Rabu, 11 Januari 2012

NARCISSISTIC PERSONALITY DISORDER



A.    Pengertian
Gangguan kepribadian narsistik adalah gangguan yang melibatkan pola pervasive dari grandiosities dalam fantasi atau perilaku serta membutuhkan pujian dan kurang memiliki empati.
Orang-orang yang menilai “tinggi” dirinya sendiri, bahkan melebih-lebihkan kemampuan riil mereka dan menganggap dirinya berbeda dengan orang lain, serta pantas menerima perlakuan khusus, merupakan perilaku yang sangat ekstrem. Individu dengan kelainan kepribadian narsistik menunjukkan sebuah perasaan yang dilebih-lebihkan akan kepentingan pribadi, keasyikan dengan menjadi yang dikagumi dan kurangnya empati tehadap perasaan orang lain (Ronningstan, 1999; Widiger & Bornstein, 2001). Ini bahwa  hal yang penting dan dulu menggunakan standar diagnosa secara luas untuk mendiagnosa pasien narsistik, grandiositi dinyatakan oleh kecenderungan yang kuat untuk menaksir terlalu tinggi kemampuan mereka dan prestasi, sementara menaksir rendah kemampuan dan prestasi orang lain. Perasaan mereka akan pemberian gelar atau judul sering kali menjadi sebuah sumber keheranan terhadap orang lain, walaupun diri mereka sendiri terlihat menghargai pengharapan berlebihan mereka sebagai selalu apa yang mereka pantas dapatkan. Mereka berperilaku dalam cara-cara meniru (sebagai contoh, dengan acuan diri yang konstan dan membual) untuk memperoleh tuntutan dan pengakuan yang sangat mereka harapkan. Karena mereka percaya bahwa mereka sangat spesial, mereka sering berpikir mereka hanya akan dimengerti hanya dengan orang yang berstatus tinggi atau seharusnya berteman dengan orang–orang yang seperti itu. Akhirnya, perasaan mereka akan pemberian gelar atau judul juga duhubungkan dengan keengganan memaafkan orang lain karena merasa diremehkan, dan mereka akan dengan mudah membalas dendam (Exline, Baumeister, et al., 2004).
Kebanyakan peneliti dan dokter percaya bahwa orang-orang dengan kelainan kepribadian narsistik mempunyai perasaan akan harga diri yang tidak stabil dan rapuh dibawah semua grandiositi mereka (Widiger & Bornstein, 2001). Ini mungkin menjadi alasan mengapa mereka sering mengasyikan diri dengan apa yang orang pikirkan dan mengapa mereka sangat asyik dengan khayalan akan penghargaan yang mengagumkan. Kebutuhan mereka yang hebat akan kekaguman mungkin membantu mengatur dan melindungi perasaan akan harga diri mereka yang rapuh.
Kepribadian narsistik berbagi ciri khusus yang lain dari enggan atau tidak bisa menerima sudut pandang orang lain, untuk melihat lebih dari apa yang mereka lihat dengan mata mereka sendiri. Selain itu, jika mereka tidak menerima pengesahan atau bantuan dari apa yang mereka inginkan, mereka cenderung menjadi sangat suka mengkritik dan menuntut pembalasan (Rasmussen, 2005). Memang, sebuah studi tentang murid laki-laki dengan tingkat ciri-ciri narsistik yang tinggi menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecenderungan yang lebih kuat ke arah kekerasan seksual ketika mereka ditolak oleh target hasrat seksual mereka ketimbang laki-laki dengan tingkat ciri-ciri narsistik yang lebih rendah (Bushman et al., 2003).
Dari 5 model faktor sudut pandang, individu dengan kelainan kepribadian narsistik digolongkan menurut rendahnya persetujuan/ tingginya antagonisme atau permusuhan (yang memasukan ciri-ciri dari kesederhanaan, keangkuhan, dan keunggulan), rendahnya altruisme atau sifat lebih mementingkan kepentingan orang lain (mengharapkan perawatan yang menguntungkan dan memanfaatkan yang lain), dan berpikiran kuat (kurangnya empati). Mereka juga menunjukan tingkat kecenderungan khayalan yang tinggi (keterbukaan untuk mengalami) dan tingkat marah-permusuhan dan kesadaran diri yang tinggi (Widiger, Trull, et al., 2002)

B.     Gejala
·         Membutuhkan pujian dan kekaguman berlebihan
·         Mengambil keuntungan dari orang lain
·         Merasa diri paling penting
·         Enggan atau tidak bisa menerima sudut pandang orang lain
·         Kurangnya empati
·         Berbohong, pada diri sendiri dan orang lain
·         Terobsesi dengan fantasi ketenaran, kekuasaan, atau kecantikan




C.    Faktor Penyebab
Faktor Penyebab berdasarkan Teori-teori Ahli Psikologi
Beberapa penulis, termasuk Kohut (1971, 1977), percaya bahwa gangguan kepribadian narsistik muncul dari kegagalan meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak. Akibatnya, anak tetap terfiksasi di tahap perkembangan grandiose. Selain itu, anak (dan kelak setelah dewasa) menjadi terlibat dalam pencarian, yang tak berkunjung dan tanpa hasil, figur ideal yang dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan empatinya, yang tak pernah terpenuhi.
Banyak teori yang berbeda tentang faktor kebetulan yang terkait di dalam perkembangan penyakit kepribadian narsistik telah dikemukakan, dan masing-masing mempunyai penyokong yang kuat. Di sisi yang lain, ahli teori psikodinamik yang berpengaruh seperti Heinz Kohut setuju bahwa semua anak yang melewati fase primitif grandiositi selama apa yang mereka pikirkan tentang semua kejadian dan kebutuhan berputar di sekeliling mereka. Untuk perkembangan normal diluar fase yang terjadi, menurut pandangan ini, orang tua harus melakukan suatu pencerminan terhadap anak. Ini membantu anak mengembangkan tingkat kepercayaan diri yang normal dan perasaan harga diri guna menopang di kehidupan mereka, ketika realita hidup mereka diumbar untuk membesarkan. Kohut dan Kernberg (1978) mengemukakan lebih jauh bahwa kelainan kepribadian narsistik lebih mungkin berkembang jika orang tua lalai, menghilangkan nilai, atau tidak berempati kepada anak; individu ini akan terus menerus mencari penegasan dari sebuah pengidealan dan perasaan megah terhadap diri. Walaupun teori ini telah menjadi sangat berpengaruh di antara dokter-dokter klinik psikodinamik, sayangnya ini mempunyai sedikit dukungan empiris.
            Dari sebuah pendirian teoritis yang sangat berbeda, Theodore Millon mempunyai argument yang sangat berbeda. Dia percaya bahwa kelainan kepribadian narsistik datang dari penilaian berlebihan orang tua yang tidak realistis (Millon & Davis, 1995; Widiger & Bornstein, 2001). Seperti contoh, dia telah mengemukakan bahwa “orang tua memanjakan dan menurutkan permintaan anak-anaknya dalam cara mendidik mereka bahwa keinginan mereka adalah sebuah perintah, bahwa mereka dapat menerima tanpa harus mengembalikannya, dan bahwa mereka pantas menjadi seseorang yang menonjol bahkan  tanpa perjuangan yang minim” (Millo, 1981, p.175; dari Widiger & Trull, 1993). Ahli teori itu dari dua tradisi yang berbeda (psikodinamik dan pelajaran sosial) dapat menjadi semacam kesimpulan yang berlawanan yang mengilustrasikan kekurangan saat ini dari pengetahuan empiris mengenai bagian terdahulu dari kelainan semacam ini.

D.    Kriteria Diagnostik
Penderita gangguan kepribadian narsistik memiliki perasaan yang tidak masuk akal bahwa dirinya orang penting dan sangat terokupasi dengan dirinya sendiri sehingga mereka tidak memiliki sensivitas dan tidak memiliki perasaan iba terhadap orang lain (Gunderson, Ronningstam, dan Smith, 1995). Mereka membutuhkan dan mengharapkan perhatian khusus. Mereka juga cenderung memanfaatkan dan mengeksploitasi orang lain bagi kepentingannya sendiri serta hanya sedikit menunjukkan sedikit empati. Ketika dihadapkan pada orang lain yang sukses, mereka bisa merasa sangat iri hati dan arogan. Dan karena mereka sering tidak mampu mewujudakan harapan-harapannya sendiri, mereka sering merasa depresi.
Gangguan kepribadian Narcissistic dicirikan oleh keterpusatan diri. Mereka membesar-besarkan prestasi mereka, mengharapkan orang lain untuk mengakui mereka sebagai superior. Mereka cenderung teman, karena mereka percaya bahwa tidak sembarang orang yang layak menjadi teman mereka. Narsisis cenderung membuat kesan pertama yang baik, namun mengalami kesulitan menjaga hubungan jangka panjang. Mereka umumnya tidak tertarik pada perasaan orang lain dan dapat mengambil keuntungan dari mereka.
Menurut DSM IV-TR, kriteria gangguan kepribadian narsistik yaitu, pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri, arogansi, terfokus pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri, kebutuhan ekstrem untuk dipuja, perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan segala sesuatu, kecenderungan memanfaatkan orang lain, dan iri kepada orang lain.

E.     Kriteria  Kepribadian Narsistik Menurut DSM-IV
Sebuah pola dari khayalan dan perilaku, diantaranya kebutuhan untuk kekaguman, dan kurangnya empati, seperti yang diindikasikan oleh minimal 5 dari yang dibawah ini:
1.      Perasaan megah akan kepentingan pribadi
2.      Keasyikan dengan khayalan akan keberhasilan, kekuatan, kecemerlangan, atau kecantikan yang tidak terbatas.
3.      Kepercayaan bahwa dia itu spesial dan unik.
4.      Kebutuhan akan kekaguman yang berlebihan.
5.      Perasaan akan pemberian judul.
6.      Kecenderungan menjadi meledak-ledak antar individu.
7.      Kekurangan empati.
8.      Sering cemburu terhadap orang lain atau percaya bahwa orang lain itu pun cemburu terhadapnya.
9.      Menunjukkan keangkuhan, perilaku atau sikap yang sombong.
Menurut DSM-IV-TR, kelainan kepribadian narsistik mungkin bisa lebih sering diobservasi pada pria daripada wanita (APA, 2000; Golomb et al., 1995), walaupun tidak semua studi menunjukan ini. Dibandingkan dengan beberapa kelainan kepribadian  lainnya, ini menjadi relatif jarang dan ditaksir tetap terjaga sekitar 1 persen dari populasi.

F.     Gangguan Kepribadian Narsistik menurut Berbagai Perspektif
a.      Psikososial
Psikodinamik.Para psikoanalis, termasuk Freud, menggunakan istilah narcissistik untuk mendeskripsikan orang-orang yang menunjukkan bahwa dirinya orang penting secara berlebih-lebihan dan yang terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian (Cooper dan Ronningstam, 1992). Dimana fase yang dilalui semua anak sebelum menyalurkan cinta mereka dari diri mereka sendiri kepada significant person, sehingga anak terfiksasi pada fase narsistik.  Akibat memiliki orangtua yang selalu menuruti anak dan menanamkan rasa bangga atas kemampuan diri dan harga diri mereka, atau anak tidak percaya terhadap pengasuh dan memutuskan bahwa mereka hanya dapat bersandar pada diri sendiri.
            Behaviorisik. Narsistik merupakan reaksi asumsi untuk menghadapi masalah-masalah self-worth yang tidak realistik sebagai hasil dari penurutan dan evaluai yang berlebihan dari orang-orang yang signifikan. Serta sebagai hasil dari unrealistic-overevaluation orangtua terhadap anak.
b.      Sosiokultural
Faktor-faktor kultur sosial yang berkontribusi terhadap kelainan kepribadian tidak dimengerti dengan baik. Sebagaimana bentuk-bentuk lain dari ilmu psikologi, timbulnya dan sebagian fitur dari kelainan kepribadian merubah sedikit banyak dengan waktu dan tempat, walaupun sebanyak yang seseorang mungkin pikirkan (Allik, 2005). Sesungguhnya ada sedikit perbedaan lintas budaya daripada di dalam budaya. Ini mungkin berhubungan dalam penemuan yang semua kebudayaan (keduanya Barat dan non-Barat, termasuk Afrika dan Asia) berbagi 5 ciri-ciri dasar kepribadian yang sama, dan pola variasi mereka juga terlihat mendunia.
            Beberapa peneliti percaya bahwa beberapa kelainan kepribadian tertentu telah meningkat di masyarakat Amerika beberapa tahun terakhir (misalnya, Paris, 2001). Jika tuntutan ini benar, kita dapat berharap menemukan peningkatan perhubungan untuk mengubah kebutuhan dan aktifitas kebudayaan kita yang umum. Apakah penekanan kita terhadap dorongan kepuasan, solusi sekejap, dan keuntungan bebas sakit membawa lebih banyak orang untuk mengembangkan gaya hidup yang berpusat pada diri sendiri yang kita lihat dalam bentuk yang lebih ekstrim dalam kelainan kepribadian? Contohnya, ada beberapa bukti bahwa kelainan kepribadian narsistik yang lebih umum di budaya Barat dimana ambisi pribadi dan kesuksesan mendukung dan memperkuat (misalnya, Widiger & Bornstein, 2001).
            Ini juga telah diketahui meningkat lebih dari 60 tahun sejak Perang Dunia II dalam emosional dysregulation (misalnya, depresi, dan bunuh diri) dan perilaku sesuai kata hati (penyalahgunaan dasar dan perilaku kriminal) mungkin berhubungan dengan meningkatkan dalam garis batas dan kelainan kepribadian diatas periode waktu yang sama. Ini dapat berakar dari perusakan yang meningkat terhadap keluarga dan struktur sosial yang tradisional lainnya (Paris, 2001).

G.    Penanganan dan Hasilnya
Gangguan kepribadian narsistik secara umum sulit untuk dirawat, pada sebagian karena mereka adalah, menurut definisi, relatif kronis, dapat meresap, dan pola perilaku dan pengalaman di dalam diri yang tidak dapat diubah. Lebih jauh lagi, banyak tujuan dari perawatan yang berbeda dapat dirumuskan, dan beberapa lebih sulit untuk dicapai dari yang lainnya. Tujuan mungkin termasuk keadaan sulit subjektif, mengubah perilaku dysfunctional yang spesifik, dan mengubah keseluruhan pola perilaku atau keseluruhan struktur kepribadian.
            Pada banyak kasus, orang dengan kelainan kepribadian mengikuti perawatan hanya oleh desakan seseorang, dan mereka sering tidak percaya bahwa mereka harus berubah. Selanjutnya, mereka yang berasal dari Kelompok A yang aneh/eksentrik dan Kelompok B yang tidak teratur/dramatis mempunyai perbedaan-perbedaan yang umum dalam pembentukan dan memelihara hubungan baik, termasuk dengan seorang ahli terapi. Bagi mereka yang berasal dari Kelompok B yang tidak teratur/dramatis, pola dari tindakan, khas dalam hubungan mereka yang lainnya, dibawa ke dalam situasi terapi, dan daripada berhadapan dengan masalah mereka di tingkat verbal, mereka mungkin akan menjadi marah pada ahli terapi dan mengacaukan sesi.
            Sebagai tambahan, orang yang mempunyai 2 kelainan baik di Axis I dan Axis II  rata-rata, melakukan perawatan yang baik untuk kelainan pada Axis I mereka sebagai pasien tanpa kelainan kepribadian). Ini sebagian dikarenakan orang dengan kelainan kepribadian mempunyaiciri-ciri kepribadian yang kaku dan berakar yang sering membawa kepada hubungan yang mengandung unsur pengobatan yang memprihatinkan dan apalagi membuat mereka bertahan melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan kondisi Axis I mereka.
H.    Jenis-jenis Terapi
a.      Terapi menurut Pendekatan Millon
Ada sebuah informasi yang berdasar kepada penelitian kecil dalam merawat kelainan kepribadian sebagaimana adanya informasi dalam bagaimana mereka berkembang. Ada, meskipun, sebuah kesusastraan kasus klinis yang hidup dan berkembang dalam terapi-terapi untuk banyak kelainan-kelainan kepribadian. Walaupun garis besar ide-ide berikut ini adalah untuk bagian besar berdasarkan pada pengalaman-pengalaman klinis dari beberapa professional kesehatan mental, dan tidak pada studi-studi tentang yang berisikan pengawasan-pengawasan yang cocok, petunjuk pengobatan ini adalah semua yang tersedia dalam memperlakukan kelainan kepribadian.
            Sebuah perasaan terhadap apa yang terkandung dalam literatur dapat dipahami dari beberapa ide yang seterusnya ditanamkan oleh Millon (1981) dalam bukunya yang terkenal secara luas tentang kelainan-kelainan kepribadian (Millon sebelumnya adalah bagian dari tim DSM-III yang bekerja tentang kelainan-kelainan kepribadian). Dia menganjurkan bahwa:
1.         Terapi dengan kepribadian-kepribadian yang tidak mandiri terfasilitasi oleh fakta bahwa orang-orang ini mencari orang lain yang lebih kuat ada siapa mereka bergantung. Oleh karena itu mereka rela dan mau menerima pasien-pasien. Bagaimanapun, ciri seperti ini dapat membuat mereka terlalu terlalu bergantung pada ahli terapi dan tidak suka membuat keputusan-keputusan mereka sendiri dan mengambil tanggung jawab atas diri mereka sendiri. Millon menyarankan bahwa pendeketan-pendekatan yang bersifat tidak langsung bekerja lebih baik daripada yang bersifat perilaku karena mereka membantu perkembangan yang mandiri.
2.         Kepribadian narsistik tidak tetap dalam terapi untuk waktu yang lama, terlebih ketika sumber-sumber kegelisahan diperiksa (sebagian besar ahli terapi, tanpa menghiraukan orientasi teoritis, akan bersedia). Millon mengusulkan terapi kognitif untuk membantu kepribadian narsistik belajar untuk berpikir ketimbang untuk bertindak sesuai dorongan hati.
Bagaimanapun juga, ini penting untuk diperhatikan bahwa, seperti orang lain yang menulis tentang tentang itu dan bekerja dengan kelainan-kelainan kepribadian, Millon sangat berhati-hati tentang berharap terlalu besar dari terapi ketika jarak dari masalah-masalah sangat lebar dan mencakup semua.
b.      Teknik Penanganan Terapeutik
Teknik-teknik pengobatan harus sering dimodifikasi. Contohnya, mengenali bahwa psikoterapi individu tradisional cenderung untuk mendorong ketergantungan pada orang yang telah terlalu dependen, ini sering bermanfaat untuk mengembangkan strategi perawatan secara khusus bertujuan pada perubahan ciri-cirinya. Para pasien dari Kelompok C yang gelisah/ketakutan, mungkin akan menjadi hipersensitif terhadap berbagai kritikan yang mungkin mereka rasakan dari ahli terapi, jadi para ahli terapi harus sangat berhati-hati dalam memastikan itu tidak terjadi.
            Bagi orang dengan beberapa kelainan kepribadian, terapi mungkin akan lebih efektif dalam situasi dimana perilaku tindakan dapat dipaksakan. Contohnya, banyak pasien dengan kelainan kepribadian di garis batas dirawat inap di rumah sakit beberapa saat, untuk alasan keamanan, karena perilaku hampir bunuh diri mereka yang sering. Bagaimanapun, sebagian program berobat ke rumah sakit terus meningkat dalam penggunaan sebagai sebuah perawatan alternatif menengah dan tidak mahal bagi pasien (Azim, 2001). Dalam program-program ini, pasien tinggal di rumah dan menerima paket perawatan dan rehabilitasi yang lebih luas hanya saat hari-hari kerja.
            Teknik pengobatan yang spesifik adalah bagian pusat dari pendekatan teori yang relatif baru pada kelainan kepribadian yang mengasumsikan bahwa perasaan dan perilaku dysfunctional yang diasosiasikan dengan kelainan kepribadian adalah hasil yang lebih luas dari skema-skema yang cenderung memproduksi keputusan yang menyimpang secara konsisten, sebagaimana kecenderungan untuk membuat teori yang salah (Beck, Freeman, & Associates, 1990; Beck et al., 2003; Cottraux & Blackburn, 2001). Mengubah skema-skema dysfunctionalyang mendasar ini sulit tetapi berada di inti dari terapi kognitif untuk kelainan kepribadian, yang menggunakan teknik-teknik kognitif standar dari memantau pikiran-pikiran otomatis, menantang logika yang cacat, dan menugaskan tugas yang berhubungan dengan perilaku dalam sebuah usaha untuk menantang kepercayaan pasien.
c.       Terapi Perilaku-Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy)
Treatment research sangat terbatas, baik dalam hal jumlah studi maupun laporan tentang kesuksesannya (Groopman dan Cooper, 2001). Bila terapi dicobakan pada individu-individu ini, terapi itu sering kali difokuskan pada grandiositas, hipersensivitas terhadap evaluasi orang lain, dan kekurangan empati terhadap orang lain (Beck dan Freeman, 1990). Terapi kognitif diarahkan pada usaha mengganti fantasi mereka dengan focus pada pengalaman sehari-hari yang menyenangkan, yang memang benar-benar dapat dicapai. Strategi coping seperti latihan relaksasi digunakan untuk membantu mereka mengahadapi dan menerima kritik. Membantu mereka untuk memfokuskan perasaannya terhadap orang lain juga menjadi tujuannya. Karena penderita gangguan ini rentan mengalami episode-episode depresif, terutama pada usia pertengahan, penanganan sering dimulai untuk mengatasi depresinya. Tetapi, mustahil untuk menarik kesimpulan tentang dampak penanganan semacam itu pada gangguan kepribadian narsistik yang sesungguhnya.
d.      Terapi Kelompok (Group Therapy)
Ahli terapi perilaku, dalam menjaga perhatian mereka pada situasi-situasi daripada ciri-ciri, tidak mempunyai perawatan khusus sebagaimana untuk kelainan-kelainan kepribadian lainnya yang yang ditunjukkan oleh DSM-III. Akan lebih baik mereka menganalisa masalah-masalah yang mana, diambil bersama mungkin dipertimbangkan oleh para pengikut dari DSM-III untuk menggambarkan sebuah kelainan kepribadian. Pelatihan keterampilan-keterampilan sosial di dalam sebuah kelompok dukungan bisa jadi dipertimbangkan sebuah jalan untuk mendorong kepribadian yang menghindar menjadi lebih berani dalam memulai hubungan atau koneksi dengan orang lain. Teknik ini, boleh jadi dikombinasikan dengan terapi rasional-emotif, mungkin membantu mereka untuk tidak menganggap becana besar ketika usaha-usaha mereka untuk keluar tidak berhasil, sebagaimana ini dibatasi untuk terjadi (Turkat dan Maisto, 1985).
            Satu aspek dari kelainan kepribadian memerintahkan perhatian dari ahli terapi yang berketerampilan manapun. sebagaimana dari penolong professional lainnya, yaitu, yang dinyatakan melekat secara mendalam, berdiri lama, dan dapat menembus sifat dasar dari masalah. Ahli terapi manapun yang bekerjasama dengannya harus betul-betul mempertimbangkan implikasi-implikasi yang luas dari masalahnya. Sebelum seorang yang mempunyai kecurigaan yang tinggi dapat mengekspresikan emosinya secara terbuka dan sewajarnya.

I.       Contoh Kasus
Susi adalah seorang anak perempuan berusia 12 tahunyang agak pendiam di sekolahnya. Ketika pulang ke rumah dari sekolahnya, ingin segera tiba dan mengatakan kepada ibunya mengenai kesuksesan yang hebat yang ia lakukan di sekolah. Seperti mendapat nilai tinggi ketika ujian matematika maupun kemenangannya ketika ia bermain lompat tali bersama temannya. Akan tetapi ibu Susi ini, bukannya mendengarkan anaknya dan memberikan perhatian dengan bangga, ia malah membelokkan obrolan dari anaknya pada dirinya sendiri. Si ibu justru mengabaikan cerita-cerita puterinya dan mulai membicarakan tentang kesuksesan dirinya sendiri mengenai pekerjaannya di kantor dan di tempat perkumpulannya. Dan secara tidak sadar ibu mengalihkan pembicaraan gadis kecilnya itu.
Karena kejadian seperti itu terus berlangsung, Susi merasa harus menceritakan berbagai kehebatannya kepada orang lain. Dan ia lakukan kepada teman-temannya di sekolah, Susi selalu menceritakan berbagai kegiatan maupun hal-hal yang selama ini telah ia raih. Ia selalu menceritakan hal-hal mengenai keberhasilannya dalam kegiatan akademik maupun dalam pertemanan. Susi juga senang memamerkan barang-barang yang ia miliki, tetapi ia menjadi iri hati ketika melihat temannya yang lain memiliki barang lain yang lebih bagus darinya. Susi merasa sangat senang apabila teman-temannya mengagumi dirinya ketika Susi menceritakan berbagai cita-cita dan khayalan tentang dirinya, “Aku akan menjadi orang hebat jika telah besar nanti, seperti presiden dan aku akan pergi kemana pun yang aku sukai, kalian akan jauh berbeda dariku karena aku yang akan lebih besar dan hebat dari kalian..” ungkap Susi. Tak jarang ia menyuruh temannya untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan, tak peduli apa yang sedang temannya kerjakan ia harus mengerjakan apa yang di inginkan, apabila tidak dipenuhi Susi akan marah dan sering mencaci maki temannya itu. Terakhir ia meminta temannya Ana untuk membelikannya minuman ketika sedang ujian Bahasa Inggris..

Analisis
Contoh kasus Susi menggambarkan perilaku grandiositi dan egosentris dari seorang narsis sebagai sebuah pertahanan melawan kegusaran atau kemarahan yang mereka rasakan kepada orang tua mereka, yang mereka rasakan dingin dan acuh tak acuh. Kepribadian narsistik yang dialami Susi berkembang sebagai sebuah cara untuk meniru dengan merasakan kekurangan di dalam diri yang menyakiti hati, karena orang tua (Ibunya) tidak memberikan dukungan dan empati.Susi terabaikan dalam cara ini mempunyai masalah dalam menerima kekurangan dirinya sendiri. Dia mungkin berkembang ke dalam kepribadian narsistik, syarafnya bekerja keras untuk menyokong perasaan terhadap dirinya melalui pengakuan dari orang lain yang tidak ada hentinya.
Narsistik mempunyai pandangan yang megah terhadap kemampuan-kemampuan dan keunikan-keunikan dari diri mereka sendiri. Dalam hal ini Susi terasyikkan dengan khayalan-khayalan mereka tentang kesuksesan yang besar dan kecanduan terhadap kekaguman dan perhatian orang lain. Untuk mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang berpusat pada pribadi diri sendiri hampir menjadi keterangan yang mengecilkan persoalan. Hubungan antar personal Susi pun terganggu oleh kurangnya empati; oleh perasaan iri ketika temannya memiliki sesuatu hal lebih dibanding dirinya; mengambil keuntungan dari temannya dengan menyuruh-nyuruh seenak hati Susi; dan mengharapkan teman-temannya untuk melakukan sesuatu perlakuan khusus. Mencari perhatian dan puji-pujian yang berlebihan secara konstan, kepribadian-kepribadian narsistik adalah di bawah sangat amat sensitif terhadap kritikan dan ketakutan yang teramat dalam akan kegagalan.Akibatnya hubungan personal Susi sedikit dan dangkal, ketika orang-orang tidak bisa diacuhkan jatuh akan harapan-harapan yang tidak realistis, sehingga Susi sering menjadi marah.
            Dalam hal ini untuk selanjutnya orangtua harus bereaksi terhadap Susi dengan hormat, kehangatan, dan empati jika Susi memperoleh rasa bahwa diri mereka berharga yang masih dikatakan normal. Agar Susi dapat mampu memahami dan merasakan perasaan orang lain dalam hal ini sebaiknya Susi mendapat perhatian berlebih dari orangtuanya. Susidibimbing untuk kemudian menerima bantuan dan mempelajari bagaimana berhadapan dengan kekurangannya dengan lebih menyesuaikan diri lagi..




Buku Sumber:
-          Essentials Abnormal Psychology by V. Mark Durand and David H. Barlow
-          Abnormal Psychology Core Concept by James and Butcher, Susan Mineka, Jill M. Hooley; Pearson Education USA 2008
-          Abnormal Psychology by Gerald C. Davison, John M. Neale, An M. Kring;
9th Edition

 NAMA: GRANDESH KARINNA SARI
NPM : 10050009158





1 komentar:

  1. saya mempunayi kerabat yang ciri2 nya hampir sama dengan yang di paparkan diatas. saya ingin bertanya lebih lanjut, boleh saya minta alamat email anda?

    BalasHapus