Seseorang
yang mengalami dependent personality
disorder memiliki dua dasar karakteristik. Pertama, mereka dengan pasif
membiarkan orang lain untuk membuat keputusan yang penting dalam hidupnya,
karena tidak mempunyai rasa percaya diri dan merasaka bahwa mereka tidak dapat
independen.
Tidak
seperti orang dengan avoidant personality disorder, individu dengan dependent
personality disorder sangat tergantung pada orang lain. bagaimanapun, mereka
sangat tergantung dan pasif, sehingga mereka mungkin menerima kebalikan dengan
apa yang mereka inginkan karena orang lain menjadi tidak sabar menghadapi
kemandiriannya. mereasa yakin bahwa mereka tidak cukup baik, mereka bahkan
tidak dapat membuat keputusan yang paling sepele bagi diri mereka sendiri.
sebagai contoh, seorang pria mungkin merasa tidak mampu memilih pakaian yang
akan ia kenakan sehari-hari tanpa berkonsultasi dengan pasangannya. Dalam area
yang lebih penting, ia dapat mengandalkan pasangannya untuk memberitahunya
mengenai pekerjaan apa yang harus ia cari, siapa yang harus menjadi temannya,
dan bagaimana ia harus merencanakan hidupnya.
Orang
lain mungkin mencirikan individu dengan gangguan tersebut sebagai seseorang
yang sangat bergantung. Tanpa orang lain di sekitar mereka, orang dengan
gangguan kepribadian dependen merasa sedih dan terabaikan. mereka menjadi terjebak
dalam ketakutan bahwa orang terdekatnya akan meninggalkan mereka. Mereka
menjadi sangat ekstrem untuk menghindari tidak disukai orang lain, misalnya
dnegan menyetujui opini orang lain meskipun ketika mereka percaya bahwa opini
tersebut mungkin salah. Terkadang mereka mengambil alih tanggung jawab yang
dihindari oleh orang lain, sehingga orang lain akan menyukai dan menerimanya.
Jika seseorang mengkritiknya, mereka cenderung merasa hancur. Mereka cenderung
melemparkan diri mereka sepenuh hati dalam suatu hubungan, sehingga menjadi
hancur ketika hubungan berakhir. ketergantungannya yang ekstrem tersebut
menyababkan mereka segera mencari hubungan lain untuk mengisi kekosongan yang
mereka rasakan.
Hal
ini membuat mereka menjadi sangat patuh dan melekat dalam hubungan mereka serta
sangat takut akan perpisahan. Orang dengan gangguan ini merasa sangat sulit
melakuakn segala sesuatu sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Mereka mencari
saran dalam membuat keputusan yang paling kecil sekalipun. Anak-anak atau remaja
dengan masalah ini mencari orang tua mereka untuk memilihkan pakaian, makanan,
sekolah atau kampus, bahkan teman-teman mereka. Orang dewasa dengangangguan ini
membiarkan orang lain mengambil keputusan sampai mereka membiarkan orang tua
mereka menentukan dengan siapa mereka akan menikah (seperti kasus Matthew)
Sesudah
menikah, orang dengan gangguan kepribadian dependen akan bergantung pada
pasangannya dalam membuat keputusan seperti dimana mereka akan tinggal,
tetangga mana yang bisa dijadikan teman, bagaimana mereka harus mendisiplinkan
anak, pekerjaan seperti apa yang harus mereka ambil, bagaimana mereka membuat
anggaran rumah tangga, dan kemana sebaiknya mereka berlibur. Seperti Matthew
(kasus) individu dengan gangguan kepribadian dependen menghindari posisi
bertanggung jawab. Mereka menolak tantangan dan promosi serta bekerja di bawah
potensi mereka. Mereka cenderung sangt sensitif terhadap kritikan serta terpaku
pada rasa takut akan penolakan dan pencampakan. Mereka dapat merasa hancur
karena berakhirnya suatu hubungan dekat atau karena adanya kemungkinan untuk
menjalani hidup sendiri. Karena takut akan penolakan, mereka sering
menomorduakan keinginan dan kebutuhan mereka demi orang lain. Mereka setuju
akan pernyataan yang aneh tentang diri mereka sendiri dan melakukan hal-hal
yang merendahkan diri untuk menyenangkan orang lain.
Meskipun
gangguan kepribadian dependen lebih sering didiagnosis pada perempuan (APA,
2000; Bornstein, 1997), tidaklah jelas akan adanya perbedaan mendasar dalam
prevalensi gangguan antara laki-laki dan perempuan (Corbitt & Widiger,
1995). Diagnosis sering kali dikenakan pada perempuan, karena takutdicampakkan,
menoleransi suami mereka yang terang-terangan berselingkuh, menganiaya mereka,
atau menggunakan keuangan keluarga untuk berjudi. Perasaan tidak adekuat dan
putu asa yang mendasar melumpuhkan mereka untuk mengambil langkah-langkah
efektif. Dalam suatu lingkaran setan, kepasifan mereka mendorong penganiayaaan
lebih lanjut, membuat mereka semakin merasa tidak adekuat dan putus asa.
Diagnosis yang memberikan pada perempuan dengan pola ini dianggap kontroversial
dan tampak tidak adil seolah 'menyalahkan korban', karena perempuan dalam
masyarakat kita sering diasosiasikan untuk berperan dependen. Panel yang
digelar oleh American Psychological Association mencatat bahwa perempuan juga
menghadapi stres yang lebih besar daripada laki-laki dalam kehidupan
kontemporer (Goleman, 1990b). terlebih, karena perempuan umumnya menghadapi
tekanan sosial yang lebih besar untuk menjadi pasif, lembut, atau penuh
penghormatan daripada laki-laki, perilaku dependen pada perempuan dalat
merefleksikan pengaruh budaya danbukan gangguan kepribadian
Gangguan
kepribadian dependen telah dikaitkan dengan gangguan psikologis lain, termasuk
depresi mayor, gangguan bipolar, dan fobia sosial, serta dengan masalah-masalah
fisik, seperti hipertensi, kanker, dan gangguan gastrointestinal seperti ulcer
dan kolitis (Bornstein, 1999; Loranger, 1996; Reich, 1996). Tampak pula adanya
kaitan antara kepribadian dependen dengan apa yang disebut oleh para teoritikus
psikodinamika sebagai masalah perilaku "oral", seperti merokok,
gangguan makan, dan alkoholisme (Bornstein, 1993, 1999). Penulis psikodinamika
menelusuri perilaku dependen sampai pada ketergantungan total dari bayi yang
baru lahir dan pencarian makanan oleh bayi melalui sarana oral (menghisap).
Dari masa bayi, mereka menyatakan, orang menghubungkan ketersediaan makanan
dengan cinta. Makanan dapat menjadi simbol cinta, dan orang dengan kepribadian
dependen dapat makan berlebihan untuk menelan cinta secara simbolis. Penelitian
menunjukkan bahwa orang denga kepribadian dependen lebih bergantung pada orang
lain untuk mendapatkan dukungan dan bimbingan daripada kebanyakan orang
(Greenberg & Bornstein, 1988a). Orang dengan kepribadian dependen sering
mendistribusikan masalah mereka pada penyebab fisik dan bukan emosional serta
mencari dukungan dan saran dari ahli-ahli media dan buka psikolog atau konselor
(Greenberg & Bornstein, 1988b)
B.
Karakteristik
Orang
dengan gangguan ini akan memiliki kebutuhan berlebih untuk diperhatikan yang
mencorong mereka menjadi patuh, bergantung, dan takut terhadap perpisahan
sebagaimana diindikasikan oleh lima atau lebih dari hal-hal berikut:
1. Kesulitan
membuat keputusan sehari-hari tanpa nasihat dan kepastian.
2. Kebutuhan
terhadap orang lain untuk mengambil alih tanggung jawab bagi sebagian besar
area kehidupan.
3. Kesulitan
mengekspresikan ketidaksetujuan dengan orang lain karena takut kehilangan
dukungan atau penerimaan.
4. Kesulitan
memulai suatu tugas atau proyek karena rendahnya kepercayaan diri dalam hal
penilaian atau kemampuan.
5. Kecenderungan
untuk mendapatkan dukungan dan pemeliharaan dari orang lain, hingga tingkatan
ketika ia bersedia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan.
6. Merasa
tidak nyaman atau tidak mampu ketika sendirian karena merasa takut tidak mampu
merawat orang lain.
7. Mencari
hubungan lain sebagai sumber harapan dan dukungan segera setelah suatu hubungan
berakhir.
8. Terjebak
dalam ketakutan untuk ditinggalkan dan harus mengurus dirinya sendiri.
C.
Prevalensi
Prevalensi
gangguan kepribadian sekitar 1,5 persen (Togersen, Kringlen & Cramer,
2001); angka yang lebih tinggi ditemukan di India dan Jepang, mungkin karena
masyarakat tersebut mendorong perilaku dependen. Gangguan ini lebih banyak
terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, mungkin karena pengalaman
sosialisasi pada masa kanak-kanak yang berbeda pada laki-laki dan permempuan
(Corbitt & Widiger, 1995; Weissman, 1993). Gangguan kepribadian dependen
sering dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian ambang, skizoid,
histrionik, skizotipal, dan menghindar serta diagnosis Aksis I yaitu gangguan
bipolar, depresi, gangguan anxietas, dan bulimia.
D.
Etiologi
Perspektif
Psikodinamika:
Teori
psikodinamika biasanya memandang individu dengan gangguan kepribadian dependen
mengalami regresi atau fiksasi pada tahap oral karena orang tua yang terlalu
terlibat atau orang tua yang melalaikan kebutuhan anak untuk tergantung pada
mereka. Para teoritikus relasi objek memandang individu seperti itu merasa
tidak aman untuk terlekat, dan merasakan ketakutan akan diabaikan yang permanen
(West & Sheldon, 1988). Karena rendahnya harga diri mereka, mereka
bersandar kepada orang lain untuk mendapatkan arahan dan dukungan (Livesley,
Schroeder, & jackson, 1990).
Perspektif Kognitif:
Dalam Beck et al. (1990), Fleming menyatakan sejumlah distorsi kognitif
yang membuat gangguan tetap bertahan. Ada dua yang sepertinya penting: Pertama,
individu dependen melihat dirinya sebagai “secara alamiah tidak mampu dan tidak
berdaya”; kedua, kekurangan-kekurangan yang mereka rasa ada pada dirinya (self-perceived
shortcomings) mengarahkan mereka untuk menyimpulkan bahwa mereka harus
mencari seseorang yang bisa mengatasi kesulitan hidup dalam dunia yang
berbahaya. Hal tersebut sebenarnya hanya merupakan pengulangan dari apa yang
telah mereka pelajari. Namun antara premis dan kesimpulan terdapat beberapa
kesalahan logis yang menyimpangkan kenyataan (Fleming, 1990) dan kemudian
membatalkan semua argumen. Yang paling penting dari hal tersebut adalah
pemikiran dikotomus, suatu gaya pemikiran yang membagi dunia menjadi kutub yang
saling bertolak belakang, tanpa terdapat daerah abu-abu di antara keduanya.
Jika individu dependen tidak diperhatikan, mereka melihat diri mereka sendiri
sebagai seseorang yang benar-benar sendirian di dunia ini. Dengan cara yang
sama, jika mereka sama sekali tidak yakin bagaimana melakukan sesuatu, tentunya
masalah tersebut pasti tidak dapat teratasi, paling tidak bagi mereka. Pemikiran
dikotomus tidak dapat dihindari mengarah pada distorsi ketiga: individu
dependen cenderung untuk menganggap sesuatu sebagai malapetaka.
E.
Kasus
Kasus
1:
Betty
belum pernah hidup sendiri; bahkan ketika ia belajar di universitas 30 tahun
yang lalu, ia tetap tinggal dirumah. Ia dikenal oleh teman sekelasnya sebagai
seseorang yang bergantung pada orang lain. Meminta orang lain memilihkan
sesuatu untuknya, ia melakukan apa pun yang dikatakan oleh temannya, bahkan
sampai pilihan mata kuliah yang akan diambil dan pakaian yang harus
dikenakannya setiap hari. Satu minggu setelah wisuda, ia menikahi Ken yang
telah dikencaninya sepanjang tahun terakhir. Ia sangat tertarik kepada ken
karena gayanya yang mendominasi yang membebaskan Betty dari kewajiban untuk
membuat keputusan. Sebagaimana yang biasa ia lakukan dengan orang lain yang
dekat dengannya, Betty selalu mengikuti apa yang diusulkan oleh Ken meskipun ia
terkadang tidak sepenuhnya setuju. Ia takut Ken akan marah dan meninggalkannya
jika ia tidak menurut. Meskioun ia ingin mencari pekerjaan di luar rumah, Ken
bersikeras bahwa ia menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, dan Betty menyetujui
permintaan Ken tersebut. Meskipun demikian, ketika ia dirumah sendirian, ia
menelepon teman-temannya dan memohon mereka untuk datang minum kopi. Kritikan
sekecil apa pun dari Ken, teman-temannya, atau orang lain dapat membuatnya
mereasa tertekan dan kesal sepanjang hari.
Kasus
2:
Matthew
(berusia 34 tahun) pria lajang yang tinggal bersama ibunya dan bekerja sebagai
akuntan. Dia telah mendapatkan treatment karena merasa kesedihannya yang
teramat dalam setelah hubungannya berakhir dengan kekasihnya. Ibunya tidak
menyetujui rencana pernihakannya, dengan berpura-pura memberikan alasan bahwa
wanita tersebut memiliki keyakinan yang berbeda. Matthew merasa terjebak dan
merasa dipaksa untuk memilih antara ibu dan kekasinya, dan sejak “blood is
thicker than water” (keluarga lebih penting daripada orang lain), dia
memutuskan untuk tidak menentang keinginan ibunya. Meskipun demikian, dia
sangat marah kepada dirinya sendiri dan
kepada ibunya, dan percaya bahwa ibunya tidak akan pernah mengijinkannya
menikah dan sangat posesif kepada dirinya. Ibunya “wore the pants in the
family” (sangat kuat dalam keluarganya) dan sangat berkuasa untuk medapatkan
apa yang ia inginkan. Matthew mengkhawatirkan ibunya dan mengganggap dirinya
adalah seorang yang lemah, namun juga mengagumi ibunya dan menghargai keputusan
ibunya. – “maybe Carol wasn’t right for me after all” . Matthew membalikkan
rasa kekesalannya dan sikap “a mother knows best” (seorang ibu tahu apa yang
terbaik). Dia merasa bahwa keputusannya sangat menyedihkan. (Adapted from
Spitzer & others, 1989, pp. 123-124)
F.
Prevensi
Treatment
Individu
dengan gangguan kepribadian dependen tidak dianjurkan untuk mendapatkan
pengobatan metidepressant dan benzodiazepines kadang memberikan kondisi yang baik
pada individu. Beberapa jenis obat seperti imipramine (chlorpromazine)
justru tidak memberikan hasil yang positif. Dalam psikoterapi, treatment
diberikan dengan tujuan agar individu dengan gangguan kepribadian dapat
mencegah semakin memburuknya kondisi pasien, mengembalikan keseimbangan,
mengurangi gejala-gejala yang muncul, mengembalikan kemampuan yang telah
hilang, dan kemampuan adaptasi. Fokus utama dalam proses mengembalikan
kemampuan adaptasi adalah individu mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Psikoterapi dapat
dianggap berhasil bila;
-
Individu mampu mempunyai komitmen
sendiri
-
Menikmati hubungan keakraban
dengan orang lain
-
Mampu menjadi anggota team, tanpa
perlu adanya persaingan
-
Mampu memberikan opini sendiri
kepada orang lain
-
Penuh perhatian terhadap orang
lain
-
Mampu untuk memperbaiki dirinya
dari kritikan
Menurut
kognitif:
Suatu
pendekatan kognitif-perilaku terhadap gangguan tersebut menyebutkan bahwa inti
dari gangguan ini adalah kurang asertif dan kecemasan untuk membuat keputusan
sendiri. Individu yang bergantung percaya bahwa mereka tidak cukup baik dan
tidak dapat melakukan apa pun, sehingga mereka tidak mampu untuk mengatasi
masalah mereka sendiri. Bagi mereka, solusi yang utama adalah menemukan orang
lain yang akan merawat mereka dan membebaskan mereka dari kewajuban untum
membuat keputusan sendiri. Setelah sampai pada solusi tersebut, mereka tidak
akan berani berperilaku secara asertif yang dapat mengancam kenyamanan hubungan
yang dimilikinya.
Tidak
seperti kebanyakan gangguan kepribadian lainnya, terdapat lebih banyak
optimisme mengenai treatment orang dengan dependent personality disorder.
Mayoritas orang dengan kondisi tersebut termotivasi untuk berubah (Millon dkk,
2000). Dalam psikoterapi dengan pendekatan kognitif-perilaku, terapis
menyediakan cara terstruktur bagi klien untuk mempraktikkan peningkatan level
kemandirian dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Klien juga mempelajari
bagaimana mengidentifikasi area kemampuan yang masih kurang dan kemudian
mendapatkan kemapuan yang diperlukan tuntuk meningkatkan hal tersebut. Akan
tetapi, ketika membantu klien, terapis harus berhati-hati agar dirinya tidak
menajdi figur otoritas yang baru bagi klien. Jelas akan menjadi tidak produktif
apabila klien menjadi bergantung pada terapis sebagaimana ia bergantung pada
orang lain dalam hidupnya (Beck dkk. 2004; Freeman dkk, 1990).
Group
therapy
Terapi kelompok dianggap
paling baik untuk menyembuhkan gangguan kepribadian dependen, namun dalam
beberapa kasus, beberapa individu membutuhkan waktu yang relatif lama. Dalam
terapi ini hasil yang dapat diperoleh; individu lebih percaya diri, mampu berpendapat
di tempat umum, dan dapat merasakan perasaan-perasaannya sendiri.
Cognitive behavioral therapy
Cognitive behavioral therapy
Cognitive behavioral therapy (CBT),
secara umum CBT membantu individu mengenal sikap dan perilaku yang tidak sehat,
kepercayaan dan pikiran negatif dan mengembalikannya secara positif. Terapi ini
juga diperkenalkan teknik relaksasi dan meditasi secara tepat. Terapi ini
melatih individu mengontrol emosi negatif, melatih diri agar tidak tergantung
pada orang lain dan pengambilan keputusan yang lebih konstruktif tanpa
dipengaruhi oleh perasaan negatif.
Sumber:
-
Abnormal Psychology,
the problem of maladaptive behaviour, seventh edition; Irwin G. Sarason and
Barbara R. Sarason; Prentice Hall
-
Abnormal Psychology
Clinical Perpectives on Psychological Disorders; Halgin Richard P and Susan
Krauss Whitbourne; 2010
-
Abnormal Psychology;
Geral C davidson, John M Neale, and Ann M kring
-
Abnormal Psychology in
a Changing World; Jeffrey S Nevid, Spencer a Rathus, Beverly Greene; Prentice
Hall; Fifth edition 2005
Nama: Dwissa Lestari
NPM: 100-5000-9163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar