Gangguan
depresi mayor di diagnosis berdasarkan pada munculnya satu atau lebih episode
depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manic
(berhubungan dengan maniak, seperti dalam fase manic dari gangguan bipolar) atau hypomanic
(mengacu pada keadaan maniak yang lebih ringan atau kegirangan). Dalam
episode depresi mayor, orang tersebut mengalami salah satu di antara mood
depresi (merasa sedih, putus asa, atau terpuruk) atau kehilangan minat/rasa
senang dalam semua atau berbagai aktivitas untuk periode waktu paling sedikit 2
minggu (APA, 2000).
Orang
dengan gangguan depresi mayor juga memiliki selera makan yang buruk, kehilangan
atau bertambah berat badan secara mencolok, memiliki masalah tidur atau tidur
terlalu banyak, dan menjadi gelisah secara fisik, atau yang pada situasi
ekstrem lainnya menunjukkan melambatnya aktivitas motorik mereka. Orang dengan
depresi mayor dapat kehilangan minat pada hampir semua aktivitas rutin dan
kegiatan senggang mereka, memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi dan membuat
keputusan, memiliki pikiran yang menekan akan kematian, dan mencoba bunuh diri.
Gangguan
depresi mayor adalah tipe paling umum dari gangguan mood yang dapat di
diagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara 10% hingga
25% untuk wanita dan 5% hingga 12% untuk pria (APA, 2000). Depresi mayor,
khususnya pada episode yang lebih berat atau parah, dapat disertai dengan cirri
psikosis, seperti delusi bahwa tubuhnya digerogoti penyakit (Coryell dkk.,
1996). Orang dengan depresi berat juga dapat mengalami halusinasi, seperti
“mendengar” suara-suara orang lain, atau iblis, yang mengutuk mereka atas
kesalahan yang dipersepsikan.
Episode-episode
depresi mayor dapat berlangsung dalam jangka bulanan atau satu tahun atau
bahkan lebih (APA, 2000; USDHHS, 19991). Rata-rata orang dengan depresi mayor
dapat diperkirakan mengalami empat episode selama hidupnya (Judd, 1997). Orang
yang terus memiliki simptom-simptom yang terus bertahan, banyak ahli memandang
depresi mayor sebagai suatu gangguan kronis, bahkan sepanjang hidup. Dari sisi
positifnya, semakin panjang periode kesembuhan depresi mayor, semakin rendah
risiko untuk kambuh di kemudian hari (Solomon dkk., 2000).
Ciri-ciri Diagnostik dari suatu
Episode Depresi Mayor
Suatu
episode depresi mayor ditandai dengan munculnya lima atau lebih ciri-ciri atau
simptom-simptom selama suatu periode 2 minggu, yang mencerminkan suatu
perubahan dari fungsi sebelumnya. Paling tidak satu dari ciri-ciri tersebut
harus melibatkan (1) mood yang depresi, atau (2) kehilangan minat atau
kesenangan dalam beraktivitas. Selain itu, penegakkan diagnosis memerlukan
hadirnya empat simptom tambahan, seperti gangguan tidur atau nafsu makan,
kehilangan energi, perasaan tidak berarti, pikiran untuk bunuh diri, dan sulit
berkonsentrasi.
Gotlib,
Lewinsohn, dan Seeley (1995) menemukan bahwa para individu yang mengalami
kurang dari lima simptom, yaitu yang mengalami apa yang disebut depresi
subklinis, juga mengalami kesulitan dalam keberfungsian psikososial sama besar
dengan para individu yang memenuhi persyaratan formal bagi diagnosis depresi. Simptom-simptom
tersebut harus menyebabkan baik tingkat distress yang signifikan secara klinis
ataupun paling tidak dalam satu area penting dari fungsi, seperti fungsi sosial
atau pekerjaan, dan harus bukan merupakan akibat langsung dari penggunaan
obat-obatan atau medikasi, dari suatu kondisi medis, atau dari gangguan
psikologis lain. Episode tersebut tidak boleh mewakili suatu reaksi berduka
yang normal terhadap kematian seseorang yang dicintai, yaitu berkabung (bereavement).
1. Mood
yang depresi, sedih dan tertekan hampir sepanjang hari, dan hampir setiap hari.
Dapat berupa mood yang mudah tersinggung pada anak-anak atau remaja.
2. Penurunan
kesenangan atau minat secara drastis dalam semua atau hampir semua aktivitas,
hamper setiap hari, hamper sepanjang hari.
3. Suatu
kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan (5% lebih dari berat
tubuh dalam sebulan), tanpa upaya apa pun untuk berdiet, atau suatu peningkatan
atau penurunan dalam selera makan.
4. Setiap
hari (atau hampir setiap hari) mengalami insomnia atau hipersomnia (tidur
berlebuhan).
5. Agitasi
yang berlebihan atau melambatnya respons gerakan hampir setiap hari.
6. Perasaan
lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan
tidak berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang berlebihan atu
tidak tepat hampir tiap hari.
8. Berkurangnya
kemampuan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih atau untuk membuat
keputusan hampir setiap hari.
9. Pikiran
yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri tanpa suatu rencana yang
spesifik, atau munculnya suatu percobaan bunuh diri, atau rencana yang spesifik
untuk melakukan bunuh diri.
Sumber:
diadaptasi dari DSM IV-TR (APA, 2000)
Faktor-faktor Risiko dalam Depresi
Mayor
Faktor-faktor yang meningkatkan
risiko seseorang untuk mengembangkan depresi mayor meliputi usia (onset awal
lebih umum terjadi pada dewasa muda daripada dewasa yang lebih tua); status
sosioekonomi (orang dengan taraf sosioekonomi yang lebih rendah memiliki risiko
yang lebih besar dibanding mereka dengan taraf yang lebih baik); dan status
pernikahan (orang yang berpisah atau bercerai memiliki risiko yang lebih tinggi
daripada orang yang menikah atau tidakpernah menikah).
Wanita memiliki kecenderungan hampir
dua kali lipat lebih besar daripada pria untuk mengalami depresi mayor. Meski
perbedaan hormonal atau perbedaan biologis lainnya yang terkait dengan gender
kemungkinan berpengaruh, namun sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh
American Psychological Association (APA) menyatakan bahwa perbedaan gender
sebagian besar disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah stress yang dihadapi
wanita dalam kehidupan kontemporer. Diskusi panel tersebut menyimpulkan bahwa
wanita lebih cenderung daripada pria untuk menghadapi faktor-faktor kehidupan
yang penuh tekanan seperti penganiayaan fisik dans eksual, kemiskinan, orang
tua tunggal, dan diskriminasi gender. Pria dan wanita dengan gangguan tersebut
tidak berbeda secara signifikan dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali,
frekuensi kambuh, keparahan/durasi kambuh, atu jarak waktu untuk kambuh yang
pertama kalinya.
Perbedaan dalam gaya coping juga dapat membantu menjelaskan
mengenai lebuh besarnya kerentanan wanita untuk terkena depresi. Respon coping seseorang dapat menambah atau
mengurangi keparahan dan durasi dari episode depresi. Depresi mayor umumnya
berkembang pada masa dewasa muda, dengan usia rata-rata onsetnya adalah
pertengahan 20 (APA, 2000).
Tinjauan berdasarkan Perspektif Biopsikososiokultural
a. Faktor
Biologis
Faktor
Genetis
Suatu bidang
pengetahuan yang semakin berkembang mengimplikasikan faktor-faktor genetis pada
gangguan mood. Gangguan mood termasuk depresi mayor dan terutama gangguan
bipolar cenderung menurun dalam keluarga. Bukti yang mengacu pada suatu dasar
genetis untuk gangguan mood berasal dari penelitian-penelitian yang menunjukkan
bahwa semakin dekat hubungan genetis yang dibagi seseorang dengan orang lain
yang menderita suatu gangguan mood mayor (depresi mayor atau gangguan bipolar),
semakin besar kecenderungan bahwa orang tersebut juga akan menderita suatu
gangguan mood mayor.
Para peneliti
percaya bahwa keturunan memainkan peranan penting dalam depresi mayor. Namun,
genetis bukanlah satu-satunya determinan dari depresi mayor, juga bukan determinan
yang paling penting. Faktor-faktor lingkungan, seperti pemaparan terhadap
peristiwa hidup yang penuh tekanan, tampaknya memainkan peranan yang paling
tidak sama besarnya dibandingkan genetis. Tampaknya depresi mayor adalah suatu
gangguan yang kompleks yang disebabkan oleh suatu kombinasi dari factor-faktor
genetis dari lingkungan. Faktor-faktor genetis dapat memainkan peranan yang
lebih besar dalam menjelaskan gangguan bipolar daripada depresi unipolar
(gangguan depresi mayor) (Krehbiel, 2000).
Faktor-faktor
Biokimia dan Abnormalitas Otak dalam Depresi
Penelitian awal
mengenai dasar penyebab biologis dari depresi berfokus pada berkurangnya
tingkat neurotransmitter dalam otak. Neurotransmiter pertama kali dicurigai
memainkan peran dalam depresi pada tahun 1950-an. Penemuan yang dilaporkan pada
masa itu adalah pasien hipertensi (tekanan darah tinggi) yang meminum obat reserpine sering menjadi depresi. Reserpine menurunkan suplai dari
berbagai neurotransmitter di dalam otak, termasuk norepinephrine dan serotonin.
Kemudian muncul penemuan bahwa obat-obatan yang menaikkan tingkat
neurotransmitter seperti norepinephrine dan
serotonin di otak dapat mengurangi
depresi. Obat-obatan ini, disebut antidepresan, termasuk tricyclis, seperti imipramine
(nama dagang Tofranil) dan amitriptyline
(nama dagang Elavil); monoamine
oxidase (MAO) inhibitors, seperti phenelzine (nama dagang Nardil);
dan selective serotonin-reuptake
inhibitors (SSRIs), seperti fluoxetine
(nama dagang Prozac) dan sertraline (nama
dagang Zoloft).
Pandangan yang
lebih kompleks mengenai peran neurotransmitter dalam depresi sedang berkembang
(Cravchik & Goldman, 2000). Suatu pandangan yang dipegang secara luas saat
ini adalah bahwa depresi melibatkan ketidakteraturan dalam (1) jumlah reseptor
pada neuron penerima, tempat di mana neurotransmitter berkumpul, (memiliki
terlalu banyak atau terlalu sedikit); atau (2) dalam sensitivitas reseptor bagi
neurotransmitter tertentu (Yatham dkk., 2000). Antidepresan dapat bekerja
dengan cara mempengaruhi jumlah atau sensitivitas dari reseptor. Defisiensi
pada neurotransmitter tertentu juga memainkan suatu peranan (Lambert dkk.,
2000). Masalah-masalah lebih lanjut yang rumit adalah terdapatnya sejumlah tipe
reseptor yang berbeda untuk setiap neurotransmitter. Kemungkinan juga ada
banyak subtype untuk setiap tipe. Fungsi dari antidepresan tertentu dapat
spesifik pada tipe atau subtipe tertentu dari reseptor.
Metode lain dari
penelitian berfokus pada kemungkinan abnormalitas dalam korteks prefrontal (prefrontal
cortex), area dari lobus frontal
yang terletak di depan area motorik. Peneliti menemukan bukti dari aktivitas
metabolism yang lebih rendah dan ukuran korteks prefrontal yang lebih kecil
pada diri orang yang secara klinis mengidap depresi bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang sehat. Korteks prefrontal terlibat dalam pengaturan
neurotransmitter yang dipercaya terlibat dalam gangguan mood, termasuk serotonin dan norepinephrine, sehingga tidak mengagetkan bila bukti menunjukkan
ketidakteraturan pada bagian otak ini.
Sistem
Neuroendokrin
Aksis
hipotalamik-pituitari-adrenokortikal juga dapat berperan dalam depresi. Bagian
limbic pada otak sangat terkait dengan emosi dan juga memengaruhi hipotalamus.
Hipotalamus kemudian mengatur berbagai kelenjar endokrin dan sekaligus kadar
hormone yang dihasilkan berbagai kelenjar tersebut. Hormon-hormon yang
dihasilkan oleh hipotalamus juga memengaruhi kelenjar pituitari dan
hormone-hormon yang dihasilkannya. Karena relevansinya dengan apa yang disebut
simptom-simptom vegetatif pada depresi, seperti gangguan nafsu makan dan tidur,
diperkirakan aksis hipotalamik-pituitari-adrenokortikal bekerja terlalu aktif
dalam kondisi depresi.
Kadar kortisol
(suatu hormone adrenokortikal) yang tinggi pada para pasien depresi, kemungkinan
terjadi karena sekresi yang berlebihan pada hormone yang melepaskan thyrotropin oleh hipotalamus. Sekresi
kortisol yang berlebihan pada orang-orang yang depresi juga menyebabkan
pembesaran kelenjar adrenalin. Sekresi kortisol yang terus-menerus berlebihan
dikaitkan dengan kerusakan hipokampus, dan berbagai studi menemukan bahwa beberapa
pasien yang menderita depresi menunjukkan abnormalitas hipokampus. Kadar
kortisol yang tinggi tersebut bahkan mendorong pengembangan suatu tes biologis
untuk depresi, yaitu tes supresi
deksametason (DST). Deksametason menekan sekresi kortisol. Ketika diberi
deksametason dalam tes yang berlangsung selama satu malam, beberapa pasien
depresi, terutama yang mengalami depresi delusional, tidak mengalami supresi
kortisol. Interpretasinya adalah kegagalan deksametason untuk menekan kortisol
mencerminkan aktivitas yang berlebihan dalam aksis
hipotalamik-pituitari-adrenokortikal pada pasien yang menderita depresi.
Kegagalan supresi dinormalisasi ketika episode depresif berakhir, yang
mengindikasikan bahwa hal itu dapat merupakan respons yang tidak spesifik terhadap
stress.
b. Sudut
Pandang Psikososial
Stres dan Gangguan Mood
Peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya
hubungan romantic, lamanya hidup menganggur, sakit fisik, masalah dalam
pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, tekanan di pekerjaan, atau rasisme
dan diskriminasi meningkatkan risiko berkembangnya gangguan mood atau kambuhnya
sebuah gangguan mood, terutama depresi mayor. Pada suatu sampel penelitian,
peneliti menemukan bahwa dalam sekitar empat dari lima kasus, depresi mayor
diawali oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan (Mazure, 1998). Orang juga
lebih cenderung untuk menjadi depresi bila mereka menanggung sendiri tanggung
jawab dari peristiwa yang tidak diinginkan, seperti masalah sekolah, kesulitan
keuangan, kehamilan yang tidak diinginkan, masalah interpersonal, dan masalah
dengan hukum (Hammen & de Mayo, 1982).
Peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan dapat berkontribusi pada depresi, dan simptom
depresi dalam diri mereka sendiri dapat bersifat menekan atau menyebabkan
munculnya sumber-sumber tambahan pada stress, seperti perceraian atau
kehilangan pekerjaan.
Meski stress
berimplikasi pada depresi, tidak semua orang yang mengalami stress menjadi
depresi. Faktor-faktor seperti keterampilan coping,
bawaan genetis, dan ketersediaan dukungan social memberikan kontribusi pada
kecenderungan depresi saat menghadapi kejadian yang penuh tekanan. Pengembangan
depresi juga dapat dipengaruhi oleh penyiksaan atau trauma di masa lalu.
Konsisten dengan model diatesis stress, peneliti menemukan bahwa wanita muda
lebih cenderung untuk mengembangkan depresi saat menghadapi kejadian hidup yang
penuh tekanan bila mereka memiliki diatesis dalam bentuk pemaparan terhadap
kemalangan di masa kecil seperti kekerasan dalam keluarga ataupun gangguan
mental atau alkoholisme orangtua (Hammen, Henry, & Daley, 2000). Penyiksaan
fisik atau seksual di masa kecil dapat mengganggu perkembangan dari ikatan awal
dengan orangtua, membentuk tahap-tahap perkembangan untuk masalah hubungan serta
gangguan emosional yang melibatkan depresi dan kecemasan di masa selanjutnya.
Ketersediaan
dukungan sosial juga diasosiasikan dengan kesembuhan yang lebih cepat baik dari
episode-episode depresi mayor maupun gangguan bipolar. Orang dengan depresi
mayor sering kali kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan
masalah interpersonal dengan teman, teman sekerja, atau supervisor. Namun
mereka yang mengambil pendekatan yang lebih aktif dalam menyelesaikan masalah
interpersonal cenderung memiliki hasil klinis yang lebih baik daripada orang
yang depresi yang memiliki gaya coping yang lebih pasif.
Teori
Psikodinamika
Teori
psikodinamika klasik menegenai depresi dari Freud (1917/1957) meyakini bahwa
depresi mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan
terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami kehilangan yang
sebenarnya atau ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting ini.
Freud
mempercayai bahwa mourning (berduka)
adalah proses yang sehat karena dengan berduka seseorang akhirnya dapat
melepaskan dirinya sendiri secara psikologis dari seseorang yang hilang karena
kematian, perpisahan, perceraian, atau alasan lainnya. Namun, rasa duka yang
patologis tidak mendukung perpisahan yang sehat. Malahan, hal ini akan memupuk
depresi yang tak berkesudahan. Rasa duka yang patologis cenderung terjadi pada
orang yang memiliki perasaan ambivalen yang kuat (suatu kombinasi dari perasaan
positif (cinta) dan negatif (marah, permusuhan)) terhadap orang yang telah
pergi atau ditakutkan kepergiannya. Freud menteorikan bahwa saat orang merasa
kehilangan, atau bahkan takut kehilangan, figure penting dari orang yang
kepadanya mereka miliki perasaan ambivalen, perasaan marah mereka terhadap
orang tersebut berubah menjadi kemarahan yang ekstrem. Namun, kemarahan yang
ekstrem tersebut memicu rasa bersalah, yang justru mencegah mereka untuk
mengarahkan rasa marah secara langsung kepada orang yang telah pergi.
Untuk
mempertahankan hubungan psikologis dengan objek yang hilang, mereka mengintrojeksikan, atau membawa ke
dalam, suatu representasi mental dari objek itu. Mereka kemudian menyatukan
orang lain tersebut ke dalam self.
Sekarang kemarahan terarah ke dalam, berhadapan dengan bagian dari self yang mewakili representasi di dalam
dari orang yang hilang. Hal ini menimbulkan self-hatred,
yang nantinya akan menimbulkan depresi.
Meskipun juga
menekankan pentingnya kehilangan, model psikodinamika terbaru lebih berfokus
pada isu-isu yang berhubungan dengan perasaaan individual akan self-worth atau self-esteem. Suatu model, yang disebut model self-focusing, mempertimbangkan bagaimana orang
mengalokasikan proses atensi mereka setelah suatu kehilangan (kematian orang
yang dicintai, kegagalan personal, dll.). Menurut model ini, orang yang mudah
terkena depresi mengalami suatu periode self-examination
(self-focusing) yang intens
setelah terjadinya suatu kehilangan atau kekecewaan yang besar. Mereka menjadi
terpaku pada pikiran-pikiran mengenai objek (orang yang dicintai) atau tujuan
penting yang hilang dan tetap tidak dapat merelakan harapan akan entah
bagaimana cara mendapatkannya kembali.
Teori
Humanistik
Menurut kerangka kerja humanistik, orang
menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan mereka dengan makna
dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik yang menghasilkan self-fulfillment. Bila kita menganggap
kehidupan kita menjemukan mungkin saja kita telah mencegah tercapainya
kebutuhan kita akan self-actualization.
Teoritikus
humanistik juga berfokus pada hilangnya self-esteem
yang dapat muncul saat orang kehilangan teman atau anggota keluarga, atupun
mengalami kemunduran atau kehilangan dalam pekerjaan. Kita cenderung
menghubungkan identitas personal dan rasa self-worth
kita dengan peran-oeran social kita sebagai orangtua, pasangan, pelajar, atau
pekerja. Bila identitas peran ini hilang, melalui kematian seorang pasangan,
perginya anak-anak untuk kuliah, atau hilangnya suatu pekerjaan, sense of purpose dan self-worth kita dapat terguncang.
Depresi adalah konsekuensi yang sering terjadi dari kehilangan yang seperti
itu. Terutama jika kita mendasarkan self-esteem
kita pada peran pekerjaan atau kesuksesan. Kehilangan pekerjaan, turunnya
pangkat, atau kegagalan untuk mencapai suatu promosi adalah pemicu yang biasa
dari depresi, terutama bila kita dibesarkan untuk menilai diri kita sendiri
berdasarkan kesuksesan pekerjaan.
Teori
Belajar
1. Reinforcement
dan Depresi
Peter Lewinsohn
(1974), seorang teoritikus belajar menyatakan bahwa depresi dihasilkan dari
ketidakseimbangan antara output perilaku
dan input reinforcement yang berasal
dari lingkungan. Kurangnya reinforcement untuk
usaha seseorang dapat menurunkan motivasi dan menyebabkan perasaan depresi.
Ketidakaktifan dan penarikan diri dari lingkungan social menghilangkan
kesempatan untuk mendapatkan reinforcement;
dan reinforcement yang berkurang akan
memperburuk penarikan diri. Tingkat aktivitas yang rendah yang menjadi cirri
depresi juga dapat menjadi sumber dari hasil sekunder atau reinforcement sekunder. Anggota keluarga dan orang lain dapat
bergantian berada di sekitar orang yang menderita depresi dan membebaskan
mereka dari tanggung jawab. Bukannya membantu orang yang berjuang dengan
depresi untuk mendapatkan kembali tingkat perilaku produktif yang normal,
simpati justru dapat merugikan dan mempertahankan perilaku depresi.
Reinforcement
sosial
dapat hilang saat orang yang dekat dengan kita, yang menjadi pemberi reinforcement, meninggal atau
meninggalkan kita. Orang yang menderita kehilangan social lebih cenderung untuk
menjadi depresi bila mereka kurang memilki keterampilan social dalam membentuk
hubungan baru. Namun, adalah mungkin bahwa depresi cenderung menyebabkan dan
bukan disebabkan oleh suatu pengurangan reinforcement
(J.M. Williams, 1984). Dengan kata lain, depresi dapat menyebabkan seseorang
menarik diri dari aktivitas yang memberikan reinforcement
sosial.
2. Teori
Interaksi
Teori
interaksional, dikembangkan oleh psikolog James Coyne (1976), menyatakan bahwa
penyesuaian pada kehidupan bersama dengan orang yang depresi dapat sangat
menekan hingga semakin lama reinforcement
yang diberikan pasangan atau anggota keluarga kepada orang yang depresi
tersebut menjadi semakin berkurang.
Teori interaksi
didasarkan pada konsep interaksi timbal balik. Perilaku seseorang mempengaruhi,
dan sebaliknya dipengaruhi oleh perilaku orang lain. Teori ini meyakini bahwa
orang yang mudah depresi bereaksi terhadap stress dengan menuntut diberi
keyakinan dan dukungan sosial yang lebih besar. Awalnya, orang yang menjadi
depresi dapat sukses dalam mengumpulkan dukungan. Namun setelah beberapa waktu,
tuntutan dan perilaku mereka mulai menimbulkan kemarahan dan kejengkelan. Meski
orang tercinta mereka dapat menyimpan perasaan negatifnya untuk diri sendiri,
agar tidak membuat orang yang depresi menjadi lebih kesal, perasaan-perasaan
ini dapat muncul ke permukaan dalam cara halus yang menyatakan penolakan. Orang
yang depresi dapat bereaksi terhadap penolakan dengan depresi yang lebih dalam
dan tuntutan yang lebih tinggi, memicu penolakan yang lebih lanjut dan depresi
yang lebih parah. Mereka juga dapat merasa bersalah karena membuat anggota
keluarga lain tertekan, yang dapat memperburuk perasaan negative mereka tentang
diri sendiri.
Teori
Kognitif
Teori
Kognitif dari Aaron Beck
Psikiater Aaron
Beck menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berpikir yang
bias atau terdistorsi secara negative di awal kehidupan—segi tiga kognitif dari depresi
(cognitive
triad of depression):
Segi
Tiga Kognitif dari Depresi
|
|
Pandangan Negatif tentang Diri
Sendiri
|
Memandang diri sendiri sebagai tidak
berharga, penuh kekurangan, tidak adekuat, tidak dapat dicintai, dan sebagai
kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan.
|
Pandangan Negatif tentang Lingkungan
|
Memandang lingkungan sebagai memaksakan
tuntutan yang berlebihan dan/atau memberikan hambatan yang tidak mungkin
diatasi, yang terus-menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan.
|
Pandangan Negatif tentang Masa Depan
|
Memandang masa depan sebagai tidak ada
harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk mengubah
hal-hal menjadi lebih baik. Harapan orang ini terhadap masa depan hanyalah
kegagalan dan kesedihan yang berlanjut serta kesulitan yang tidak pernah
usai.
|
Teori kognitif
meyakini bahwa orang yang mengadopsi cara berpikir yang negatif ini memiliki
resiko yang lebih besar untuk menjadi depresi bila dihadapkan pada pengalaman
hidup yang menekan atau mengecewakan, seperti mendapat nilai buruk atau
kehilangan pekerjaan.
Beck memandang
konsep-konsep negatif mengenai self dan
dunia ini sebagai cetakan mental atau skema-skema
kognitif yang diadopsi saat masa kanak-kanak atas dasar
pengalaman-pengalaman belajar di masa awal.
Kecenderungan
untuk membesar-besarkan pentingnya kegagalan kecil adalah sebuah contoh dari
suatu kesalahan berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif. Distorsi
kognitif membentuk tahapan-tahapan untuk depresi di saat menghadapi kehilangan
personal atau peristiwa hidup yang negatif. David Burns (1980) menyusun
sejumlah distorsi kognitif yang diasosiasikan dengan depresi:
1. Cara berpikir All-or-Nothing Thinking. Memandang
kejadian-kejadian sebagai hitam dan putih, sebagai “semua tentangnya baik” atau
“semua tentangnya buruk”. Misalnya, seseorang dapat memandang sebuah hubungan
yang berakhir dengan kekecewaan sebagai pengalaman yang benar-benar negative,
terlepas dari perasaan atau pengalaman positif apa pun yang mungkin ada
sepanjang hubungan tersebut.
2. Generalisasi yang Berlebihan.
Mempercayai bahwa bila suatu
peristiwa negatif terjadi, maka hal itu cenderung akan terjadi lagi pada
situasi yang serupa di masa depan. Misal, menerima sebuah surat penolakan dari
perusahaan yang potensial menyebabkan seseorang mengasumsikan bahwa semua
lamaran kerja lainnya juga akan ditolak.
3. Filter Mental.
Berfokus hanya pada detail-detail negative dari suatu peristiwa, dan dengan
sendirinya menolak unsur-unsur positif dari semua yang pernah dialami. Beck
menyebut distorsi kognitif ini sebagai selective
abstraction (abstraksi selektif), yang berarti individu secara selektif
mengambil detail detail negatif dari berbagai peristiwa dan mengabaikan
unsur-unsur positifnya. Misal, seseorang menerima suatu evaluasi pekerjaan yang
berisi komentar-komentar positif dan negatif namun berfokus hanya pada
negatifnya saja.
4. Mendiskualifikasikan Hal-hal
Positif. Mengacu pada kecenderungan untuk memilih kalah dari
kemenangan yang hampir terjadi dengan menetralisasi atau tidak mengakui
pencapaian-pencapaian anda.
5. Tergesa-gesa Membuat Kesimpulan.
Membentuk interpretasi negatif mengenai suatu peristiwa, meskipun kekurangan
bukti. Misal, menyimpulkan kekakuan sesaat yang terasa pada bahu pastilah
merupakan suatu tanda dari sakit jantung, mengabaikan kemungkinan akan penyebab
yang lebih ringan.
6. Membesar-besarkan dan Mengecilkan.
Membesar-besarkan mengacu pada kecenderungan untuk membesar-besarkan pentingnya
peristiwa negatif, kekurangan pribadi, ketakutan, atau kesalahan. Mengecilkan
adalah memandang rendah kebaikan-kebaikan.
7. Penalaran Emosional.
Mendasarkan penalaran pada emosi dan bukan pada pertimbangan-pertimbangan yang
adil terhadap bukti.
8. Pernyataan-pernyataan Keharusan. Menciptakan
perintah personal atau self-commandments.
9. Memberi Label dan Salah Melabel.
Menjelaskan perilaku dengan melekatkan label negatif pada diri sendiri dan
orang lain.
10. Melakukan Personalisasi.
Mengacu pada kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa diri anda bertanggung
jawab atas masalah dan perilaku orang lain.
Pemikiran
yang terdistorsi cenderung dialami secara otomatis, seolah-olah pikiran-pikiran
itu muncul begitu saja di kepala seseorang. Automatic
Thoughts (pikiran-pikiran otomatis) ini cenderung diterima sebagai
pernyataan akan fakta dan bukan sebagai pendapat atau suatu kebiasaan dalam
menginterpretasikan peristiwa-peristiwa.
Beck dan koleganya memformulasikan Cognitive-specificity hypothesis (hipotesis
spesifikasi kognitif), dimana ia menyatakan bahwa gangguan-gangguan yang
berbeda, gangguan kecemasan dan gangguan depresi khususnya, ditandai oleh tipe
pikiran=pikiran otomatis yang berbeda.
Teori Ketidakberdayaan (Atribusional) yang dipelajari
Model
learned helplessness mengajukan
pandangan bahwa orang dapat menjadi depresi karena ia belajar untuk memandang
dirinya sendiri sebagai tidak berdaya dalam mengontrol reinforcement-reinforcement di lingkungannya atau untuk mengubah
kehidupannya menjadi lebih baik. Orang pertama yang menyusun konsep
ketidakberdayaan yang dipelajari Martin Seligman (1973, 1975) mengubah teori
ketidakberdayaan dalam kerangka psikologi sosial atas attributional styke (gaya atribusional). Gaya atribusional adalah
suatu gaya personal dalam menjelaskan sesuatu.
Saat
kekecewaan atau kegagalan muncul, kita mungkin menjelaskannya dalam berbagai
cara yang memiliki berbagai karakteristik. Kita dapat menyalahkan diri kita
sendiri (atribusi internal), atau
kita dapat menyalahkan situasi yang kita hadapi (atribusi eksternal). Kita dapat melihat pengalaman buruk sebagai
kejadian-kejadian yang melekat dengan karakteristik kepribadian (atribusi stabil) atau sebagai peristiwa
yang terpisah (atribusi tidak stabil).
Kita dapat melihatnya sebagai bukti dari masalah yang lebih luas (atribusi global) atau sebagai suatu
bukti dari kelemahan tertentu yang terbatas (atribusi spesifik).
Tiga
tipe atribusi yang paling rentan terhadap depresi:
1. Faktor-faktor
internal, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan ketidakmampuan pribadi,
dan bukan faktor-faktor eksternal, atau keyakinan bahwa kegagalan disebabkan
oleh faktor-faktor lingkungan.
2. Faktor-faktor
global, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan seluruh kesalahan dalam
kepribadian dan bukan factor-faktor spesifik, atau keyakinan bahwa kegagalan
merefleksikan area yang terbatas dari kemampuan berfungsi.
3. Faktor-faktor
stabil, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan factor kepribadian yang
menetap dan bukan faktor-faktor yang tidak stabil, atau keyakinan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dapatlah diubah.
c. Gabungan
Berbagai Pandangan
Depresi dan
gangguan mood lain melibatkan berbagai factor yang saling mempengaruhi.
Konsisten dengan model diathesis-stres,
depresi dapat merefleksikan interaksi antara faktor-faktor biologis, factor
psikologis, serta stressor social dan lingkungan.
Peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan, seperti lama menganggur atau perceraian, dapat
memilii efek yang menekan dengan menurunkan aktivitas neurotransmitter dalam
otak. Efek biokimia ini lebih cenderung terjadi atau lebih pasti pada orang
dengan suatu predisposisi genetis tertentu atau diathesis untuk depresi. Namun, suatu gangguan depresi mungkin
tidak akan berkembang, atau dapat
berkembang dalam bentuk yang lebih ringan, pada orang yang memiliki
sumber-sumber daya coping yang lebih
efektif untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan. Contohnya orang yang
menerima dukungan emosional dari orang lain mungkin lebih mampu untuk
menghadapi efek-efek dari stress daripada mereka yang harus menghadapinya
sendiri. Begitu pula dengan otang yang mengusahakan coping yang aktif untuk menyelesaikan tantangan yang mereka hadapi
dalam hidup.
Faktor-faktor
sosiokultural dapat menjadi sumber-sumber utama stress yang mempengaruhi
pengembangan gangguan mood. Faktor-faktor ini melibatkan kemiskinan; kepadatan;
pemaparan terhadap rasisme, diskriminasi gender, dan prasangka; kekerasan dalam
rumah atau dalam komunitas; beban stress yang tidak setara yang ditimpakan pada
wanita; dan perpecahan keluarga. Faktor-faktor ini jelas terlibat baik dalam
memicu gangguan mood atau menjadi penyebab dari kambuhnya gangguan tersebut.


![]() |
|||
![]() |
|||


Diatesis
untuk depresi dapat berbentuk kerentanan psikologis yang melibatkan suatu gaya
berpikir yang cenderung depresi, yang ditandai oleh kecenderungan untuk
membesar-besarkan konsekuensi dari peristiwa negatif, menumpuk kesalahan pada
diri sendiri, dan mempersepsikan diri sendiri sebagai tak berdaya untuk
menerima dampak perubahan yang positif. Diatesis kognitif ini dapat
meningkatkan risiko depresi bila dihadapkan pada peristiwa-peristiwa hidup yang
negatif. Pengaruh kognitif ini juga dapat berinteraksi dengan suatu diathesis
yang berbasis genetis untuk meningkatkan resiko depresi secara lebih lanjut
setelah terjadinya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan. Tersedianya dukungan
sosial dari orang lain dapat membantu meningkatkan resistansi seseorang terhadap
stress selama masa-masa sulit. Orang dengan keterampilan social lebih efektif
dapat lebih mampu mengumpulkan dan mempertahankan reinforcement sosial dari orang lain sehingga lebih mampu untuk
bertahan terhadap depresi daripada orang yang kurang memiliki keterampilan
social. Namun perubahan biokimia dalam otak dapat mempersulit seseorang untuk
mengatasi masalah secara efektif dan bangkit kembali dari peristiwa hidup yang
penuh tekanan. Perubahan biokimia dan perasaan depresi yang terus terjadi akan
memperburuk perasaan tidak berdaya, dikombinasikan dengan efek dari stressor
awal dan seterusnya.
Perbedaan
yang terkait dengan gender dalam gaya coping
juga dapat ikut berperan. Pria dan wanita dapat berespons secara berbeda
terhadap perasaan depresi. Menurut Nolen-Hoeksema, wanita lebih cenderung untuk
merenung saat menghadapi masalah emosional, dan pria lebih cenderung untuk
mencari pelarian dalam sebuah botol (minuman keras). Perbedaan-perbedaan ini
atau yang lainnya dalam gaya coping dapat
mendorong wanita kepada periode depresi yang lebih panjang dan lebih parah
sementara pada pria dapat membentuk tahap-tahap dari perkembangan masalah yang
terkait dengan minuman keras.
Pengobatan untuk Depresi
Secara
umum, pengobatan untuk depresi meliputi:
1. Obat-obatan
Obat
yang digunakan untuk mengobati depresi disebut antidepresan. Jenis-jenis
antidepresan meliputi:
- Selective Serotonin Re-uptake Inhibitors (SSRIs), termasuk Fluoxetine (Prozac), Sertraline (Zoloft), Paroxetine (Paxil), Fluvoxamine (Luvox), Citalopram (Celexa), dan Escitalopram (Lexapro).
- Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs), termasuk Desvenlafaxine (Pristiq), Venlafaxine (Effexor), dan Duloxetine (Cymbalta).
Obat-obatan
lain digunakan untuk mengobati depresi meliputi:
- Tricyclic Antidepresan
- Bupropion (Wellbutrin)
- Monoamine oxidase inhibitors \
2. Terapi
bicara
Terapi bicara adalah konseling untuk berbicara tentang
perasaan dan pikiran Anda, dan membantu Anda belajar bagaimana untuk menangani
mereka.
Jenis
terapi bicara meliputi:
- Cognitive behavioral therapy yang mengajarkan bagaimana
untuk melawan pikiran negatif. Pasien akan belajar bagaimana untuk menjadi
lebih sadar pada gejala dan bagaimana untuk menemukan hal-hal yang membuat
depresi menjadi lebih parah. Pasien juga akan diajarkan keterampilan
pemecahan masalah.
- Psychotherapy yang dapat membantu pasien memahami isu-isu yang
mungkin berada di balik pikiran dan perasaan pasien.
- Bergabung
dengan kelompok pendukung dari orang-orang yang berbagi masalah seperti pasien
juga dapat membantu.
3.
Electroconvulsive therapy (ECT) adalah pengobatan yang paling
efektif untuk depresi berat dan umumnya aman. ECT dapat meningkatkan mood pada
orang-orang dengan depresi berat atau pikiran bunuh diri yang tidak mendapatkan
yang lebih baik dengan perawatan lainnya. Hal ini juga dapat membantu mengobati
depresi pada mereka yang memiliki gejala psikotik.
- Transcranial magnetic stimulation (TMS) menggunakan pulsa energi
untuk merangsang sel-sel saraf di otak yang dipercaya mempengaruhi suasana
hati. Ada beberapa penelitian menyarankan bahwa hal itu dapat membantu
meringankan depresi.
- Terapi cahaya dapat meredakan
gejala depresi pada waktu musim dingin. Namun, biasanya tidak dianggap
sebagai pengobatan pada lini pertama.
Prevensi
Untuk pencegahan dapat dilakukan dengan tidak meminum alkohol
atau menggunakan obat-obatan terlarang. Zat ini dapat membuat depresi lebih
buruk dan dapat menyebabkan pikiran bunuh diri.
Selain itu, minum obat seperti yang diinstruksikan dokter.
Tanyakan kepada dokter tentang efek samping yang mungkin dan apa yang harus dilakukan
jika timbul efek samping. Kita harus belajar untuk mengenali tanda-tanda awal
bahwa depresi semakin buruk.
Ada
beberapa cara untuk membantu agar merasa lebih baik:
1.
Mendapatkan
lebih banyak latihan
2.
Mempertahankan
kebiasaan tidur yang baik
3.
Cari
kegiatan yang membawa pada kesenangan
4.
Caria
tau terlibat dalam kegiatan kelompok
5.
Berbicara
pada seseorang yang tahu bagaimana perasaan kita
6.
Coba
untuk berada di sekitar orang-orang yang peduli dan positif
Contoh Kasus
Seorang
pegawai administrasi perempuan, berusia 38 tahun, telah menerima depresi
singkat yang muncul berulang kali sejak ia berusia 13 tahun. Terakhir, ia
merasa terganggu oleh serangan menangis di tempat kerjanya, terkadang muncul
secara sangat tiba-tiba sehingga ia tidak punya cukup waktu untuk lari ke
toilet wanita demi menyembunyikan tangisnya dari orang lain. Ia mengalami
kesulitan untuk berkonsentrasi saat bekerja dan merasa kurang mendapat kepuasan
dari pekerjaan yang sebelumnya sangan ia nikmati. Ia menyimpan perasaan pesimistis
dan rasa marah yang parah, yang akhir-akhir ini telah menjadi semakin parah
karena berat badannya bertambah dan ia mengabaikan perawatan terhadap diabetes
yang diidapnya. Ia merasa bersalah terhadap kemungkinan bahwa ia sedang
membunuh dirinya sendiri secara perlahan-lahan dengan tidak menjaga
kesehatannya secara lebih baik. Ia
terkadang merasa pantas untuk mati. Ia merasa terganggu oleh rasa kantuk yang
berlebihan selama satu setengah tahun terakhir ini, dan surat izin mengemudinya
telah ditahan karena kecelakaan bulan kemarin di mana ia tertidur saat
menyetir, yang menyebabkan mobilnya menabrak kotak telepon umum. Hampir tiap
pagi ia bangun dengan rasa pusing dan merasa “tidak bersemangat”, serta tetap
mengantuk sepanjang hari. Ia tidak pernah memiliki pacar tetap, dan hidup
tenteram dengan ibunya, tanpa adanya teman dekat di luar keluarganya. Selama
wawancara, ia berulang kali menangis dan menjawab pertanyaan dengan nada suara
yang lambat, sambil terus-menerus melihat ke bawah.
Diadaptasi dari
Spitzer dkk., 1989, hal 59-62.
(dalam buku Abnormal Psychology in a Changing World)
Contoh Film
Judul Film:
Ordinary People
Pemain: Donald Sutherland, Mary Tyler Moore, Timothy Hutton, Judd
Hirsch, Elizabeth McGovern
Resume:
Film ini
mengisahkan tentang keluarga kecil yang mengalami bencana, yakni kematian anak
tertua mereka. Cerita dimulai dengan gambaran Conrad Jarret (Timothy Hutton),
sosok pemuda tampan namun terlihat kaku dan tidak tenang. Ia seperti kehilangan
sisi afeksinya ketika berhadapan dengan orang lain seperti keluarga dan
teman-temannya. Belakangan diketahui bahwa hal ini timbul dari rasa
penyesalannya terhadap kematian sang kakak yang terjadi di depan matanya.
Adegan demi
adegan memberi gambaran kepada penonton bahwa ketiga sosok utama film ini; Ayah
(Donald Sutherland), Ibu (Mary Tyler Moore), serta Conrad Jarret adalah tipe
keluarga yang terlihat baik-baik di luar namun sebetulnya telah kehilangan
kemampuan untuk menjalin komunikasi yang intens di antara mereka.
Film ini dengan
sangat baik mengisahkan impotensi komunikasi di antara mereka dengan
adegan-adegan yang wajar, padat dan efektif. Pada awalnya kita akan
bertanya-tanya, apa yang sebetulnya terjadi dengan orang-orang ini? Jawaban
baru kita dapatkan ketika terjadi interaksi antara Conrad dengan psikiaternya.
Dan ironisnya, dari sinilah puncak konflik justru muncul, yakni antara Conrad
dengan ibunya yang dianggap sudah tak mampu lagi memberikan rasa sayang kepada
seisi keluarga sejak kematian anak pertama.
Konflik ini
terus membesar dengan terlibatnya sang ayah yang dilanda kebingungan. Pada satu
sisi ia mengakui bahwa apa yang dirasakan Conrad memang betul, dan itu pun
menimpa dirinya, namun di sisi lain ia tak bisa sepenuhnya memihak anaknya,
demi menyelamatkan keluarga.
Sumber:
Carson, Robert
C., Butcher, James N. 1992. Abnormal
Psychology and Modern Life, Ninth Edition. New York: Harper Collins
Publisher.
Davidson, Gerald
C., Neal, Jhon M., Kring, Ann M. Abnormal
Psychology, Ninth Edition.
Getzfeld, Andrew
R. 2004. Abnormal Psychology Casebook: A
New Perspective. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Nevid, Jeffrey
S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. 2003. Abnormal Psychology in a Changing World, Fifth Edition. New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Nama: Laila
Wudirahmani
NPM: 10050009132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar