Rabu, 11 Januari 2012

Vaginismus


1.     Kriteria Vaginismus dalam DSM-IV-TR
·         Kejang berulang pada bagian luar ketiga pada vagina hingga ke tingkat yang tidak memungkinkan terjadinya kontak kontak kelamin dalam hubungan seksual konvensional
·         Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal
·         Tidak disebabkan oleh gangguan Aksis I lain atau efek fisiologis langsung dari suatu penyakit medis umum
Hal itu juga dapat terjadi sebagai respons terhadap penetrasi dengan jari serta dalam pemeriksaan ginekologis. Meskipun tidak mampu melakukan kontak kelamin, perempuan yang mengalami vaginismus merasakan gairah seksual normal dan mengalami orgasme melalui stimulasi manual atau oral tanpa penetrasi.
2.    Sebuah teori mengenai penyebab vaginismus menduga bahwa si perempuan ingin, mungkin tanpa sadar, mengingkari dirinya, pasangannya, atau kenikmatan dalam keintiman seksual. Bagaimanapun tampak meyakinkannya pemikiran ini, tidak ada bukti yang mendukungnya. Meskipun demikian, takut hamil, kecemasan, masalah hubungan, dan sikap negatif terhadap seks pada umumnya dapat berperan dalam vaginismus (a.l,. Reissing, Binik, & Khalife, 1999; Tugrul & Kabacki, 1997). Sikap negatif sering kali dapat ditelusuri ke pencabulan di masa kanak-kanak atau perkosaan (LoPiccolo & Stock, 1987). Masters dan Johnson menemukan bahwa pada sejumlah pasangan yang mereka tangani, ketidakmampuan pihak laki-laki untuk mempertahankan ereksi memicu terjadinya vaginismus pada pasangannya. Dengan demikian, pada beberapa perempuan, masalah seksual yang dialami pasangan dapat sangat memicu kecemasan sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan ini.
Penyebab Historis. Dalam model Masters dan Johnson, penyebab disfungsi seksual dihipotesis memiliki satu antesenden historis atau lebih.
·         Faktor Psikis :
·         Kekolotan dalam beragama. Pendidikan agama yang konservatif memandang dengan rasa curiga pada seksualitas yang dilakukan untuk mendapat kesenangan.
·         Trauma psikoseksual. Beberapa disfungsi dapat ditelusuri ke perkosaan atau peristiwa penistaan lain. Pengalaman seksual yang traumatik, misalnya wanita yang mengalami perkosaan baik pada masa anak-anak, remaja maupun dewasa. Kalau pengalaman yang mengerikan itu terjadi setelah wanita menikah, dapat juga terjadi vaginismus sekunder.
·         Kecenderungan homoseksual. Dapat dipahami bila kenikmatan seksual menjadi kurang jika seseorang yang memiliki kecenderungan homoseksual mencoba melakukan hubungan heteroseksual.
·         Konseling yang tidak adekuat. Kalimat ini merupakan eufimisme untuk berbagai komentar yang disampaikan oleh para profesional yang tidak benar dan destruktif. Contohnya seorang pendeta yang mengatakan bahwa disfungsi ereksi merupakan hukuman Tuhan atas dosa-dosanya.
·         Konsumsi alkohol yang berlebihan. seperti dikatakan Shakespeare dalam Macbeth, “Ia mendorong hasrat, namun melemahkan performa” (aksi II, adegan 3).
·         Penyebab Biologis. Masters dan Johnson pada tahun 1970 telah menyadarkan kita tentang faktor-faktor somatik yang berkontribusi terhadap disfungsi seksual. Dewasa ini sudah lebih banyak yang diketahui mengenai faktor-faktor semacam itu; kita telah mempertimbangkan hal ini dalam pembahasan mengenai disfungsi individual. Secara umum, faktor-faktor biologis mencakup penyakit sistem vaskular (pembuluh darah) seperti atherosklerosis; penyakit yang memengaruhi sistem saraf seperti diabetes, multi sklerosis, dan cedera saraf tulang belakang; rendahnya kadar testosteron atau estrogen; seperti disebutkan di atas, konsumsi alkohol yang berlebihan (meskipun efek negatifnya dapat dimediasi oleh terganggunya hubungan interpersonal yang sering kali terjadi karena penyalahgunaan alkohol); penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi dan terutama anti depresan jenis SSRI seperti Prozac dan Zoloft; dan merokok berlebihan (Bach, Wincze, & Barlow, 2001).
·         Beberapa faktor fisik ialah:
- Gangguan selaput dara, termasuk sisanya yang tertarik kalau terjadi penetrasi penis.
- Infeksi yang menimbulkan luka di sekitar lubang vagina atau labia.
- Bekas robekan karena melahirkan yang tidak sembuh dengan baik.
·         Faktor-faktor sosiokultural. Ekspektasi dan kekhawatiran pada perempuan berbeda dengan laki-laki dan merupakan suatu fungsi kelas sosial. Contohnya, laki-laki diberkahi, bahkan dituntut oleh masyarakat untuk mengembangkan ekspresivitas seksual dan untuk mengambil inisiatif. Terlepas dari perubahan yang diakibatkan oleh gerakan feminis selama lebih dari 30 tahun, namun tetap menjadi pertanyaan apakah hal ini juga terjadi pada perempuan.
Prevalensi / Terapi Disfungsi Seksual
Kepeloporan karya Masters dan Johnsons (1970) dalam penanganan disfungsi seksual disampaikan dalam Fokus Penemuan 14.4 selama lebih dari 30 tahun terakhir para terapis dan peneliti telah mengurai laporan awal tersebut dan menyusun berbagai prosedur baru bagi para ahli klinis yang ingin memperbaiki kehidupan para pasien yang mengalami disfungsi seksual. Kami akan menjelaskan beberapa strategi dan prosedur yang memperluas karya Masters dan Johnsons. Seorang terapis dapat memilih satu teknik saja untuk satu kasus tertentu, namun karakteristik disfungsi seksual yang kompleks dan multi segi biasanya memerlukan beberapa teknik.
·         Mengurangi kecemasan. Jauh sebelum publikasi program terapi Masters da Johnsons, para terapis perilaku memahami bahwa para klien disfungsi seksual membutuhkan pemaparan bertahap dan sistematis pada spek-aspek situasi seksual yang yang memicu kecemasan. Desentisisasi sistematis dan desentisisasi in vivo (desentisisasi dengan situasi kehidupan nyata) dari Wolpe telah digunakan dengan cukup berhasil (Anderson, 1983; Hogan 1978; Wolpe 1958), terutama jika dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan. Contohnya, seorang perempuan yang mengalami vaginismus pertama-tama dapat berlatih relaksasi, kemudian berlatih memasukan jarinya atau dilator ke dalam vaginanya, dimulai dengan sedikit memasukan jarinya dan secara bertahap semakin dalam (Leiblum, 1997). Desentisisasi in vivo ternyata akan menjadi teknik utama dalam program Master dan Johnson, meskipun berbagai komponen lain mungkin berkontribusi terhadap keseluruhan efektivitasnya.

·         Masturbasi terarah. Kami telah meyebutkan sebelumnya bahwa perempuan yang mengalami gangguan orgasme sering kali kurang memiliki pengetahuan tentang anatomis seksual mereka sendiri. masturbasi terarah yang diciptakan oleh LoPiccolo dan Lobitz (1972) merupakan suatu terapi multi langkah yang melengkapi program Masters dan Johnson.
Langkah pertama adalah si perempuan mengamati dengan teliti tubuhnya tanpa busana, termasuk alat kelaminnya, dan mengidentifikasi berbagai bagian dengan bantuan diagram. Berikutnya, ia diinstruksikan untuk menyentuh kelaminnya dan menemukan bagian yang menghasilkan kenikmatan. Setelah langkah tersebut selesai, ia kemudian meningkatkan intensitas masturbasinya dengan fantasi erotis. Jika orgasme belum dicapai pada saat itu, ia diminta membeli vibrator dan diajari bagaimana menggunakannnya dalam masturbasi. Terakhir, pasangannya terlibat dalam terapi ini, pertama-tama mengamati pasangannya melakukan masturbasi, kemudian melakukan pada pasangannya apa yang sebelumnya dilakukan sendiri oleh pasangannya, dan terakhir melakukan kontak kelamin dalam posisi yang memungkinkannya untuk menstimulasi kelamin perempuan tersebut secara manual atau dengan menggunakan vibrator.
Masturbasi terarah tampaknya secara signifikan meningkatkan efektivitas penanganan gangguan orgasme (O’Donohue, Dopke & Swingen, 1997) dan juga membantu dalam penanganan gangguan nafsu seksual (Renshaw, 2001).

·         Prosedur untuk Mengubah Sikap dan Pikiran. Dalam teknik yang disebut prosedur kesadaran sensori, klien didorong untuk merasakan sensasi menyenangkan yang menyertai gairah seksual sejak dari permulaan. Latihan memfokuskan pada sensasi tersebut digambarkan dalam Fokus Penemuan 14.4, contohnya :
Sebagai cara untuk mengantarkan individu ke perasaan yang benar-benar sensual dan seksual. Terapi perilaku rasional emotif mencoba mengubah pikiran “harus” menjadi pikiran yang tidak terlalu menuntut diri sendiri, pikiran “Saya Harus” yang sering kali menimbulkan masalah bagi orang-orang yang mengalami disfungsi seksual. Terapis harus mencoba mengurangi tekanan yang dirasakan oleh laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi dengan menggugat keyakinannya bahwa kontak kelamin merupakan satu-satunya bentuk aktivitas seksual yang sejati. Kaplan (1997) merekomendasikan beberapa prosedur untuk mencoba meningkatkan daya tarik seks. Ia meminta kliennya berfantasi erotik dan memberi mereka tugas untuk menjalin hubungan dan berkencan, seperti berlibur di akhir minggu.

·         Pelatihan Keterampilan dan Komunikasi. Untuk meningkatkan keterampilan seksual dan komunikasi, para terapis memberikan bahan-bahan tertulis dan menunjukkan kepada klien rekaman video dan film yang secara eksplisitmendemonstrasikan teknik-teknik seksual (McMullen & Rosen, 1979). Hal yang sangat penting untuk berbagai disfungsi seksual adalah mendorong pasangan untuk saling mengkomunikasikan apa yang mereka sukai dan tidak sukai (Hawton, Catalan, & Fragg, 1992; Rosen, Leiblum, & Spector, 1994). Bila digabungkan, pelatihan keterampilan dan komunikasi juga memaparkan pasien pada hal-hal yang memicu timbulnya kecemasan –seperti melihat pasangannya tanpa busana- yang memungkinkan timbulnya efek yang mendesensitisasi. Mengatakan kepada pasangan apa yang disukainya dalam berhubungan seks sering kali menjadi lebih sulit karena adanya ketegangan yang lebih dari sekedar terkait dengan hubungan seksual, yang akan membawa kita ke strategi berikutnya.
·         Terapi pasangan. Disfungsi seksual seringkali menyatu denga perkawinan yang bermasalah, dan pasangan yang bermasalah biasanya membutuhkan pelatihan khusus dalam keterampilan komunikasi nonseksual (Rosen, 2000). Seperti disebutkan sebelumnya, berbagai artikel mutakhir tentang terapi seks menekankan kebutuhan terhadap sebuah perspektif sistem, yaitu terapis perlu memahami bahwa masalah seksual menyatu dengan berbagai faktor hubungan interpersonal yang kompleks (Wylie, 1997). Kadang suatu terapi yang memfokuskan pada isu-isu nonseksual, seperti masalah dengan mertua atau pengasuhan anak, penting dan pada tempatnya –apakah sebagai tambahan untuk atau bahkan tipe terapi seks Masters dan Johnson.

·         Teknik dan Perspektif Psikodinamika. Seorang laki-laki mungkin tidak langsung mengakui bahwa ia tidak dapat mengalami ereksi. Dalam kasus ini terapis harus menemukan petunjuk dalam penuturannya. Seorang perempuan dapat merasa enggan memulai hubungan seks karena, meskipun ia tidak mengatakan secara langsung kepada terapis, ia menganggap asertivitas semacam itu tidak pantas dan tidak sesuai dengan peran perempuan menurut pandangan tradisionalnya. Dalam kasus semacam itu pandangan psikodinamika umum yang menyatakan bahwa klien sering kali tidak mampu menyampaikan dengan jelas masalah yang benar-benar mengganggu mereka kepada terapis dapat membantu pengukuran dan perencanaan yang tepat untuk terapi perilaku (Kaplan, 1974). Tidak diragukan berbagai elemen terapi psikodinamika dapat ditemukan di banyak praktik terapi seks, sekalipun biasanya berbagai elemen tersebut tidak dikemukakan secara eksplisit oleh para terapis ketika membahas teknik-teknik yang mereka gunakan dalam berbagai jurnal atau dengan para kolega. Pembahasan kita terdahulu mengenai eklektisisme dalam terapi dapat mengingatkan kita mengenai kompleksitas bidang terapeutik.




3.    Contoh Kasus
Pengalam seseorang yang memiliki gangguan vaginismus ..
Rasanya vagina sangat mustahil untuk dimasuki benda apapun.. Sakit, nyeri, dan perihnya hebat banget, bahkan sampai nangis dan teriak sekenceng apapun tetep aja sakit. Waktu itu (maaf), saat mencoba intercourse, sungguh, rasanya vagina seperti robek atau tersayat, padahal foreplay dan kondisi vagina sudah terlubrikasi dengan baik. Meskipun otak dan hati sudah siap untuk berhubungan (tidak ada rasa takut, bahkan sudah ikhlas), sepertinya si vagina punya keinginan sendiri. Stress banget, kenapa otak dan badan nggak mau kerja sama.
Yang paling berat, ini sangat berpengaruh ke hubunganku dengan suami yang saat itu masih pengantin baru.
Saat browsing, aku baru tahu kalau kondisiku dinamakan vaginismus, yang bahkan banyak terjadi pada wanita, cuma ada yang sadar ada yang tidak.
Menurut website referensi tsb (lupa sumbernya) hubungan seks seharusnya bisa dinikmati oleh kedua belah pihak. Bahwa ML dan malam pertama (hilangnya keperawanan) pasti terasa sakit buat wanita adalah salah besar.
Aku kaget..  selama ini kok nggak pernah ada yang cerita/ share tentang ini.. seolah olah sakit saat malam pertama dianggap wajar, padahal  wanita juga berhak dipuaskan.
Untungnya ada step by step untuk self healing, dengan teknik dillating. Aku mencoba mengikuti cara itu.. ternyata emang ada perkembangannya..  Berangsur angsur vaginaku mulai mau menerima "benda" lain . Dalam proses ini sebenernya kalau belum siap. kita tidak boleh melakukan ML, apalagi kalau "size" nya masih jauh dari tahap terakhir dillating.., tapi suamiku mengajak untuk mencoba (baca: minta jatah) siapa tahu kalau makin sering dipake, semakin biasa..
Yahhh.. akhirnya dicoba deh.. Alamakk.. sakitttt banget.. dan untuk menahan sakit itu, aku mengernyitkan alis sampai2 alisku ikutan sakit (cenut2 gitu).. Air mata sudah ga kehitung berapa ember terbuang...
En baru beberapa kali mencoba itu ternyata.... malah membuat aku HAMIL! haduh Serasa hancurlah duniaku... (Iniilah awal penyebab stressku selama kehamilan yang aku share di  thread Jobless on Pregnancy..)
Perlahan tapi pasti, aku beberapa kali tetep "latihan" sama suami, meskipun hati, badan, dan harapanku remuk redam selama kehamilan..
Sekarang dah hampir memasuki 7 bulan kandunganku.. Alhamdulilah sih, sekarang sudah berkurang jauh sakitnya.. meskipun pada posisi tertentu, masih meringis2 menahan sakit...  Moga2 habis lahiran bisa lebih baik lagi deh "latihannya" hehe...
smile
Teknik dillating itu ibaratnya kaya melatih kemampuan & kemauan vagina (sampai saat ini masih percaya kalo vagina punya keinginan sendiri) untuk menerima benda asing. Sebenernya ada dillator set yang dirancang untuk penyembuhannya (mirip kaya dildo tapi sizenya bervariasi, dari yg kecil kaya cotton bud, ampe gede menyerupai ukuran penis rata-rata).
http://www.vaginismus-awareness-network.org/soulsourceset.jpg
Tapi berhubung males beli, dan ada alternatif lain.. maka saya menggunakan jari2 aja (beneran, dibolehin kok!). Dimulai dari jari yang paling kecil ampe yang paling gede tentunya.
Latihan dillating mirip kaya yoga, perlu ketenangan, sendiri, rileks, dan konsentrasi. Kalau vagina sudah licin, atau bisa dibantu dgn lubrikan, mulai latihan "memasukkan" dillator/jari ke vagina dan membiarkannya di situ sekitar 5-10 menitan supaya otot vagina mulai terbiasa. 
Latihan berikutnya (nggak harus tiap hari, lebih baik mengikuti mood, tanpa paksaan), bisa dengan size yg sama sampai tidak terasa sakit samasekali (mulai nyaman) lalu pindah ke size berikutnya.. Yah harapannya sih, lama-lama vagina kita bisa siap untuk menerima penis beneran. Begitu kira-kira..
*Kendala kalo dillating pake jari: anggap antara ukuran jari terbesar (jempol) ku dengan ukuran penis beneran kayaknya masih agak jauh.. Si penulis website sih bilang katanya bisa pake sayuran  macam wortel atau timun, asal jangan pisang.. kenapa? rawan "patah" di dalam hehehe

http://www.vaginismus-awareness-network.org/zucchinidilator.jpg
Sumber :
Davidson, Gerald C., Neale, John M., Kring, Ann M. (2004). Abnormal Psychology – Ninth Edition.  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
http://www.vaginismus-awareness-network.org/


Wellya Nurtikasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar