Menurut DSM, pedofil (pedos, berarti “anak” dalam bahasa
yunani) adalah orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual melalui kontak
fisik dan sering kali seksual dengan anak-anak prapubertas yang tidak memiliki
hubungan darah dengan mereka. DSM-IV-TR mensyaratkan para pelakunya minimal
berusia 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak. Namun penelitian
nampaknya tidak mendukung pernyataan DSM bahwa semua pedofil lebih menyukai
anak-anak prapubertas; beberapa diantaranya menjadikan anak-anak pascapubertas
sebagai korbannya, yang secara hukum belum cukup umur untuk diperbolehkan
melakukan hubungan seks dengsn orang dewasa (Marshal, 1997).
Pedofilia lebih banyak diidap oleh
laki-laki dari pada perempuan. Gangguan ini sering kali komorbid dengan
gangguan mood dan anxietas, penyalahgunaan zat dan tipe parafilia lainnya
(Raymond dkk, 1999). Pedofil bisa heteroseksual atau homoseksual. Dalam
beberapa tahun terakhir, internet memiliki peran yang ssemakin besar dalam
pedofilia; para pedofil memanfaatkan internet untuk mengakses pornografi anak
dan untuk menghubungi calon-calon korbannya (Durkin,1997).
Kekerasan jarang terjadi dalam
pencabulan tersebut meskipun hal itu dapat terjadi, seperti yang kadang menarik
perhatian orang dalam berbagai berita besar di media. Namun, meskipun sebagian
besar pedofil tidak melukai korbannya secara fisik, beberapa di antaranya
sengaja menakut-nakuti si anak dengan, misalnya membunuh hewan peliharaan si
anak dan mengancam akan lebih menyakitinya jika si anak melapor kepada orang
tuanya. Kadang pedofil senang membelai si anak, namun ia juga dapat
memain-mainkan alat kelamn si anak, mendorong si anak untuk memain-mainkan alat
kelaminnya, dan, lebih jarang terjadi, mencoba memasukkannya kea lat kelamin si
anak. Pencabulan tersebut dapat langsung berlangsung selama beberpa minggu,
bulan, atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa lain atau jika si anak
tidak memperotesnya.
Sejumlah kecil pedofil, yang juga
dapat diklasifikasikan sebagai sadistis seksual atau berkepribadian antisocial
(psikopatik), menyakiti objek nafsu mereka secara fisik dan menyebabkan cedera
serius. Mereka bahkan dapat membunuhnya. Para individu tersebut apakah psikopat
atau bukan, mungkin lebih tepat disebut sebagai pemerkosa anak dan secara
fundamental berbeda dengan pedofil terkait keinginan mereka untuk menyakiti si
anak secara fisik minimal sampai mereka mendapatkan kepuasan seksual (Groth,
Hobson, & Guy, 1982).
Para peneliti perilaku menggunakan
dua alat genital untuk mengukur gairah seksual. Keduanya merupakan indicator
yang sensitive terhadap vasokonjeksi di alat kelamin, yaitu kondisi dimana
pembuluh darah dibanjiri dengan darah. Studi investigative mengenai respon
seksual dari pelaku pedofil telah menghasilkan beberapa pola (Barbaree &
Seto, 1997; LeVay & Valente). Beberapa studi menyatakan bahwa menggunakan
pletismograph penile untuk mengukur respon rangsang terhadap stimulus seksual
lebih tepat dibandingkan dengan mengandalkan self-report. Beberapa pria
yang telah menganiaya anak perempuan yang tidak memiliki hubungan dengannya dibandingkan
dengan yang tidak menunjukkan respon gairah seksual yang lebih besar terhadap gambar
anak perempuan telanjang atau yang setengah telanjang dan gairah yang lebih
besar terhadap beberapa gambar lainnya dibandingkan dengan gambar wanita
dewasa. Tetapi beberapa penderita pedofil lainnya ada yang menunjukkan respon
yang sama terhadap gambar anak perempuan dan wanita dewasa (Seto et al., 1999).
Secara motivasi, banyak pedofil yang menunjukkan sikap pemalu dan introvert,
padahal berkeinginan untuk menguasai atau mendominasi individu lain; beberapa
juga termasuk mengidealkan aspek kekanak-kanakan seperti kemurnian, cinta yang
polos, atau kesederhanaan (Cohen & Galynker, 2002).
Etiologi
Perspektif
Psikodinamika
Parafilia
dipandang oleh para teoretikus psikodinamika sebagai tindakan defenseif,
melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan memori yang direpres dan
mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang
yang mengidap parafilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap
hubungan heteroseksual yang wajar, bahkan terhadap hubungan heteroseksual yang
tidak melibatkan seks. Perkembangan social dan seksualnya (umumnya laki-laki)
tidak matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalin hubungan
social dan heteroseksual orang dewasa pada umumnya (Lanyon, 1986).
Perspektif
Behavioral dan Kognitif
Beberapa teori yang memiliki
paradigma behavioral berpendapat bahwa parafilia terjadi karena pengondisian
klasik yang secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok
stimuli yang oleh masyarakat dianggap sebagai stimuli tidak tepat. Meskipun
jarang disebutkan dalam literature terapi perilaku, teori ini pertama kali
dikemukakan dalam laporan Kinsey yang terkenal mengenai perilaku seksual
laki-laki dan perempuan Amerika (Kinsey, Pomeroy, & Martin, 1948; Kinsey
dkk., 1953).
Sebagian besar teori behavioral an
kognitif mengenai parafilia yang ada saat bersifat multidimensional dan
berpendapat bahwa parafilia terjadi bila sejumlah fakta terdapat dalam diri
individu. Riwayat masa kanak-kanak individu
yang mengidap parafilia mengungkap bahwa sering kali mereka sendiri
merupakan korban pelecehan fisik dan seksual dan dibesarkan dalam keluarga dimana hubungan orang
tua-anakmengalami ganguan (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman harga diri
tersebut dapat berkontribusi besar terhadap rendahnya tingkat keterampilan
social dan harga diri, rasa kesepian, dan terbatasnya hubungan intim yang
sering terjadi pada para pengidap parafilia (Kaplan & Krueger, 1997;
Marshall, Serraan, & Cortoni, 2000).di sisi lain, banyak fakta bahwa banyak
pedofil dan eksibisionis memiliki hubungan social-seksual yang wajar
mengindikasikan bahwa masalah ini lebih kompleks dari sekedar disebabkan oleh
tidak tersedianya sumber seks yang tidak menyimpang (Langevin & Lang, 1987,
Maletsky, 2000). Lebih jauh lagi, keyakinan luasnya bahwa pelecehan seksual dim
as kanak-kanak memicu seseorang memiliki perilaku parafilik setelah dewasa
perlu dikoreksi berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa kurang dari
sepertiga penjahat seks berusia dewasa
yang mengalami pelecehan seksual sebelum mereka berusia 18 tahun
(Maletzky, 1993).
Hubungan orang tua-anak yang
menyimpang juga dapat memicu permusuhan atau sikap negative pada umumnya dan
kurangnya empati terhadap perempuan, yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk
menyakiti perempuan. Alkohol dan efek negative sering kali merupakan pemicu
tindakan pedofilia, voyeurism, dan eksibisionisme. Hal ini sejalan dengan
pengetahuan kita tentang efek alkohol yang menghilangkan berbagai hambatan. Aktivitas
seksual menyimpang, seperti halnya penggunaan alkohol, dapat menjadi alat untuk
melepaskan diri dari afek negative (Baumeister & Butler, 1997).
Perspektif
Biologis
Karena sebagian besar orang mengidap parafilia
adalah laki-laki, terdapat spekulasi bahwa androgen, hormone utama pada
laki-laki, berperan dalam gangguan ini. Karena janin manusia pada awalnya
terbentuk sebagai perempuan dan kelakilakian ditimbulkan oleh pengaruh hormonal
terkemudian, mungkin dapat terjadi suatu kesalahan dalam perkembangan janin.
Terapi
parafilia
Penanganan
kognitif
Prosedur kognitif sering kali
digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran pada individu yang mengidap
parafilia. Contohnya seorang eksibisionis dapat mengklaim bahwa anak perempuan
yang menjadi sasarannya terlalu muda untuk merasa terluka karena apa yang
dilakukannya. Terapis akan meluruskan distorsi tersebut dengan mengatakan bahwa
semakin muda usia korban, akan semakin negative efeknya bagi si korban
(Maletzky, 1997). Pelatihan empati terhadap orang lain merupakan teknik
kognitif lainnya; mengajari pasien untuk memikirkan bagaimana efek perilakunya
terhadap orang lain dapat mengurangi kecenderungan penjahat seksual untuk
melakukan tindakan semacam itu. Pencegahan kekambuhan, menggunakan terapi untuk
penyalahgunaan zat sebagai model, juga merupakan komponen penting dalam
berbagai program penanganan.
Secara umum, pendekatan kognitif
dan behavioral sudah semakin canggih dan lebih luas lingkupnya sejak tahun
1960an ketika parafilia hampir sepenuhnya dianggap sebagai ketertarikan seksual
yang telah dikondisikan secara klasik terhadap stimuli lingkungan yang tidak
tepat. Dalam banyak kasus terapi yang diberikan menggunakan pendekatan Master
dan Johnson sebagai model, dengan asumsi bahwa beberapa parafilia terjadi atau
tetap dilakukan karena hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan orang
dewasa yang menjadi pasangan si pengidap (Marshall & Barbaree, 1990).
Secara keseluruhan, baik program-program yang dilakukan di dalam atau di luar
institusi yang menggunakan model kognitif-perilaku untuk para penjahat seksual
mengurangi residivisme lebih dari yang dapat diharapkna bila tidak diberikan
terapi sama sekali (Maletzky, 2002). Hasil-hasil tersebut jauh lebih baik pada
para pencabul anak disbanding pada para pemerkosa. Meskipun para penjahat
seksual umumnya lebih banyak menimbulkan rasa jijik dan takut dari pada
perhatian tulus dari masyarakat, masyarakat sering kali mengabaikan fakta bahwa
berbagai upaya untuk menangani orang-orang semacam itu, meskipun jika
efektivitasnya minimal, tidak saja hemat biaya, namun juga memungkinkan untuk
melindungi orang lain bila orang yang bersangkutan dibebaskan dari penjara (Prentky
& Burgess, 1990)
Kombinasi
antara terapi psikologi dan biologi
Tidak mengherankan, sekarang banyak
program terapi yang digunakan secara kombinasi antara terapi hormone dan terapi
kognitif-behavioral, Harapan bahwa terapi hormone dapat normal kembali setelah
pelaku telah belajar teknik untuk mengontrol impuls (Malezky, 2002).
Hukum Megan
Hukum
yang mengizinkan pihak kepolisian mempublikasikan keberadaan penjahat seks yang
terdaftar di kepolisian jika mereka dianggap berpotensi membahayakan. Hukum ini
juga mengizinkan masyarakat unutk menggunakan computer di kepolisian untuk
mengetahui apakah individu semacam itu tinggal di lingkungan tempat mereka
tinggal.
Contoh kasus :
Jawaban Babe Soal Seks Menyimpangnya
Babe selalu memilih anak yang bersih dan ganteng sebagai
sasaran kebiadabannya.
Jum'at, 15
Januari 2010, 13:37 WIB
VIVAnews - Baekuni alias Babe kini meringkuk
di tahanan Mabes Polri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Babe diduga
pelaku pembunuhan terhadap tujuh bocah laki-laki di bawah usia 12 tahun. Empat
di antaranya dibunuh dengan dimitulasi.
Setelah membunuh korbannya yang
kebanyakan anak jalanan, Babe kemudian menyodomi bocah-bocah malang tersebut.
Apa jawaban Babe saat ditanya kenapa
ia senang menyodomi korbannya? "Ya begitulah, karena rasanya puas,"
ujar Babe sambil tersenyum saat digiring dari ruang tahanan narkoba ke ruang penyidik
Reskrimum di Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat 15
Januari 2009.
Babe secara gamblang mengakui senang
dengan anak-anak kecil. "Karena (mereka) anak kesayangan saya," kata
pria berusia 50 tahun ini.
Dari pemeriksaan psikologis terhadap
Babe, yang dilakukan ahli psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan
Sarwono, Kamis 14 Januari 2010 kemarin, dalam melumpuhkan korbannya Babe selalu
memiliki pola yang tidak pernah berubah-ubah. Dia akan memilih korbannya dari luar
anak-anak jalan yang dia pelihara.
Dari pemeriksaan itu terkuak tujuh
pembunuhan yang dilakukan Babe dengan pola yang sama. Kecuali Ardiansyah,
korban terakhirnya yang merupakan anak yang dipeliharanya sendiri.
Seluruh anak jalanan yang dekat
dengan Babe hampir tidak pernah disentuh sejak 2007. Meskipun Sarlito
mengatakan bahwa Babe termasuk pedofilia atau menyukai anak-anak.
Selain memiliki pola memilih dari
luar kelompoknya, Babe juga melakukan pola yang sama saat melakukan tindakan
memutilasi tersebut. "Kompulsinya dia ikuti pola teratur, dia awalnya ajak
korban ke kamar mandi untuk mandi, ketika mau hubungan seks lalu ditolak,
setelah di tolak lalu dia ikat pakai tali rafia, kemudian dilakukan hubungan
seks dengan cara di sodomi, dia selalu gunakan kardus membuang mayat setelah di
mutilasi lalu dibuang ketempat ramai supaya ditemukan orang dan dikubur,"
jelas Sarlito.
Sedangkan pengacara korban, Haposan
Hutagalung mengatakan jika memang korban Babe bukan dari anak asuhnya. Biasanya
babe sudah melihat jika ada anak jalanan yang menjadi tergetnya, dia akan
merawatnya dan korban akan dapat perlakukan istimewa. Babe selalu memilih
anak-anak jalanan yang bersih, berparas ganteng dan biasanya korban babe adalah
teman-teman dari anak asuhnya.
Inilah daftar tujuh korban Babe:
1. Arif Kecil (6), TKP Terminal Pulo Gadung, potong empat tanpa kepala, Kamis 15 Mei 2008.
2. Adi (12) TKP Pasar Klender, Cakung, 9 Juli 2007, dipotong dua bagian.
3. Ardiansyah (10) TKP Jalan Raya Bekasi KM 27, Ujung Menteng, Cakung, Jumat 8 Januari 2010
4. Rio, TKP Depan Bekasi Trade Center, Jalan Joyomartono, Bekasi Timur, Senin 14 Januari 2008. Dipotong empat tanpa kepala.
5. Riki, TKP Kelapa Gading, luka jerat di leher, anus disumpal koran. (Tidak Ddimutilasi)
6. Arif Besar di Kuningan, Jawa Barat, tidak dimutilasi, dijerat lalu dikubur. (Tidak dimutilasi)
7. Yusuf, TKP belum diketahui.
1. Arif Kecil (6), TKP Terminal Pulo Gadung, potong empat tanpa kepala, Kamis 15 Mei 2008.
2. Adi (12) TKP Pasar Klender, Cakung, 9 Juli 2007, dipotong dua bagian.
3. Ardiansyah (10) TKP Jalan Raya Bekasi KM 27, Ujung Menteng, Cakung, Jumat 8 Januari 2010
4. Rio, TKP Depan Bekasi Trade Center, Jalan Joyomartono, Bekasi Timur, Senin 14 Januari 2008. Dipotong empat tanpa kepala.
5. Riki, TKP Kelapa Gading, luka jerat di leher, anus disumpal koran. (Tidak Ddimutilasi)
6. Arif Besar di Kuningan, Jawa Barat, tidak dimutilasi, dijerat lalu dikubur. (Tidak dimutilasi)
7. Yusuf, TKP belum diketahui.
• VIVAnews
Rujukan :
Psikologi Abnormal Edisi ke-9,.
Gerald Davison C, John M. Neale, Ann M. Kring
Abnormal Psikologi Core Concepts,
James N, Butcher, Susan Mineka, Jill M. Hooley
VIVAnews.com
Kohar Wijayanto 10050009147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar