A.
Pengertian
Gangguan kepribadian narsistik adalah
gangguan yang melibatkan pola pervasive dari grandiosities dalam fantasi atau
perilaku serta membutuhkan pujian dan kurang memiliki empati.
Orang-orang yang menilai “tinggi”
dirinya sendiri, bahkan melebih-lebihkan kemampuan riil
mereka dan menganggap dirinya berbeda dengan orang lain, serta pantas menerima
perlakuan khusus, merupakan perilaku yang sangat ekstrem. Individu dengan
kelainan kepribadian narsistik menunjukkan sebuah perasaan yang
dilebih-lebihkan akan kepentingan pribadi, keasyikan dengan menjadi yang
dikagumi dan kurangnya empati tehadap perasaan orang lain (Ronningstan, 1999;
Widiger & Bornstein, 2001). Ini bahwa
hal yang penting dan dulu menggunakan standar diagnosa secara luas untuk
mendiagnosa pasien narsistik, grandiositi dinyatakan oleh kecenderungan yang
kuat untuk menaksir terlalu tinggi kemampuan mereka dan prestasi, sementara
menaksir rendah kemampuan dan prestasi orang lain. Perasaan mereka akan
pemberian gelar atau judul sering kali menjadi sebuah sumber keheranan terhadap
orang lain, walaupun diri mereka sendiri terlihat menghargai pengharapan
berlebihan mereka sebagai selalu apa yang mereka pantas dapatkan. Mereka
berperilaku dalam cara-cara meniru (sebagai contoh, dengan acuan diri yang
konstan dan membual) untuk memperoleh tuntutan dan pengakuan yang sangat mereka
harapkan. Karena mereka percaya bahwa mereka sangat spesial, mereka sering berpikir
mereka hanya akan dimengerti hanya dengan orang yang berstatus tinggi atau
seharusnya berteman dengan orang–orang yang seperti itu. Akhirnya, perasaan
mereka akan pemberian gelar atau judul juga duhubungkan dengan keengganan
memaafkan orang lain karena merasa diremehkan, dan mereka akan dengan mudah
membalas dendam (Exline, Baumeister, et al., 2004).
Kebanyakan peneliti dan dokter percaya
bahwa orang-orang dengan kelainan kepribadian narsistik mempunyai perasaan akan
harga diri yang tidak stabil dan rapuh dibawah semua grandiositi mereka
(Widiger & Bornstein, 2001). Ini mungkin menjadi alasan mengapa mereka
sering mengasyikan diri dengan apa yang orang pikirkan dan mengapa mereka
sangat asyik dengan khayalan akan penghargaan yang mengagumkan. Kebutuhan mereka
yang hebat akan kekaguman mungkin membantu mengatur dan melindungi perasaan
akan harga diri mereka yang rapuh.
Kepribadian narsistik berbagi ciri
khusus yang lain dari enggan atau tidak bisa menerima sudut pandang orang lain,
untuk melihat lebih dari apa yang mereka lihat dengan mata mereka sendiri.
Selain itu, jika mereka tidak menerima pengesahan atau bantuan dari apa yang
mereka inginkan, mereka cenderung menjadi sangat suka mengkritik dan menuntut
pembalasan (Rasmussen, 2005). Memang, sebuah studi tentang murid laki-laki
dengan tingkat ciri-ciri narsistik yang tinggi menunjukkan bahwa mereka
mempunyai kecenderungan yang lebih kuat ke arah kekerasan seksual ketika mereka
ditolak oleh target hasrat seksual mereka ketimbang laki-laki dengan tingkat ciri-ciri
narsistik yang lebih rendah (Bushman et al., 2003).
Dari 5 model faktor sudut pandang,
individu dengan kelainan kepribadian narsistik digolongkan menurut rendahnya
persetujuan/ tingginya antagonisme atau permusuhan (yang memasukan ciri-ciri
dari kesederhanaan, keangkuhan, dan keunggulan), rendahnya altruisme atau sifat
lebih mementingkan kepentingan orang lain (mengharapkan perawatan yang
menguntungkan dan memanfaatkan yang lain), dan berpikiran kuat (kurangnya
empati). Mereka juga menunjukan tingkat kecenderungan khayalan yang tinggi
(keterbukaan untuk mengalami) dan tingkat marah-permusuhan dan kesadaran diri
yang tinggi (Widiger, Trull, et al., 2002)
B.
Gejala
·
Membutuhkan pujian dan kekaguman berlebihan
·
Mengambil keuntungan dari orang lain
·
Merasa diri paling penting
·
Enggan atau tidak bisa menerima sudut pandang orang lain
·
Kurangnya empati
·
Berbohong, pada diri sendiri dan orang lain
·
Terobsesi dengan fantasi ketenaran, kekuasaan, atau
kecantikan
C.
Faktor Penyebab
Faktor Penyebab berdasarkan Teori-teori
Ahli Psikologi
Beberapa penulis, termasuk Kohut (1971,
1977), percaya bahwa gangguan kepribadian narsistik muncul dari kegagalan
meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak. Akibatnya, anak
tetap terfiksasi di tahap perkembangan grandiose. Selain itu, anak (dan kelak
setelah dewasa) menjadi terlibat dalam pencarian, yang tak berkunjung dan tanpa
hasil, figur ideal yang dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan empatinya, yang
tak pernah terpenuhi.
Banyak teori yang berbeda tentang faktor
kebetulan yang terkait di dalam perkembangan penyakit kepribadian narsistik
telah dikemukakan, dan masing-masing mempunyai penyokong yang kuat. Di sisi
yang lain, ahli teori psikodinamik yang berpengaruh seperti Heinz Kohut setuju
bahwa semua anak yang melewati fase primitif grandiositi selama apa yang mereka
pikirkan tentang semua kejadian dan kebutuhan berputar di sekeliling mereka.
Untuk perkembangan normal diluar fase yang terjadi, menurut pandangan ini,
orang tua harus melakukan suatu pencerminan terhadap anak. Ini membantu anak
mengembangkan tingkat kepercayaan diri yang normal dan perasaan harga diri guna
menopang di kehidupan mereka, ketika realita hidup mereka diumbar untuk
membesarkan. Kohut dan Kernberg (1978) mengemukakan lebih jauh bahwa kelainan
kepribadian narsistik lebih mungkin berkembang jika orang tua lalai,
menghilangkan nilai, atau tidak berempati kepada anak; individu ini akan terus
menerus mencari penegasan dari sebuah pengidealan dan perasaan megah terhadap
diri. Walaupun teori ini telah menjadi sangat berpengaruh di antara
dokter-dokter klinik psikodinamik, sayangnya ini mempunyai sedikit dukungan
empiris.
Dari sebuah
pendirian teoritis yang sangat berbeda, Theodore Millon mempunyai argument yang
sangat berbeda. Dia percaya bahwa kelainan kepribadian narsistik datang dari
penilaian berlebihan orang tua yang tidak realistis (Millon & Davis, 1995;
Widiger & Bornstein, 2001). Seperti contoh, dia telah mengemukakan bahwa
“orang tua memanjakan dan menurutkan permintaan anak-anaknya dalam cara
mendidik mereka bahwa keinginan mereka adalah sebuah perintah, bahwa mereka
dapat menerima tanpa harus mengembalikannya, dan bahwa mereka pantas menjadi
seseorang yang menonjol bahkan tanpa
perjuangan yang minim” (Millo, 1981, p.175; dari Widiger & Trull, 1993).
Ahli teori itu dari dua tradisi yang berbeda (psikodinamik dan pelajaran
sosial) dapat menjadi semacam kesimpulan yang berlawanan yang mengilustrasikan
kekurangan saat ini dari pengetahuan empiris mengenai bagian terdahulu dari
kelainan semacam ini.
D.
Kriteria Diagnostik
Penderita gangguan kepribadian narsistik
memiliki perasaan yang tidak masuk akal bahwa dirinya orang penting dan sangat
terokupasi dengan dirinya sendiri sehingga mereka tidak memiliki sensivitas dan
tidak memiliki perasaan iba terhadap orang lain (Gunderson, Ronningstam, dan
Smith, 1995). Mereka membutuhkan dan mengharapkan perhatian khusus. Mereka juga
cenderung memanfaatkan dan mengeksploitasi orang lain bagi kepentingannya
sendiri serta hanya sedikit menunjukkan sedikit empati. Ketika dihadapkan pada
orang lain yang sukses, mereka bisa merasa sangat iri hati dan arogan. Dan
karena mereka sering tidak mampu mewujudakan harapan-harapannya sendiri, mereka
sering merasa depresi.
Gangguan kepribadian Narcissistic dicirikan oleh keterpusatan
diri. Mereka membesar-besarkan prestasi mereka, mengharapkan orang lain untuk
mengakui mereka sebagai superior. Mereka cenderung teman, karena mereka percaya
bahwa tidak sembarang orang yang layak menjadi teman mereka. Narsisis cenderung
membuat kesan pertama yang baik, namun mengalami kesulitan menjaga hubungan
jangka panjang. Mereka umumnya tidak tertarik pada perasaan orang lain dan
dapat mengambil keuntungan dari mereka.
Menurut DSM IV-TR, kriteria gangguan
kepribadian narsistik yaitu, pandangan yang dibesar-besarkan mengenai
pentingnya diri sendiri, arogansi, terfokus pada keberhasilan, kecerdasan,
kecantikan diri, kebutuhan ekstrem untuk dipuja, perasaan kuat bahwa mereka
berhak mendapatkan segala sesuatu, kecenderungan memanfaatkan orang lain, dan
iri kepada orang lain.
E.
Kriteria
Kepribadian Narsistik Menurut DSM-IV
Sebuah pola dari khayalan dan perilaku, diantaranya kebutuhan
untuk kekaguman, dan kurangnya empati, seperti yang diindikasikan oleh minimal
5 dari yang dibawah ini:
1.
Perasaan megah akan kepentingan pribadi
2.
Keasyikan dengan khayalan akan keberhasilan, kekuatan,
kecemerlangan, atau kecantikan yang tidak terbatas.
3.
Kepercayaan bahwa dia itu spesial dan unik.
4.
Kebutuhan akan kekaguman yang berlebihan.
5.
Perasaan akan pemberian judul.
6.
Kecenderungan menjadi meledak-ledak antar individu.
7.
Kekurangan empati.
8.
Sering cemburu terhadap orang lain atau percaya bahwa orang
lain itu pun cemburu terhadapnya.
9.
Menunjukkan keangkuhan, perilaku atau sikap yang sombong.
Menurut DSM-IV-TR, kelainan kepribadian
narsistik mungkin bisa lebih sering diobservasi pada pria daripada wanita (APA,
2000; Golomb et al., 1995), walaupun tidak semua studi menunjukan ini.
Dibandingkan dengan beberapa kelainan kepribadian lainnya, ini menjadi relatif jarang dan
ditaksir tetap terjaga sekitar 1 persen dari populasi.
F.
Gangguan Kepribadian Narsistik menurut
Berbagai Perspektif
a.
Psikososial
Psikodinamik.Para psikoanalis, termasuk Freud, menggunakan istilah narcissistik untuk
mendeskripsikan orang-orang yang menunjukkan bahwa dirinya orang penting secara
berlebih-lebihan dan yang terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian
(Cooper dan Ronningstam, 1992). Dimana fase yang dilalui semua anak sebelum
menyalurkan cinta mereka dari diri mereka sendiri kepada significant person, sehingga anak terfiksasi pada fase
narsistik. Akibat memiliki orangtua yang
selalu menuruti anak dan menanamkan rasa bangga atas kemampuan diri dan harga
diri mereka, atau anak tidak percaya terhadap pengasuh dan memutuskan bahwa
mereka hanya dapat bersandar pada diri sendiri.
Behaviorisik. Narsistik merupakan
reaksi asumsi untuk menghadapi masalah-masalah self-worth yang tidak realistik sebagai hasil dari penurutan dan
evaluai yang berlebihan dari orang-orang yang signifikan. Serta sebagai hasil
dari unrealistic-overevaluation orangtua terhadap anak.
b.
Sosiokultural
Faktor-faktor kultur sosial yang
berkontribusi terhadap kelainan kepribadian tidak dimengerti dengan baik.
Sebagaimana bentuk-bentuk lain dari ilmu psikologi, timbulnya dan sebagian
fitur dari kelainan kepribadian merubah sedikit banyak dengan waktu dan tempat,
walaupun sebanyak yang seseorang mungkin pikirkan (Allik, 2005). Sesungguhnya
ada sedikit perbedaan lintas budaya daripada di dalam budaya. Ini mungkin
berhubungan dalam penemuan yang semua kebudayaan (keduanya Barat dan non-Barat,
termasuk Afrika dan Asia) berbagi 5 ciri-ciri dasar kepribadian yang sama, dan
pola variasi mereka juga terlihat mendunia.
Beberapa
peneliti percaya bahwa beberapa kelainan kepribadian tertentu telah meningkat
di masyarakat Amerika beberapa tahun terakhir (misalnya, Paris, 2001). Jika
tuntutan ini benar, kita dapat berharap menemukan peningkatan perhubungan untuk
mengubah kebutuhan dan aktifitas kebudayaan kita yang umum. Apakah penekanan
kita terhadap dorongan kepuasan, solusi sekejap, dan keuntungan bebas sakit
membawa lebih banyak orang untuk mengembangkan gaya hidup yang berpusat pada
diri sendiri yang kita lihat dalam bentuk yang lebih ekstrim dalam kelainan
kepribadian? Contohnya, ada beberapa bukti bahwa kelainan kepribadian narsistik
yang lebih umum di budaya Barat dimana ambisi pribadi dan kesuksesan mendukung
dan memperkuat (misalnya, Widiger & Bornstein, 2001).
Ini juga
telah diketahui meningkat lebih dari 60 tahun sejak Perang Dunia II dalam emosional dysregulation (misalnya,
depresi, dan bunuh diri) dan perilaku sesuai kata hati (penyalahgunaan dasar
dan perilaku kriminal) mungkin berhubungan dengan meningkatkan dalam garis
batas dan kelainan kepribadian diatas periode waktu yang sama. Ini dapat
berakar dari perusakan yang meningkat terhadap keluarga dan struktur sosial
yang tradisional lainnya (Paris, 2001).
G.
Penanganan dan Hasilnya
Gangguan kepribadian narsistik secara
umum sulit untuk dirawat, pada sebagian karena mereka adalah, menurut definisi,
relatif kronis, dapat meresap, dan pola perilaku dan pengalaman di dalam diri
yang tidak dapat diubah. Lebih jauh lagi, banyak tujuan dari perawatan yang
berbeda dapat dirumuskan, dan beberapa lebih sulit untuk dicapai dari yang
lainnya. Tujuan mungkin termasuk keadaan sulit subjektif, mengubah perilaku dysfunctional yang spesifik, dan
mengubah keseluruhan pola perilaku atau keseluruhan struktur kepribadian.
Pada banyak
kasus, orang dengan kelainan kepribadian mengikuti perawatan hanya oleh desakan
seseorang, dan mereka sering tidak percaya bahwa mereka harus berubah.
Selanjutnya, mereka yang berasal dari Kelompok A yang aneh/eksentrik dan
Kelompok B yang tidak teratur/dramatis mempunyai perbedaan-perbedaan yang umum
dalam pembentukan dan memelihara hubungan baik, termasuk dengan seorang ahli
terapi. Bagi mereka yang berasal dari Kelompok B yang tidak teratur/dramatis,
pola dari tindakan, khas dalam hubungan mereka yang lainnya, dibawa ke dalam
situasi terapi, dan daripada berhadapan dengan masalah mereka di tingkat verbal,
mereka mungkin akan menjadi marah pada ahli terapi dan mengacaukan sesi.
Sebagai
tambahan, orang yang mempunyai 2 kelainan baik di Axis I dan Axis II rata-rata, melakukan perawatan yang baik untuk
kelainan pada Axis I mereka sebagai pasien tanpa kelainan kepribadian). Ini
sebagian dikarenakan orang dengan kelainan kepribadian mempunyaiciri-ciri
kepribadian yang kaku dan berakar yang sering membawa kepada hubungan yang
mengandung unsur pengobatan yang memprihatinkan dan apalagi membuat mereka
bertahan melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan kondisi Axis I mereka.
H.
Jenis-jenis Terapi
a.
Terapi menurut Pendekatan Millon
Ada sebuah informasi yang berdasar
kepada penelitian kecil dalam merawat kelainan kepribadian sebagaimana adanya
informasi dalam bagaimana mereka berkembang. Ada, meskipun, sebuah kesusastraan
kasus klinis yang hidup dan berkembang dalam terapi-terapi untuk banyak
kelainan-kelainan kepribadian. Walaupun garis besar ide-ide berikut ini adalah
untuk bagian besar berdasarkan pada pengalaman-pengalaman klinis dari beberapa
professional kesehatan mental, dan tidak pada studi-studi tentang yang
berisikan pengawasan-pengawasan yang cocok, petunjuk pengobatan ini adalah
semua yang tersedia dalam memperlakukan kelainan kepribadian.
Sebuah perasaan
terhadap apa yang terkandung dalam literatur dapat dipahami dari beberapa ide
yang seterusnya ditanamkan oleh Millon (1981) dalam bukunya yang terkenal
secara luas tentang kelainan-kelainan kepribadian (Millon sebelumnya adalah
bagian dari tim DSM-III yang bekerja tentang kelainan-kelainan kepribadian).
Dia menganjurkan bahwa:
1. Terapi dengan
kepribadian-kepribadian yang tidak mandiri terfasilitasi oleh fakta bahwa
orang-orang ini mencari orang lain yang lebih kuat ada siapa mereka bergantung.
Oleh karena itu mereka rela dan mau menerima pasien-pasien. Bagaimanapun, ciri
seperti ini dapat membuat mereka terlalu terlalu bergantung pada ahli terapi
dan tidak suka membuat keputusan-keputusan mereka sendiri dan mengambil
tanggung jawab atas diri mereka sendiri. Millon menyarankan bahwa
pendeketan-pendekatan yang bersifat tidak langsung bekerja lebih baik daripada
yang bersifat perilaku karena mereka membantu perkembangan yang mandiri.
2. Kepribadian
narsistik tidak tetap dalam terapi untuk waktu yang lama, terlebih ketika
sumber-sumber kegelisahan diperiksa (sebagian besar ahli terapi, tanpa
menghiraukan orientasi teoritis, akan bersedia). Millon mengusulkan terapi
kognitif untuk membantu kepribadian narsistik belajar untuk berpikir ketimbang
untuk bertindak sesuai dorongan hati.
Bagaimanapun juga, ini penting untuk diperhatikan bahwa,
seperti orang lain yang menulis tentang tentang itu dan bekerja dengan
kelainan-kelainan kepribadian, Millon sangat berhati-hati tentang berharap
terlalu besar dari terapi ketika jarak dari masalah-masalah sangat lebar dan
mencakup semua.
b.
Teknik Penanganan Terapeutik
Teknik-teknik pengobatan harus sering
dimodifikasi. Contohnya, mengenali bahwa psikoterapi individu tradisional cenderung
untuk mendorong ketergantungan pada orang yang telah terlalu dependen, ini
sering bermanfaat untuk mengembangkan strategi perawatan secara khusus
bertujuan pada perubahan ciri-cirinya. Para pasien dari Kelompok C yang
gelisah/ketakutan, mungkin akan menjadi hipersensitif terhadap berbagai kritikan
yang mungkin mereka rasakan dari ahli terapi, jadi para ahli terapi harus
sangat berhati-hati dalam memastikan itu tidak terjadi.
Bagi orang
dengan beberapa kelainan kepribadian, terapi mungkin akan lebih efektif dalam
situasi dimana perilaku tindakan dapat dipaksakan. Contohnya, banyak pasien
dengan kelainan kepribadian di garis batas dirawat inap di rumah sakit beberapa
saat, untuk alasan keamanan, karena perilaku hampir bunuh diri mereka yang
sering. Bagaimanapun, sebagian program berobat ke rumah sakit terus meningkat
dalam penggunaan sebagai sebuah perawatan alternatif menengah dan tidak mahal
bagi pasien (Azim, 2001). Dalam program-program ini, pasien tinggal di rumah
dan menerima paket perawatan dan rehabilitasi yang lebih luas hanya saat
hari-hari kerja.
Teknik
pengobatan yang spesifik adalah bagian pusat dari pendekatan teori yang relatif
baru pada kelainan kepribadian yang mengasumsikan bahwa perasaan dan perilaku dysfunctional yang diasosiasikan dengan
kelainan kepribadian adalah hasil yang lebih luas dari skema-skema yang
cenderung memproduksi keputusan yang menyimpang secara konsisten, sebagaimana
kecenderungan untuk membuat teori yang salah (Beck, Freeman, & Associates,
1990; Beck et al., 2003; Cottraux & Blackburn, 2001). Mengubah skema-skema dysfunctionalyang mendasar ini sulit
tetapi berada di inti dari terapi kognitif untuk kelainan kepribadian, yang
menggunakan teknik-teknik kognitif standar dari memantau pikiran-pikiran
otomatis, menantang logika yang cacat, dan menugaskan tugas yang berhubungan
dengan perilaku dalam sebuah usaha untuk menantang kepercayaan pasien.
c.
Terapi Perilaku-Kognitif (Cognitive
Behavioral Therapy)
Treatment
research
sangat terbatas, baik dalam hal jumlah studi maupun laporan tentang
kesuksesannya (Groopman dan Cooper, 2001). Bila terapi dicobakan pada
individu-individu ini, terapi itu sering kali difokuskan pada grandiositas,
hipersensivitas terhadap evaluasi orang lain, dan kekurangan empati terhadap
orang lain (Beck dan Freeman, 1990). Terapi kognitif diarahkan pada usaha
mengganti fantasi mereka dengan focus pada pengalaman sehari-hari yang
menyenangkan, yang memang benar-benar dapat dicapai. Strategi coping seperti
latihan relaksasi digunakan untuk membantu mereka mengahadapi dan menerima
kritik. Membantu mereka untuk memfokuskan perasaannya terhadap orang lain juga
menjadi tujuannya. Karena penderita gangguan ini rentan mengalami
episode-episode depresif, terutama pada usia pertengahan, penanganan sering
dimulai untuk mengatasi depresinya. Tetapi, mustahil untuk menarik kesimpulan
tentang dampak penanganan semacam itu pada gangguan kepribadian narsistik yang
sesungguhnya.
d.
Terapi Kelompok (Group Therapy)
Ahli terapi perilaku, dalam menjaga
perhatian mereka pada situasi-situasi daripada ciri-ciri, tidak mempunyai
perawatan khusus sebagaimana untuk kelainan-kelainan kepribadian lainnya yang
yang ditunjukkan oleh DSM-III. Akan lebih baik mereka menganalisa masalah-masalah
yang mana, diambil bersama mungkin dipertimbangkan oleh para pengikut dari
DSM-III untuk menggambarkan sebuah kelainan kepribadian. Pelatihan
keterampilan-keterampilan sosial di dalam sebuah kelompok dukungan bisa jadi
dipertimbangkan sebuah jalan untuk mendorong kepribadian yang menghindar
menjadi lebih berani dalam memulai hubungan atau koneksi dengan orang lain.
Teknik ini, boleh jadi dikombinasikan dengan terapi rasional-emotif, mungkin
membantu mereka untuk tidak menganggap becana besar ketika usaha-usaha mereka
untuk keluar tidak berhasil, sebagaimana ini dibatasi untuk terjadi (Turkat dan
Maisto, 1985).
Satu aspek
dari kelainan kepribadian memerintahkan perhatian dari ahli terapi yang
berketerampilan manapun. sebagaimana dari penolong professional lainnya, yaitu,
yang dinyatakan melekat secara mendalam, berdiri lama, dan dapat menembus sifat
dasar dari masalah. Ahli terapi manapun yang bekerjasama dengannya harus
betul-betul mempertimbangkan implikasi-implikasi yang luas dari masalahnya.
Sebelum seorang yang mempunyai kecurigaan yang tinggi dapat mengekspresikan
emosinya secara terbuka dan sewajarnya.
I.
Contoh Kasus
Susi adalah seorang anak perempuan berusia 12 tahunyang agak pendiam di
sekolahnya. Ketika pulang ke rumah dari sekolahnya, ingin segera tiba dan
mengatakan kepada ibunya mengenai kesuksesan yang hebat yang ia lakukan di
sekolah. Seperti mendapat nilai tinggi ketika ujian matematika maupun
kemenangannya ketika ia bermain lompat tali bersama temannya. Akan tetapi ibu
Susi ini, bukannya mendengarkan anaknya dan memberikan perhatian dengan bangga,
ia malah membelokkan obrolan dari anaknya pada dirinya sendiri. Si ibu justru
mengabaikan cerita-cerita puterinya dan mulai membicarakan tentang kesuksesan
dirinya sendiri mengenai pekerjaannya di kantor dan di tempat perkumpulannya.
Dan secara tidak sadar ibu mengalihkan pembicaraan gadis kecilnya itu.
Karena kejadian seperti itu terus berlangsung, Susi merasa harus
menceritakan berbagai kehebatannya kepada orang lain. Dan ia lakukan kepada
teman-temannya di sekolah, Susi selalu menceritakan berbagai kegiatan maupun
hal-hal yang selama ini telah ia raih. Ia selalu menceritakan hal-hal mengenai
keberhasilannya dalam kegiatan akademik maupun dalam pertemanan. Susi juga
senang memamerkan barang-barang yang ia miliki, tetapi ia menjadi iri hati
ketika melihat temannya yang lain memiliki barang lain yang lebih bagus
darinya. Susi merasa sangat senang apabila teman-temannya mengagumi dirinya
ketika Susi menceritakan berbagai cita-cita dan khayalan tentang dirinya, “Aku
akan menjadi orang hebat jika telah besar nanti, seperti presiden dan aku akan
pergi kemana pun yang aku sukai, kalian akan jauh berbeda dariku karena aku
yang akan lebih besar dan hebat dari kalian..” ungkap Susi. Tak jarang ia
menyuruh temannya untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan, tak peduli apa yang
sedang temannya kerjakan ia harus mengerjakan apa yang di inginkan, apabila
tidak dipenuhi Susi akan marah dan sering mencaci maki temannya itu. Terakhir
ia meminta temannya Ana untuk membelikannya minuman ketika sedang ujian Bahasa
Inggris..
Analisis
Contoh kasus Susi menggambarkan perilaku grandiositi dan egosentris dari
seorang narsis sebagai sebuah pertahanan melawan kegusaran atau kemarahan yang
mereka rasakan kepada orang tua mereka, yang mereka rasakan dingin dan acuh tak
acuh. Kepribadian narsistik yang dialami Susi berkembang sebagai sebuah cara
untuk meniru dengan merasakan kekurangan di dalam diri yang menyakiti hati,
karena orang tua (Ibunya) tidak memberikan dukungan dan empati.Susi terabaikan
dalam cara ini mempunyai masalah dalam menerima kekurangan dirinya sendiri. Dia
mungkin berkembang ke dalam kepribadian narsistik, syarafnya bekerja keras
untuk menyokong perasaan terhadap dirinya melalui pengakuan dari orang lain
yang tidak ada hentinya.
Narsistik mempunyai pandangan yang megah terhadap kemampuan-kemampuan dan
keunikan-keunikan dari diri mereka sendiri. Dalam hal ini Susi terasyikkan
dengan khayalan-khayalan mereka tentang kesuksesan yang besar dan kecanduan
terhadap kekaguman dan perhatian orang lain. Untuk mengatakan bahwa dirinya
adalah orang yang berpusat pada pribadi diri sendiri hampir menjadi keterangan
yang mengecilkan persoalan. Hubungan antar personal Susi pun terganggu oleh
kurangnya empati; oleh perasaan iri ketika temannya memiliki sesuatu hal lebih
dibanding dirinya; mengambil keuntungan dari temannya dengan menyuruh-nyuruh
seenak hati Susi; dan mengharapkan teman-temannya untuk melakukan sesuatu
perlakuan khusus. Mencari perhatian dan puji-pujian yang berlebihan secara konstan,
kepribadian-kepribadian narsistik adalah di bawah sangat amat sensitif terhadap
kritikan dan ketakutan yang teramat dalam akan kegagalan.Akibatnya hubungan personal Susi sedikit dan dangkal, ketika orang-orang
tidak bisa diacuhkan jatuh akan harapan-harapan yang tidak realistis, sehingga Susi sering menjadi marah.
Dalam hal ini untuk selanjutnya orangtua harus bereaksi terhadap Susi dengan hormat, kehangatan, dan empati jika Susi memperoleh
rasa bahwa diri mereka berharga yang masih
dikatakan normal. Agar Susi dapat mampu memahami dan merasakan perasaan orang
lain dalam hal ini sebaiknya Susi mendapat perhatian berlebih dari orangtuanya.
Susidibimbing untuk kemudian menerima bantuan dan mempelajari bagaimana berhadapan dengan
kekurangannya dengan lebih menyesuaikan diri lagi..
Buku Sumber:
-
Essentials Abnormal Psychology by
V. Mark Durand and David H. Barlow
-
Abnormal Psychology
Core Concept by James and Butcher, Susan Mineka, Jill M. Hooley; Pearson
Education USA 2008
-
Abnormal Psychology by
Gerald C. Davison, John M. Neale, An M. Kring;
NPM : 10050009158
saya mempunayi kerabat yang ciri2 nya hampir sama dengan yang di paparkan diatas. saya ingin bertanya lebih lanjut, boleh saya minta alamat email anda?
BalasHapus