diajari untuk memerhatikan tanda-tanda kekambuhan meskipun kecil, seperti penarikan diri dart
kehidupan sosial atau intimidasi
yang tidak pantas kepada orang lain, dan mereka mempelajari berbagai keterampilan
untuk mengurangi masalah-masalah tersebut. Perilaku semacam itu, jika tidak terdeteksi, sangat mungkin akan
menghambat upaya pasien untuk hidup sesuai aturan sosial konvensional, termasuk bekerja dan membangun serta mempertahankan hubungan sosial. Terapi tersebut juga
mencakup terapi perilaku rasional emotif
untuk membantu pasien mencegah berbagai frustrasi dan tantangan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan menjadi suatu
bencana dan dengan demikian membantu
mereka menurunkan kadar stres.
Selain itu, pasien juga sering diajari
teknik-teknik relaksasi otot sebagai suatu alat bantu untuk belajar mendeteksi
kecemasan atau kemarahan yang berkembang secara
perlahan kemudian menerapkan keterampilan relaksasi untuk mengendalikan berbagai
emosi tersebut secara lebih baik. Asumsi
yang berlaku adalah ketidakteraturan
emosional merupakan bagian dari berbagai diathesis biologis dalam skizofrenia dan suatu faktor yang harus diterima dan dihadapi pasien dalam hidupnya dan
bukan dihilangkan (atau disembuhkan)
seluruhnya. Namun, juga terdapat fokus kuat untuk mengajarkan keterampilan sosial spesifik serta mendorong pasien
untuk telap meneruskan pengobatan mereka
dalam moda pemeliharaan, yaitu, dengan dosis yang umumnya lebih rendah dari dosis yang diperlukan dalam fase penyakit yang
akut dan paling parah.
Terapi individual Hogarty juga mencakup
berbagai elemen non behavioral, terutama penerimaan yang hangat dan empatik
atas gangguan emosional dan kognitif pasien bersama
dengan ekspektasi yang realistik, namun optimistik bahwa hidup dapat menjadi lebih baik. Secara umum, para pasien
diajari bahwa mereka memiliki kerentanan emosional
terhadap stres, bahwa pikiran mereka tidak selalu sejernih yang seharusnya,
bahwa mereka harus tetap meneruskan pengobatan, dan bahwa mereka dapat mempelajari berbagai macam keterampilan agar
dapat menjalani hidup secara maksimal. Ini
bukan penanganan jangka pendek; penanganan ini dapat berlangsung selama 3 tahun dengan sesi terapi setiap satu
atau dua minggu sekali.
Perlu dicatat bahwa fokus terapi ini sebagian besar terletak
pada pasien, tidak pada keluarga.
Sementara itu, fokus dalam berbagai studi keluarga adalah mengurangi tingginya EE dalam keluarga pasien—yang merupakan suatu
perubahan lingkungan dari sudut pandang pasien—tujuan
terapi pribadi adalah mengajarkan keterampilan coping internal kepada
pasien, berbagai cara baru dalam berpikir tentang dan mengendalikan berbagai reaksi afektif terhadap tantangan
apa pun yang terdapat di lingkungannya.
Terakhir, hal penting dalam terapi ini adalah apa yang
disebut Hogarty dkk. sebagai "manajemen
kritisisme dan penyelesaian konflik". Istilah tersebut merujuk pada cara menghadapi umpan balik negatif dan orang lain
dan cara menyelesaikan berbagai konflik
interpersonal yang merupakan bagian tak terhindarkan dalam berhubungan dengan orang lain. Mengajari pasien
keterampilan penyelesaian masalah sosial—cara
mengatasi berbagai lantangan yang tidak terhindarkan yang dihadapi oleh setiap orang dalam berhubungan dengan orang
lain—merupakan, bagian dari elemen terapi ini (D'Zurilla
& Goldfried, 1971). Berbagai menunjukkan
bahwa bentuk intervensi ini dapat membantu banyak pasien skizofrenik tetap hidup di luar rumah sakit dan berfungsi
dengan lehih baik, dengan hasil yang paling
positif dicapai oleh mereka yang dapat hidup bersama keluarga mereka sendiri (Hogarty dkk., 1997a, 19976).
Terapi Reatribusi (Reatribution Therapy).
Kita baru saja mengkaji karya Hogarty dkk. yang mencakup berbagai upaya untuk
menerapkan terapi perilaku rasional emotif untuk membantu para pasien skizofrenik agar tidak terlalu menganggap sebagai suatu bencana bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Juga terdapat bukti-bukti bahwa beberapa pasien dapat didorong untuk menguji berbagai keyakinan delusional mereka dengan cara yang sama
seperti yang dilakukan oleh yang normal. Melalui diskusi kolaboratif (dan dalam konteks berbagai moda intervensi lain, termasuk pemberian obat-obatan
antipsikotik), beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu makna nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan
karakteristiknya yang berbahaya, sama dengan yang dilakukan dalam terapi
kognitif Beck untuk depresi dan pendekatan Barlow terhadap gangguan
panik (Beck & Rector, 2000; Drury dkk., 1996; Haddock dkk., 1998). Dengan
peringatan bahwa pendekatan yang cukup intelektual ini mungkin hanya tepat
bagi minoritas pasien skizofrenia,-berikut ini adalah contoh awal
pendekatan tersebut yang
diambil dari salah satu kasus kami sendiri.
Seorang laki-laki didignosis menderita skizofrenia paranoid, terutama karena berbagai keluhannya mengenai
"titik-titik tekanan" di keningnya dan berbagai bagian lain di tubuhnya.
Ia yakin bahwa titik-titik tekanan tersebut
merupakan sinyal yang berasal dari kekuatan luar untuk membantunya mengambil berbagai keputusan. Delusi paranoid tersebut tidak hilang oleh terapi obat dan
berbagai pendekatan psikoterapeutik lain. Terapis, setelah meneliti riwayat kasus laki-laki tersebut, mengajukan hipotesis bahwa pasien menjadi sangat cemas dan tegang ketika ia harus mengambil keputusan, dan kecemasannya terwujud dalam bentuk ketegangan otot di beberapa bagian tubuh tertentu, dan bahwa pasien salah mengartikan
ketegangan tersebut sebagai titik-titik tekanan, sinyal dari ruh-ruh yang membantu. Pasien dan terapis sepakat untuk menggali kemungkinan bahwa titik-titik tekanan tersebut
sebenarnya merupakan bagian dari reaksi ketegangan terhadap
situasi-situasi tertentu Untuk tujuan
ini terapis memutuskan 'Mengajari
pasien relaksasi otot mendalarn, dengan harapan bahwa relaksasi akan membuatnya mampu mengendalikan berbagai kelegangannya, termasuk tekanan.
Namun, penting juga meminta si pasien mempertanyakan sistem delusionalnya. Maka, dalam sesi pertama
terapis meminta pasien untuk mengulurkan tangan
kanannya, mengepalkan lengan dengan kuat, dan melengkungkan pergelangan tangannya ke bawah sehingga kepalan tangannya menekuk ke arah dalam lengannya.
Tujuannya adalah menimbulkan rasa legang di
bagian depan lengannya; hal itulah yang terjadi, dan si pasien mengamati bahwa
perasaan tersebut mirip dengan
titik-titik tekanan yang dirasakannya.
Pelatihan
relaksasi ekstensif membuat klien mulai dapat mengendalikan kecemasannya dalam
berbagai situasi di rumah sakit dan pada saat yang sama mengurangi intensitas titik-titik tekanan. Seiring ia
mampu mengendalikan perasaannya,
secara bertahap ia mampu menganggap
titik-tilik tekanan tersebut sebagai suatu "sensasi," dan secara umum pembicaraannya mulai terlepas dari
nada paranoid yang terdahulu.
Pelatihan relaksasi tampaknya memungkinkan pasien menguji hipotesis non-paranoid tentang titiktitik tekanan yang dirasakannya dan menemukan kebenaran hipotesis tersebut sehingga menghapuskan keyakinan terhadap sensasi-sensasi tersebut yang telah berperan dalam paranoia yang dideritanya. (Davison, 1966).
Contoh
Kasus :
Kasus 1 :
Joe adalah siswa
yang baik di sepanjang masa SMA-nya. Ia anggota tim futbol, mempertahankan
ranking yang bagus dan mendapatkan pujian pada tiap semesternya.
Ia ramah dan populer. Menjelang akhir semester pertama di maktab (college)-nya, semuanya mulai berubah. Joe tak lagi makan bersama dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia mulai berkurung diri di dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan berhenti menghadiri kuliah. Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus membaca kalimat yang sama secara berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa kata-kata dalam naskah bukunya memiliki makna yang khusus baginya dan dengan sesuatu cara memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Joe mulai menyangka bahwa kawan sekamarnya bersekongkol dengan telepon dan komputernya untuk mengawasi kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan sekamarnya tahu akan pesan dalam naskah bukunya dan kini mencoba untuk menipunya. Joe mulai percaya teman sekamarnya dapat membaca pikirannya, pada kenyataannya siapapun yang ia lewati di aula atau di jalanan dapat mengatakan apapun yang ia pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di kamarnya, ia dapat mendengar bisikan mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak dapat memastikan apa yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka membicarakannya.
Ia ramah dan populer. Menjelang akhir semester pertama di maktab (college)-nya, semuanya mulai berubah. Joe tak lagi makan bersama dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia mulai berkurung diri di dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan berhenti menghadiri kuliah. Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus membaca kalimat yang sama secara berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa kata-kata dalam naskah bukunya memiliki makna yang khusus baginya dan dengan sesuatu cara memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Joe mulai menyangka bahwa kawan sekamarnya bersekongkol dengan telepon dan komputernya untuk mengawasi kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan sekamarnya tahu akan pesan dalam naskah bukunya dan kini mencoba untuk menipunya. Joe mulai percaya teman sekamarnya dapat membaca pikirannya, pada kenyataannya siapapun yang ia lewati di aula atau di jalanan dapat mengatakan apapun yang ia pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di kamarnya, ia dapat mendengar bisikan mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak dapat memastikan apa yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka membicarakannya.
Kasus 2 :
Analisis Film A Beautiful Mind
Film A Beautiful Mind
menggambarkan kisah perjuangan seorang ahli matematika genius yang bernama John
Forbes Nash, yang berhasil menciptakan konsep ekonomi yang kini dijadikan
sebagai dasar dari teori ekonomi kontemporer. Selama Perang Dingin berlangsung,
Nash mengidap schizophrenia paranoid yang membuatnya hidup dalam halusinasi dan
selalu dibayangi ketakutan hingga ia harus berjuang keras untuk sembuh dan
meraih hadiah Nobel tahun 1994, kala ia memasuki usia senja.
Kisah dibuka dengan Nash muda di tahun 1948 yang memulai
hari-hari pertama kuliahnya di universitas bergengsi, Princeton University.
Sejak awal, Nash -lelaki sederhana dari dusun Virginia digambarkan sebagai
pribadi penyendiri, pemalu, rendah diri, introvert sekaligus aneh. “Aku tak
terlalu suka berhubungan dengan orang dan rasanya tak ada orang yang menyukaiku,
ujar Nash berkali-kali.” Di balik segala
kekurangannya, Nash juga digambarkan sebagai laki-laki arogan yang bangga akan
kepandaiannya. Ini ditunjukkannnya dengan cara menolak mengikuti kuliah yang
dianggapnya hanya menghabiskan waktu dan membuat otak tumpul. Sebagai gantinya,
Nash lebih banyak meluangkan waktu di luar kelas demi mendapatkan ide orisinal
untuk meraih gelar doktornya dan diterima di pusat penelitian bergengsi,
Wheeler Defense Lab di MIT.
Di tengah persaingan ketat, Nash mendapat teman sekamar yang
sangat memakluminya, Charles Herman yang memiliki keponakan seorang gadis cilik
Marcee. Nash yang amat terobsesi dengan matematika-sampai-sampai menulis
berbagai rumus di kaca jendela kamar dan perpustakaanakhirnya secara tak
sengaja berhasil menemukan konsep baru yang bertentangan dengan teori bapak
ekonomi modern dunia, Adam Smith. Konsep inilah yang dinamakannya dengan teori
keseimbangan, yang mengantarkannya meraih gelar doktor. Mimpi Nash menjadi
kenyataan. Tak hanya meraih gelar doktor, ia berhasil diterima sebagai peneliti
dan pengajar di MIT.
Hidup Nash mulai berubah ketika
ia diminta Pentagon memecahkan kode rahasia yang dikirim tentara Sovyet. Di
sana, ia bertemu agen rahasia William Parcher. Dari agen rahasia ini, ia diberi
pekerjaan sebagai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi
sampai ia lupa waktu dan hidup di dunianya sendiri.
Adalah Alicia Larde, seorang
mahasiswinya yang cantik, yang membuatnya sadar bahwa ia juga membutuhkan
cinta. Ketika pasangan ini menikah, Nash justru semakin parah dan merasa terus
berada dalam ancaman bahaya gara-gara pekerjaannya sebagai agen rahasia. Nash
semakin hari semakin terlihat aneh dan ketakutan, sampai akhirnya ketika ia
sedang membawakan makalahnya di sebuah seminar di Harvard, Dr Rosen seorang
ahli jiwa menangkap dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dari situlah terungkap,
Nash mengidap paranoid schizophrenia. Beberapa kejadian yang dialami Nash
selama ini hanya khayalan belaka. Tak pernah ada teman sekamar, Herman dan
keponakannya yang menggemaskan, Marcee ataupun Parcher dengan proyek
rahasianya.
Untungnya, Alicia adalah seorang
istri setia yang tak pernah lelah memberi semangat pada suaminya. Dengan
dorongan semangat serta cinta kasih yang tak pernah habis dari Alicia, Nash bangkit
dan berjuang melawan penyakitnya.
ANALISA:
Dari film tersebut dapat diketahui bahwa John Nash menderita skizofrenia paranoid, yang ditandai dengan simpton – simpton/ indikasi sebagai berikut:
Dari film tersebut dapat diketahui bahwa John Nash menderita skizofrenia paranoid, yang ditandai dengan simpton – simpton/ indikasi sebagai berikut:
1. adanya delusi atau
waham, yakni keyakinan palsu yang dipertahankan.
- Waham Kejar (delusion
of persecution), yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu
sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya, dalam film tersebut yaitu
agen pemerintah dan mata – mata rusia. Waham ini menjadikannya paranoid, yang
selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa
diperhatikan, diikuti, serta diawasi.
- Waham Kebesaran
(delusion of grandeur), yaitu keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu
kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting. John Nash menganggap
dirinya adalah pemecah kode rahasia terbaik dan mata – mata/agen rahasia.
- Waham Pengaruh
(delusion of influence), adalah keyakinan bahwa kekuatan dari luar
sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya. Adegan yang menunjukkan
waham ini yaitu ketika disuruh membunuh isterinya, ketika disuruh menunjukkan
bahwa dia jenius, dan ketika diyakinkan bahwa dia tidak berarti oleh para teman
halusinasinya.
2. adanya halusinasi,
yaitu persepsi palsu atau menganggap suatu hal ada dan nyata padahal
kenyataannya hal tersebut hanyalah khayalan. John Nash mengalami halusinasi
bertemu dengan tiga orang yang secara nyata tidak ada yaitu Charles Herman
(teman sekamarnya), William Parcher (agen pemerintah) dan Marcee (keponakan
Charles Herman). Selain itu juga laboratorium rahasia, dan juga nomer kode yang
dipasang pada tangannya.
3. gejala motorik dapat
dilihat dari ekpresi wajah yang aneh dan khas diikuti dengan gerakan tangan,
jari dan lengan yg aneh. Indikasi ini sangat jelas ketika John Nash
berkenalan dengan teman – temannya dan juga jika dilihat dari cara berjalannya.
4. adanya gangguan emosi,
adegan yang paling jelas yaitu ketika John Nash menggendong anaknya dengan
tanpa emosi sedikitpun.
5. social withdrawl
(penarikan sosial), John Nash tidak bisa berinteraksi sosial seperti
orang – orang pada umumnya, dia tidak menyukai orang lain dan menganggap orang
lain tidak menyukai dirinya sehingga dia hanya memiliki sedikit teman.
Dalam film tersebut John Nash
dibawa ke rumah sakit jiwa dan mendapatkan perawatan ECT (Electroshock
Therapy) atau terapi elektrokonvulsif 5 kali seminggu selama 10
minggu. ECT merupakan terapi yang sering digunakan pada tahun 1940 – 1960
sebelum obat antipsikotik dan anti depresan mudah diperoleh. Cara kerja terapi
ini yaitu mengalirkan arus listrik berdaya sangat rendah ke otak yang cukup
untuk menghasilkan kejang yang mirip dengan kejang epileptik. Kejang inilah
yang menjadi terapetik bukan arus listriknya. Sebelum dilakukan ECT pasien
disuntikkan insulin sebagai pelemas otot yang akan mencegah spasme konvulsif
otot-otot tubuh dan kemungkinan cedera. Efek samping penggunaan ECT adalah
kelupaan atau gangguan memori. Efek samping ini dapat dihindari dengan menjaga
rendahnya arus listrik yang dialirkan.
Setelah menjalani perawatan di
rumah sakit jiwa, John Nash menjalani perawatan di rumah dengan Obat
Psikoterapetik. Obat ini harus terus diminum secara teratur oleh
penderita skizofrenia. Meskipun obat ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia,
namun obat – obat antipsikotik akan membantu penderita untuk menghilangkan
halusinasi dan konfusi, serta memulihkan proses berpikir rasional. Cara kerja
obat – obat antipsikotik yaitu menghambat reseptor dopamin dalam otak. Efek
dari pemakaian obat tersebut yaitu : Sulit berkosentrasi, menghambat proses
berpikir, tidak memiliki gairah seksual.
Selain terapi biologis, John
Nash juga mendapat terapi dari isterinya yaitu berupa dukungan sosial yang
diberikan kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai
berinteraksi sosial (dengan tukang sampah), dan dorongan untuk tidak berputus
asa dan terus berusaha. Terapi Sosial ini sangat membantu penderita skizofrenia
dalam menghadapi peristiwa – peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson,
Gerald C, dkk. 2006. Psikologi Abnormal,
edisi ke-9. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Nolen,
Susan and Hoeksoma. 2006. Abnormal
Psychology, fourth edition. McGraw-Hill Higher Education.
Butcher, James N.,
et al. 2007. Abnormal Psychology Core Concepts.
Allyn & Bacon.
Nevid, Jeffrey
S., et al. 1999. Abnormal Psychology in
Changing World, fourth edition. Prentice Hall College Div.
Rizkhi Priya Adhi Nugraha
10050009137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar