1.
Kriteria
Vaginismus dalam DSM-IV-TR
·
Kejang
berulang pada bagian luar ketiga pada vagina hingga ke tingkat yang tidak
memungkinkan terjadinya kontak kontak kelamin dalam hubungan seksual
konvensional
·
Menyebabkan
distress mendalam atau masalah interpersonal
·
Tidak
disebabkan oleh gangguan Aksis I lain atau efek fisiologis langsung dari suatu
penyakit medis umum
Hal
itu juga dapat terjadi sebagai respons terhadap penetrasi dengan jari serta
dalam pemeriksaan ginekologis. Meskipun tidak mampu melakukan kontak kelamin,
perempuan yang mengalami vaginismus merasakan gairah seksual normal dan
mengalami orgasme melalui stimulasi manual atau oral tanpa penetrasi.
2.
Sebuah
teori mengenai penyebab vaginismus menduga bahwa si perempuan ingin, mungkin
tanpa sadar, mengingkari dirinya, pasangannya, atau kenikmatan dalam keintiman
seksual. Bagaimanapun tampak meyakinkannya pemikiran ini, tidak ada bukti yang
mendukungnya. Meskipun demikian, takut hamil, kecemasan, masalah hubungan, dan
sikap negatif terhadap seks pada umumnya dapat berperan dalam vaginismus (a.l,.
Reissing, Binik, & Khalife, 1999; Tugrul & Kabacki, 1997). Sikap
negatif sering kali dapat ditelusuri ke pencabulan di masa kanak-kanak atau
perkosaan (LoPiccolo & Stock, 1987). Masters dan Johnson menemukan bahwa
pada sejumlah pasangan yang mereka tangani, ketidakmampuan pihak laki-laki
untuk mempertahankan ereksi memicu terjadinya vaginismus pada pasangannya.
Dengan demikian, pada beberapa perempuan, masalah seksual yang dialami pasangan
dapat sangat memicu kecemasan sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan ini.
Penyebab Historis. Dalam model Masters dan Johnson,
penyebab disfungsi seksual dihipotesis memiliki satu antesenden historis atau
lebih.
·
Faktor
Psikis :
·
Kekolotan dalam beragama. Pendidikan agama yang konservatif
memandang dengan rasa curiga pada seksualitas yang dilakukan untuk mendapat
kesenangan.
·
Trauma psikoseksual. Beberapa disfungsi dapat ditelusuri ke
perkosaan atau peristiwa penistaan lain. Pengalaman seksual yang
traumatik, misalnya wanita yang mengalami perkosaan baik pada masa anak-anak,
remaja maupun dewasa. Kalau pengalaman yang mengerikan itu terjadi setelah
wanita menikah, dapat juga terjadi vaginismus sekunder.
·
Kecenderungan homoseksual. Dapat dipahami bila kenikmatan seksual
menjadi kurang jika seseorang yang memiliki kecenderungan homoseksual mencoba
melakukan hubungan heteroseksual.
·
Konseling yang tidak adekuat. Kalimat ini merupakan eufimisme untuk
berbagai komentar yang disampaikan oleh para profesional yang tidak benar dan
destruktif. Contohnya seorang pendeta yang mengatakan bahwa disfungsi ereksi
merupakan hukuman Tuhan atas dosa-dosanya.
·
Konsumsi alkohol yang berlebihan. seperti dikatakan Shakespeare dalam
Macbeth, “Ia mendorong hasrat, namun melemahkan performa” (aksi II, adegan 3).
·
Penyebab Biologis. Masters dan Johnson pada tahun 1970
telah menyadarkan kita tentang faktor-faktor somatik yang berkontribusi
terhadap disfungsi seksual. Dewasa ini sudah lebih banyak yang diketahui mengenai
faktor-faktor semacam itu; kita telah mempertimbangkan hal ini dalam pembahasan
mengenai disfungsi individual. Secara umum, faktor-faktor biologis mencakup
penyakit sistem vaskular (pembuluh darah) seperti atherosklerosis; penyakit
yang memengaruhi sistem saraf seperti diabetes, multi sklerosis, dan cedera
saraf tulang belakang; rendahnya kadar testosteron atau estrogen; seperti
disebutkan di atas, konsumsi alkohol yang berlebihan (meskipun efek negatifnya
dapat dimediasi oleh terganggunya hubungan interpersonal yang sering kali
terjadi karena penyalahgunaan alkohol); penggunaan obat-obat tertentu, seperti
antihipertensi dan terutama anti depresan jenis SSRI seperti Prozac dan Zoloft;
dan merokok berlebihan (Bach, Wincze, & Barlow, 2001).
·
Beberapa faktor fisik ialah:
-
Gangguan selaput dara, termasuk sisanya yang tertarik kalau terjadi penetrasi
penis.
- Infeksi yang menimbulkan luka di sekitar lubang vagina atau labia.
- Bekas robekan karena melahirkan yang tidak sembuh dengan baik.
- Infeksi yang menimbulkan luka di sekitar lubang vagina atau labia.
- Bekas robekan karena melahirkan yang tidak sembuh dengan baik.
·
Faktor-faktor sosiokultural. Ekspektasi dan kekhawatiran pada
perempuan berbeda dengan laki-laki dan merupakan suatu fungsi kelas sosial.
Contohnya, laki-laki diberkahi, bahkan dituntut oleh masyarakat untuk
mengembangkan ekspresivitas seksual dan untuk mengambil inisiatif. Terlepas
dari perubahan yang diakibatkan oleh gerakan feminis selama lebih dari 30
tahun, namun tetap menjadi pertanyaan apakah hal ini juga terjadi pada
perempuan.
Prevalensi
/ Terapi Disfungsi Seksual
Kepeloporan karya Masters dan Johnsons
(1970) dalam penanganan disfungsi seksual disampaikan dalam Fokus Penemuan 14.4
selama lebih dari 30 tahun terakhir para terapis dan peneliti telah mengurai
laporan awal tersebut dan menyusun berbagai prosedur baru bagi para ahli klinis
yang ingin memperbaiki kehidupan para pasien yang mengalami disfungsi seksual.
Kami akan menjelaskan beberapa strategi dan prosedur yang memperluas karya
Masters dan Johnsons. Seorang terapis dapat memilih satu teknik saja untuk satu
kasus tertentu, namun karakteristik disfungsi seksual yang kompleks dan multi
segi biasanya memerlukan beberapa teknik.
·
Mengurangi kecemasan. Jauh sebelum publikasi program terapi
Masters da Johnsons, para terapis perilaku memahami bahwa para klien disfungsi
seksual membutuhkan pemaparan bertahap dan sistematis pada spek-aspek situasi
seksual yang yang memicu kecemasan. Desentisisasi sistematis dan desentisisasi
in vivo (desentisisasi dengan situasi kehidupan nyata) dari Wolpe telah
digunakan dengan cukup berhasil (Anderson, 1983; Hogan 1978; Wolpe 1958),
terutama jika dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan. Contohnya, seorang perempuan yang mengalami vaginismus
pertama-tama dapat berlatih relaksasi, kemudian berlatih memasukan jarinya atau
dilator ke dalam vaginanya, dimulai dengan sedikit memasukan jarinya dan secara
bertahap semakin dalam (Leiblum, 1997). Desentisisasi
in vivo ternyata akan menjadi teknik utama dalam program Master dan Johnson,
meskipun berbagai komponen lain mungkin berkontribusi terhadap keseluruhan
efektivitasnya.
·
Masturbasi terarah. Kami telah meyebutkan sebelumnya bahwa
perempuan yang mengalami gangguan orgasme sering kali kurang memiliki
pengetahuan tentang anatomis seksual mereka sendiri. masturbasi terarah yang
diciptakan oleh LoPiccolo dan Lobitz (1972) merupakan suatu terapi multi
langkah yang melengkapi program Masters dan Johnson.
Langkah pertama adalah si
perempuan mengamati dengan teliti tubuhnya tanpa busana, termasuk alat
kelaminnya, dan mengidentifikasi berbagai bagian dengan bantuan diagram.
Berikutnya, ia diinstruksikan untuk menyentuh kelaminnya dan menemukan bagian
yang menghasilkan kenikmatan. Setelah langkah tersebut selesai, ia kemudian
meningkatkan intensitas masturbasinya dengan fantasi erotis. Jika orgasme belum
dicapai pada saat itu, ia diminta membeli vibrator dan diajari bagaimana
menggunakannnya dalam masturbasi. Terakhir, pasangannya terlibat dalam terapi
ini, pertama-tama mengamati pasangannya melakukan masturbasi, kemudian
melakukan pada pasangannya apa yang sebelumnya dilakukan sendiri oleh pasangannya,
dan terakhir melakukan kontak kelamin dalam posisi yang memungkinkannya untuk
menstimulasi kelamin perempuan tersebut secara manual atau dengan menggunakan
vibrator.
Masturbasi terarah tampaknya secara
signifikan meningkatkan efektivitas penanganan gangguan orgasme (O’Donohue,
Dopke & Swingen, 1997) dan juga membantu dalam penanganan gangguan nafsu
seksual (Renshaw, 2001).
·
Prosedur untuk Mengubah Sikap dan
Pikiran. Dalam
teknik yang disebut prosedur kesadaran sensori, klien didorong untuk merasakan
sensasi menyenangkan yang menyertai gairah seksual sejak dari permulaan.
Latihan memfokuskan pada sensasi tersebut digambarkan dalam Fokus Penemuan
14.4, contohnya :
Sebagai cara untuk
mengantarkan individu ke perasaan yang benar-benar sensual dan seksual. Terapi
perilaku rasional emotif mencoba mengubah pikiran “harus” menjadi pikiran yang
tidak terlalu menuntut diri sendiri, pikiran “Saya Harus” yang sering kali
menimbulkan masalah bagi orang-orang yang mengalami disfungsi seksual. Terapis
harus mencoba mengurangi tekanan yang dirasakan oleh laki-laki yang mengalami
disfungsi ereksi dengan menggugat keyakinannya bahwa kontak kelamin merupakan
satu-satunya bentuk aktivitas seksual yang sejati. Kaplan (1997)
merekomendasikan beberapa prosedur untuk mencoba meningkatkan daya tarik seks.
Ia meminta kliennya berfantasi erotik dan memberi mereka tugas untuk menjalin
hubungan dan berkencan, seperti berlibur di akhir minggu.
·
Pelatihan Keterampilan dan Komunikasi. Untuk meningkatkan keterampilan seksual
dan komunikasi, para terapis memberikan bahan-bahan tertulis dan menunjukkan
kepada klien rekaman video dan film yang secara eksplisitmendemonstrasikan
teknik-teknik seksual (McMullen & Rosen, 1979). Hal
yang sangat penting untuk berbagai disfungsi seksual adalah mendorong pasangan
untuk saling mengkomunikasikan apa yang mereka sukai dan tidak sukai (Hawton,
Catalan, & Fragg, 1992; Rosen, Leiblum, & Spector, 1994). Bila
digabungkan, pelatihan keterampilan dan komunikasi juga memaparkan pasien pada
hal-hal yang memicu timbulnya kecemasan –seperti melihat pasangannya tanpa
busana- yang memungkinkan timbulnya efek yang mendesensitisasi. Mengatakan
kepada pasangan apa yang disukainya dalam berhubungan seks sering kali menjadi
lebih sulit karena adanya ketegangan yang lebih dari sekedar terkait dengan
hubungan seksual, yang akan membawa kita ke strategi berikutnya.
·
Terapi pasangan. Disfungsi seksual seringkali menyatu
denga perkawinan yang bermasalah, dan pasangan yang bermasalah biasanya
membutuhkan pelatihan khusus dalam keterampilan komunikasi nonseksual (Rosen,
2000). Seperti disebutkan sebelumnya, berbagai artikel mutakhir tentang terapi
seks menekankan kebutuhan terhadap sebuah perspektif sistem, yaitu terapis perlu memahami bahwa masalah seksual menyatu dengan
berbagai faktor hubungan interpersonal yang kompleks (Wylie, 1997). Kadang
suatu terapi yang memfokuskan pada isu-isu nonseksual, seperti masalah dengan
mertua atau pengasuhan anak, penting dan pada tempatnya –apakah sebagai
tambahan untuk atau bahkan tipe terapi seks Masters dan Johnson.
·
Teknik dan Perspektif Psikodinamika. Seorang laki-laki mungkin tidak
langsung mengakui bahwa ia tidak dapat mengalami ereksi. Dalam kasus ini
terapis harus menemukan petunjuk dalam penuturannya. Seorang
perempuan dapat merasa enggan memulai hubungan seks karena, meskipun ia tidak
mengatakan secara langsung kepada terapis, ia menganggap asertivitas semacam
itu tidak pantas dan tidak sesuai dengan peran perempuan menurut pandangan
tradisionalnya. Dalam kasus semacam itu pandangan psikodinamika umum yang
menyatakan bahwa klien sering kali tidak mampu menyampaikan dengan jelas
masalah yang benar-benar mengganggu mereka kepada terapis dapat membantu
pengukuran dan perencanaan yang tepat untuk terapi perilaku (Kaplan, 1974).
Tidak diragukan berbagai elemen terapi psikodinamika dapat ditemukan di banyak
praktik terapi seks, sekalipun biasanya berbagai elemen tersebut tidak
dikemukakan secara eksplisit oleh para terapis ketika membahas teknik-teknik
yang mereka gunakan dalam berbagai jurnal atau dengan para kolega.
Pembahasan kita terdahulu mengenai eklektisisme dalam terapi dapat mengingatkan
kita mengenai kompleksitas bidang terapeutik.
3. Contoh Kasus
Pengalam
seseorang yang memiliki gangguan vaginismus ..
Rasanya vagina sangat mustahil untuk dimasuki benda apapun..
Sakit, nyeri, dan perihnya hebat banget, bahkan sampai nangis dan teriak
sekenceng apapun tetep aja sakit. Waktu itu (maaf), saat mencoba intercourse,
sungguh, rasanya vagina seperti robek atau tersayat, padahal foreplay dan
kondisi vagina sudah terlubrikasi dengan baik. Meskipun otak dan hati sudah
siap untuk berhubungan (tidak ada rasa takut, bahkan sudah ikhlas), sepertinya
si vagina punya keinginan sendiri. Stress banget, kenapa otak dan badan nggak
mau kerja sama.
Yang paling berat, ini sangat berpengaruh ke hubunganku dengan suami yang saat itu masih pengantin baru.
Yang paling berat, ini sangat berpengaruh ke hubunganku dengan suami yang saat itu masih pengantin baru.
Saat browsing, aku baru tahu kalau kondisiku dinamakan
vaginismus, yang bahkan banyak terjadi pada wanita, cuma ada yang sadar ada
yang tidak.
Menurut website referensi tsb (lupa sumbernya) hubungan seks
seharusnya bisa dinikmati oleh kedua belah pihak. Bahwa ML dan malam pertama
(hilangnya keperawanan) pasti terasa sakit buat wanita adalah salah besar.
Aku kaget.. selama ini kok nggak pernah ada yang cerita/
share tentang ini.. seolah olah sakit saat malam pertama dianggap wajar,
padahal wanita juga berhak dipuaskan.
Untungnya ada step by step untuk self healing, dengan teknik
dillating. Aku mencoba mengikuti cara itu.. ternyata emang ada
perkembangannya.. Berangsur angsur vaginaku mulai mau menerima
"benda" lain . Dalam proses ini sebenernya kalau belum siap. kita
tidak boleh melakukan ML, apalagi kalau "size" nya masih jauh dari
tahap terakhir dillating.., tapi suamiku mengajak untuk mencoba (baca: minta
jatah) siapa tahu kalau makin sering dipake, semakin biasa..
Yahhh.. akhirnya dicoba deh.. Alamakk.. sakitttt banget.. dan untuk menahan sakit itu, aku mengernyitkan alis sampai2 alisku ikutan sakit (cenut2 gitu).. Air mata sudah ga kehitung berapa ember terbuang...
En baru beberapa kali mencoba itu ternyata.... malah membuat aku HAMIL! haduh Serasa hancurlah duniaku... (Iniilah awal penyebab stressku selama kehamilan yang aku share di thread Jobless on Pregnancy..)
Perlahan tapi pasti, aku beberapa kali tetep "latihan" sama suami, meskipun hati, badan, dan harapanku remuk redam selama kehamilan..
Sekarang dah hampir memasuki 7 bulan kandunganku.. Alhamdulilah sih, sekarang sudah berkurang jauh sakitnya.. meskipun pada posisi tertentu, masih meringis2 menahan sakit... Moga2 habis lahiran bisa lebih baik lagi deh "latihannya" hehe...
Yahhh.. akhirnya dicoba deh.. Alamakk.. sakitttt banget.. dan untuk menahan sakit itu, aku mengernyitkan alis sampai2 alisku ikutan sakit (cenut2 gitu).. Air mata sudah ga kehitung berapa ember terbuang...
En baru beberapa kali mencoba itu ternyata.... malah membuat aku HAMIL! haduh Serasa hancurlah duniaku... (Iniilah awal penyebab stressku selama kehamilan yang aku share di thread Jobless on Pregnancy..)
Perlahan tapi pasti, aku beberapa kali tetep "latihan" sama suami, meskipun hati, badan, dan harapanku remuk redam selama kehamilan..
Sekarang dah hampir memasuki 7 bulan kandunganku.. Alhamdulilah sih, sekarang sudah berkurang jauh sakitnya.. meskipun pada posisi tertentu, masih meringis2 menahan sakit... Moga2 habis lahiran bisa lebih baik lagi deh "latihannya" hehe...

Teknik dillating itu ibaratnya kaya melatih kemampuan &
kemauan vagina (sampai saat ini masih percaya kalo vagina punya keinginan
sendiri) untuk menerima benda asing. Sebenernya ada dillator set yang dirancang
untuk penyembuhannya (mirip kaya dildo tapi sizenya bervariasi, dari yg kecil
kaya cotton bud, ampe gede menyerupai ukuran penis rata-rata).

Tapi berhubung males beli, dan ada alternatif lain.. maka saya
menggunakan jari2 aja (beneran, dibolehin kok!). Dimulai dari jari yang paling
kecil ampe yang paling gede tentunya.
Latihan dillating mirip kaya yoga, perlu ketenangan, sendiri, rileks, dan konsentrasi. Kalau vagina sudah licin, atau bisa dibantu dgn lubrikan, mulai latihan "memasukkan" dillator/jari ke vagina dan membiarkannya di situ sekitar 5-10 menitan supaya otot vagina mulai terbiasa.
Latihan berikutnya (nggak harus tiap hari, lebih baik mengikuti mood, tanpa paksaan), bisa dengan size yg sama sampai tidak terasa sakit samasekali (mulai nyaman) lalu pindah ke size berikutnya.. Yah harapannya sih, lama-lama vagina kita bisa siap untuk menerima penis beneran. Begitu kira-kira..
*Kendala kalo dillating pake jari: anggap antara ukuran jari terbesar (jempol) ku dengan ukuran penis beneran kayaknya masih agak jauh.. Si penulis website sih bilang katanya bisa pake sayuran macam wortel atau timun, asal jangan pisang.. kenapa? rawan "patah" di dalam hehehe

Latihan dillating mirip kaya yoga, perlu ketenangan, sendiri, rileks, dan konsentrasi. Kalau vagina sudah licin, atau bisa dibantu dgn lubrikan, mulai latihan "memasukkan" dillator/jari ke vagina dan membiarkannya di situ sekitar 5-10 menitan supaya otot vagina mulai terbiasa.
Latihan berikutnya (nggak harus tiap hari, lebih baik mengikuti mood, tanpa paksaan), bisa dengan size yg sama sampai tidak terasa sakit samasekali (mulai nyaman) lalu pindah ke size berikutnya.. Yah harapannya sih, lama-lama vagina kita bisa siap untuk menerima penis beneran. Begitu kira-kira..
*Kendala kalo dillating pake jari: anggap antara ukuran jari terbesar (jempol) ku dengan ukuran penis beneran kayaknya masih agak jauh.. Si penulis website sih bilang katanya bisa pake sayuran macam wortel atau timun, asal jangan pisang.. kenapa? rawan "patah" di dalam hehehe

Sumber :
Davidson, Gerald C., Neale, John M., Kring, Ann M. (2004). Abnormal Psychology – Ninth Edition. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
http://www.vaginismus-awareness-network.org/Wellya Nurtikasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar