Rabu, 11 Januari 2012

Pedofilia



Menurut DSM, pedofil (pedos, berarti “anak” dalam bahasa yunani) adalah orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual melalui kontak fisik dan sering kali seksual dengan anak-anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. DSM-IV-TR mensyaratkan para pelakunya minimal berusia 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak. Namun penelitian nampaknya tidak mendukung pernyataan DSM bahwa semua pedofil lebih menyukai anak-anak prapubertas; beberapa diantaranya menjadikan anak-anak pascapubertas sebagai korbannya, yang secara hukum belum cukup umur untuk diperbolehkan melakukan hubungan seks dengsn orang dewasa (Marshal, 1997).
Pedofilia lebih banyak diidap oleh laki-laki dari pada perempuan. Gangguan ini sering kali komorbid dengan gangguan mood dan anxietas, penyalahgunaan zat dan tipe parafilia lainnya (Raymond dkk, 1999). Pedofil bisa heteroseksual atau homoseksual. Dalam beberapa tahun terakhir, internet memiliki peran yang ssemakin besar dalam pedofilia; para pedofil memanfaatkan internet untuk mengakses pornografi anak dan untuk menghubungi calon-calon korbannya (Durkin,1997).
Kekerasan jarang terjadi dalam pencabulan tersebut meskipun hal itu dapat terjadi, seperti yang kadang menarik perhatian orang dalam berbagai berita besar di media. Namun, meskipun sebagian besar pedofil tidak melukai korbannya secara fisik, beberapa di antaranya sengaja menakut-nakuti si anak dengan, misalnya membunuh hewan peliharaan si anak dan mengancam akan lebih menyakitinya jika si anak melapor kepada orang tuanya. Kadang pedofil senang membelai si anak, namun ia juga dapat memain-mainkan alat kelamn si anak, mendorong si anak untuk memain-mainkan alat kelaminnya, dan, lebih jarang terjadi, mencoba memasukkannya kea lat kelamin si anak. Pencabulan tersebut dapat langsung berlangsung selama beberpa minggu, bulan, atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa lain atau jika si anak tidak memperotesnya.
Sejumlah kecil pedofil, yang juga dapat diklasifikasikan sebagai sadistis seksual atau berkepribadian antisocial (psikopatik), menyakiti objek nafsu mereka secara fisik dan menyebabkan cedera serius. Mereka bahkan dapat membunuhnya. Para individu tersebut apakah psikopat atau bukan, mungkin lebih tepat disebut sebagai pemerkosa anak dan secara fundamental berbeda dengan pedofil terkait keinginan mereka untuk menyakiti si anak secara fisik minimal sampai mereka mendapatkan kepuasan seksual (Groth, Hobson, & Guy, 1982).
Para peneliti perilaku menggunakan dua alat genital untuk mengukur gairah seksual. Keduanya merupakan indicator yang sensitive terhadap vasokonjeksi di alat kelamin, yaitu kondisi dimana pembuluh darah dibanjiri dengan darah. Studi investigative mengenai respon seksual dari pelaku pedofil telah menghasilkan beberapa pola (Barbaree & Seto, 1997; LeVay & Valente). Beberapa studi menyatakan bahwa menggunakan pletismograph penile untuk mengukur respon rangsang terhadap stimulus seksual lebih tepat dibandingkan dengan mengandalkan self-report. Beberapa pria yang telah menganiaya anak perempuan yang tidak memiliki hubungan dengannya dibandingkan dengan yang tidak menunjukkan respon gairah seksual yang lebih besar terhadap gambar anak perempuan telanjang atau yang setengah telanjang dan gairah yang lebih besar terhadap beberapa gambar lainnya dibandingkan dengan gambar wanita dewasa. Tetapi beberapa penderita pedofil lainnya ada yang menunjukkan respon yang sama terhadap gambar anak perempuan dan wanita dewasa (Seto et al., 1999). Secara motivasi, banyak pedofil yang menunjukkan sikap pemalu dan introvert, padahal berkeinginan untuk menguasai atau mendominasi individu lain; beberapa juga termasuk mengidealkan aspek kekanak-kanakan seperti kemurnian, cinta yang polos, atau kesederhanaan (Cohen & Galynker, 2002).

Etiologi
Perspektif Psikodinamika
            Parafilia dipandang oleh para teoretikus psikodinamika sebagai tindakan defenseif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan memori yang direpres dan mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap parafilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan heteroseksual yang wajar, bahkan terhadap hubungan heteroseksual yang tidak melibatkan seks. Perkembangan social dan seksualnya (umumnya laki-laki) tidak matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalin hubungan social dan heteroseksual orang dewasa pada umumnya (Lanyon, 1986).
Perspektif Behavioral dan Kognitif
Beberapa teori yang memiliki paradigma behavioral berpendapat bahwa parafilia terjadi karena pengondisian klasik yang secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok stimuli yang oleh masyarakat dianggap sebagai stimuli tidak tepat. Meskipun jarang disebutkan dalam literature terapi perilaku, teori ini pertama kali dikemukakan dalam laporan Kinsey yang terkenal mengenai perilaku seksual laki-laki dan perempuan Amerika (Kinsey, Pomeroy, & Martin, 1948; Kinsey dkk., 1953).
Sebagian besar teori behavioral an kognitif mengenai parafilia yang ada saat bersifat multidimensional dan berpendapat bahwa parafilia terjadi bila sejumlah fakta terdapat dalam diri individu. Riwayat masa kanak-kanak individu  yang mengidap parafilia mengungkap bahwa sering kali mereka sendiri merupakan korban pelecehan fisik dan seksual dan dibesarkan  dalam keluarga dimana hubungan orang tua-anakmengalami ganguan (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman harga diri tersebut dapat berkontribusi besar terhadap rendahnya tingkat keterampilan social dan harga diri, rasa kesepian, dan terbatasnya hubungan intim yang sering terjadi pada para pengidap parafilia (Kaplan & Krueger, 1997; Marshall, Serraan, & Cortoni, 2000).di sisi lain, banyak fakta bahwa banyak pedofil dan eksibisionis memiliki hubungan social-seksual yang wajar mengindikasikan bahwa masalah ini lebih kompleks dari sekedar disebabkan oleh tidak tersedianya sumber seks yang tidak menyimpang (Langevin & Lang, 1987, Maletsky, 2000). Lebih jauh lagi, keyakinan luasnya bahwa pelecehan seksual dim as kanak-kanak memicu seseorang memiliki perilaku parafilik setelah dewasa perlu dikoreksi berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa kurang dari sepertiga penjahat seks berusia dewasa  yang mengalami pelecehan seksual sebelum mereka berusia 18 tahun (Maletzky, 1993).
Hubungan orang tua-anak yang menyimpang juga dapat memicu permusuhan atau sikap negative pada umumnya dan kurangnya empati terhadap perempuan, yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk menyakiti perempuan. Alkohol dan efek negative sering kali merupakan pemicu tindakan pedofilia, voyeurism, dan eksibisionisme. Hal ini sejalan dengan pengetahuan kita tentang efek alkohol yang menghilangkan berbagai hambatan. Aktivitas seksual menyimpang, seperti halnya penggunaan alkohol, dapat menjadi alat untuk melepaskan diri dari afek negative (Baumeister & Butler, 1997).
Perspektif Biologis
Karena sebagian besar orang mengidap parafilia adalah laki-laki, terdapat spekulasi bahwa androgen, hormone utama pada laki-laki, berperan dalam gangguan ini. Karena janin manusia pada awalnya terbentuk sebagai perempuan dan kelakilakian ditimbulkan oleh pengaruh hormonal terkemudian, mungkin dapat terjadi suatu kesalahan dalam perkembangan janin.
Terapi parafilia
Penanganan kognitif
Prosedur kognitif sering kali digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran pada individu yang mengidap parafilia. Contohnya seorang eksibisionis dapat mengklaim bahwa anak perempuan yang menjadi sasarannya terlalu muda untuk merasa terluka karena apa yang dilakukannya. Terapis akan meluruskan distorsi tersebut dengan mengatakan bahwa semakin muda usia korban, akan semakin negative efeknya bagi si korban (Maletzky, 1997). Pelatihan empati terhadap orang lain merupakan teknik kognitif lainnya; mengajari pasien untuk memikirkan bagaimana efek perilakunya terhadap orang lain dapat mengurangi kecenderungan penjahat seksual untuk melakukan tindakan semacam itu. Pencegahan kekambuhan, menggunakan terapi untuk penyalahgunaan zat sebagai model, juga merupakan komponen penting dalam berbagai program penanganan.
Secara umum, pendekatan kognitif dan behavioral sudah semakin canggih dan lebih luas lingkupnya sejak tahun 1960an ketika parafilia hampir sepenuhnya dianggap sebagai ketertarikan seksual yang telah dikondisikan secara klasik terhadap stimuli lingkungan yang tidak tepat. Dalam banyak kasus terapi yang diberikan menggunakan pendekatan Master dan Johnson sebagai model, dengan asumsi bahwa beberapa parafilia terjadi atau tetap dilakukan karena hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan orang dewasa yang menjadi pasangan si pengidap (Marshall & Barbaree, 1990). Secara keseluruhan, baik program-program yang dilakukan di dalam atau di luar institusi yang menggunakan model kognitif-perilaku untuk para penjahat seksual mengurangi residivisme lebih dari yang dapat diharapkna bila tidak diberikan terapi sama sekali (Maletzky, 2002). Hasil-hasil tersebut jauh lebih baik pada para pencabul anak disbanding pada para pemerkosa. Meskipun para penjahat seksual umumnya lebih banyak menimbulkan rasa jijik dan takut dari pada perhatian tulus dari masyarakat, masyarakat sering kali mengabaikan fakta bahwa berbagai upaya untuk menangani orang-orang semacam itu, meskipun jika efektivitasnya minimal, tidak saja hemat biaya, namun juga memungkinkan untuk melindungi orang lain bila orang yang bersangkutan dibebaskan dari penjara (Prentky & Burgess, 1990)
Kombinasi antara terapi psikologi dan biologi
Tidak mengherankan, sekarang banyak program terapi yang digunakan secara kombinasi antara terapi hormone dan terapi kognitif-behavioral, Harapan bahwa terapi hormone dapat normal kembali setelah pelaku telah belajar teknik untuk mengontrol impuls (Malezky, 2002).
Hukum Megan
Hukum yang mengizinkan pihak kepolisian mempublikasikan keberadaan penjahat seks yang terdaftar di kepolisian jika mereka dianggap berpotensi membahayakan. Hukum ini juga mengizinkan masyarakat unutk menggunakan computer di kepolisian untuk mengetahui apakah individu semacam itu tinggal di lingkungan tempat mereka tinggal.














Contoh kasus :
Jawaban Babe Soal Seks Menyimpangnya
Babe selalu memilih anak yang bersih dan ganteng sebagai sasaran kebiadabannya.
Jum'at, 15 Januari 2010, 13:37 WIB
VIVAnews - Baekuni alias Babe kini meringkuk di tahanan Mabes Polri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Babe diduga pelaku pembunuhan terhadap tujuh bocah laki-laki di bawah usia 12 tahun. Empat di antaranya dibunuh dengan dimitulasi.
Setelah membunuh korbannya yang kebanyakan anak jalanan, Babe kemudian menyodomi bocah-bocah malang tersebut.
Apa jawaban Babe saat ditanya kenapa ia senang menyodomi korbannya? "Ya begitulah, karena rasanya puas," ujar Babe sambil tersenyum saat digiring dari ruang tahanan narkoba ke ruang penyidik Reskrimum di Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat 15 Januari 2009.
Babe secara gamblang mengakui senang dengan anak-anak kecil. "Karena (mereka) anak kesayangan saya," kata pria berusia 50 tahun ini.
Dari pemeriksaan psikologis terhadap Babe, yang dilakukan ahli psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono, Kamis 14 Januari 2010 kemarin, dalam melumpuhkan korbannya Babe selalu memiliki pola yang tidak pernah berubah-ubah. Dia akan memilih korbannya dari luar anak-anak jalan yang dia pelihara.
Dari pemeriksaan itu terkuak tujuh pembunuhan yang dilakukan Babe dengan pola yang sama. Kecuali Ardiansyah, korban terakhirnya yang merupakan anak yang dipeliharanya sendiri.
Seluruh anak jalanan yang dekat dengan Babe hampir tidak pernah disentuh sejak 2007. Meskipun Sarlito mengatakan bahwa Babe termasuk pedofilia atau menyukai anak-anak.
Selain memiliki pola memilih dari luar kelompoknya, Babe juga melakukan pola yang sama saat melakukan tindakan memutilasi tersebut. "Kompulsinya dia ikuti pola teratur, dia awalnya ajak korban ke kamar mandi untuk mandi, ketika mau hubungan seks lalu ditolak, setelah di tolak lalu dia ikat pakai tali rafia, kemudian dilakukan hubungan seks dengan cara di sodomi, dia selalu gunakan kardus membuang mayat setelah di mutilasi lalu dibuang ketempat ramai supaya ditemukan orang dan dikubur," jelas Sarlito.
Sedangkan pengacara korban, Haposan Hutagalung mengatakan jika memang korban Babe bukan dari anak asuhnya. Biasanya babe sudah melihat jika ada anak jalanan yang menjadi tergetnya, dia akan merawatnya dan korban akan dapat perlakukan istimewa. Babe selalu memilih anak-anak jalanan yang bersih, berparas ganteng dan biasanya korban babe adalah teman-teman dari anak asuhnya.
Inilah daftar tujuh korban Babe:

1. Arif Kecil (6), TKP Terminal Pulo Gadung, potong empat tanpa kepala, Kamis 15 Mei 2008.

2. Adi (12) TKP Pasar Klender, Cakung, 9 Juli 2007, dipotong dua bagian.

3. Ardiansyah (10) TKP Jalan Raya Bekasi KM 27, Ujung Menteng, Cakung, Jumat 8 Januari 2010

4. Rio, TKP Depan Bekasi Trade Center, Jalan Joyomartono, Bekasi Timur, Senin 14 Januari 2008. Dipotong empat tanpa kepala.

5. Riki, TKP Kelapa Gading, luka jerat di leher, anus disumpal koran. (Tidak Ddimutilasi)

6. Arif Besar di Kuningan, Jawa Barat, tidak dimutilasi, dijerat lalu dikubur. (Tidak dimutilasi)

7. Yusuf, TKP belum diketahui.

• VIVAnews






Rujukan :
Psikologi Abnormal Edisi ke-9,. Gerald Davison C, John M. Neale, Ann M. Kring
Abnormal Psikologi Core Concepts, James N, Butcher, Susan Mineka, Jill M. Hooley
VIVAnews.com


Kohar Wijayanto 10050009147

Tidak ada komentar:

Posting Komentar